Subang, Demokratis
Soal pungutan Retribusi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 5% (prosen) sesuai PP Nomor 85 Tahun 2021, yang dikenakan terhadap nelayan asal Blanakan, Kabupaten Subang yang melaut dengan ukuran kapal di bawah 5 GT dan melakukan aktivitas dengan jarak lebih dari 12 mil dari bibir pantai, mengaku merasa keberatan.
Buntut dari aksi penolakan PNBP itu akhirnya Pemkab Subang menyampaikan aspirasi para nelayan tersebut ke Pemerintah Pusat. Diketahui Bupati Subang telah berkirim surat keberatan nelayan tersebut pada 27 Juni 2023.
“Pemerintah Kabupaten Subang sudah bersurat ke Pemerintah Pusat yang intinya keberatan atas Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021,” ungkap Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Subang Budi Rakhmat, seperti dilansir Padundan Ekspres, baru baru ini.
Peraturan tersebut mengatur tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Jika melihat dari potensi yang ada, kata dia, nelayan asal Subang yang melakukan aktivitas perairan untuk menangkap hasil laut sangat banyak.
“Nelayan yang melaut dengan ukuran kapal di bawah 10 GT jumlahnya mencapai 800-an, sisanya sebanyak 400 nelayan menggunakan kapal di atas 10 GT,” katanya.
Peraturan Pemerintah tersebut, hanya berlaku kepada nelayan yang melaut dengan ukuran kapal di bawah 5 GT dan melakukan aktivitas dengan jarak lebih dari 12 mil dari bibir pantai.
Budi menjelaskan, ketika nelayan tersebut beraktivitas lebih dari 12 mil, maka dikenakan PNBP sebesar 5 persen. Hal tersebut memang dirasa berat, lantaran nelayan pun harus membayar retribusi sebesar 1,8 persen dari hasil tangkapannya ketika proses transaksi lelang ke Pemerintah Daerah Kabupaten Subang.
“Itulah yang mereka keluhkan, namun peraturan tersebut hanya merujuk di Blanakan saja ya, sedangkan daerah lain seperti Pusakanagara dan lainnya tidak berlaku peraturan tersebut,” jelasnya.
Sebelumnya, sejumlah nelayan di wilayah Pantura Kabupaten Subang menolak untuk membayar retribusi hasil tangkapan ikan berupa PNBP yang ditarik Pemerintah Pusat.
Pasalnya, PNPB senilai 5 persen (untuk kapal kecil) dari hasil penjualan tangkapan itu cukup memberatkan nelayan di tengah himpitan ekonomi pasca pandemi Covid-19.
Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Mina Fajar Sidik Dasam mengatakan, retribusi PNBP bagi nelayan yang berada dalam naungan KUD Fajar, cukup memberatkan.
Apalagi, nelayan di KUD juga dibebani pajak yang dipungut pemerintah daerah yang berasal dari hasil tangkapan ikan nelayan. Selain itu, banyak pungutan lain seperti dana untuk pembangunan, cukai desa, dan lainnya.
“Jika Pemerintah Pusat tetap memaksakan retribusi PNPB terhadap nelayan, ini sangat memberatkan,” kata Dasam.
Dia mengaku keberadaan koperasi sangat bermanfaat bagi nelayan pada khususnya, masyarakat, dan pemerintah.
Namun dengan alasan penangkapan ikan terukur, pemerintah menerapkan retribusi penerimaan negara bukan pajak sebesar 5 persen.
Dia menjelaskan, sebelum adanya retribusi PNBP, potongan hasil tangkapan ikan sudah ada yang disepakati yakni sebesar 6 persen. Jika ditambah dengan retribusi PNBP, pemerintah dinilai terlalu banyak menangambil uang dari nelayan.
“Dari dulu sudah ada potongan lelang yang sudah disepakati yang apabila ini diterapkan lagi, itu jadi dobel potongan. Bayangkan saja kalau pajak di sini sudah 6 persen lalu dikenakan lagi retribusi PNBP 5 persen berarti total jadi 11 persen,” ungkapnya.
Dasam menyebut di daerah lain banyak nelayan dengan hasil tangkapan cukup banyak, namun mereka tidak dikenakan pajak daerah atau retribusi PNBP.
“Ada di daerah lain yang memiliki nelayan banyak, ikannya banyak tetapi organisasinya gak ada, tak ada potongan,” ujarnya.
Selama ini, kata dia, nelayan yang berada di bawah naungan KUD Mina Fajar Sidiq sudah membantu program pembangunan pemerintah. Seperti membantu pembangunan jalan, jembatan dan membantu program kesehatan serta kecelakaan.
“Nelayan di KUD sudah membantu itu semua, maka sangat wajar jika nelayan di Blanakan itu menolak adanya retribusi PNBP,” ucapnya.
Apalagi yang dikhawatirkan Dasam, jika terjadi konflik antara penagih retribusi dengan nelayan saat penagihan retribusi berjalan.
“Nelayan pasti akan menolak, dan kasihan nanti petugas pemungut retribusinya, dari pada hasil malah terjadi penolakan,” terangnya.
Dasam pun berharap pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan retribusi PNBP bagi nelayan. Sebab, pemerintah dinilai memaksakan pungutan secara langsung kepada nelayan.
“Kalau pemerintah memaksakan pemungutan secara uang langsung dari nelayan akan terasa terhina dibandingkan preman. Seharusnya pemerintah menjamin kesejahteraan nelayan dan itu dijamin undang-undang dasar,” jelasnya.
Dia menyinggung pemerintah yang tidak semestinya mengambil keuntungan berupa uang secara langsung dari nelayan melalui retribusi PNBP. Seharusnya pemerintah bisa mengambil pajak dari ekspor atau hasil olahan dari ikan hasil tangkapan nelayan.
“Seharusnya pemerintah itu jangan mengambil keuntungan secara langsung uang dari nelayan,” ucapnya.
Lebih lanjut Dasam menjelaskan, para nelayan memiliki kemandirian dengan membuat sarana penangkapan ikan yang menghabiskan dana ratusan juta rupiah. Selain itu, dengan bisa mempekerjakan ABK, artinya sudah bisa membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.
“Itu tidak dibantu pemerintah, nelayan dengan modal sendiri bisa membuka lapangan kerja,” ujarnya. (Abdulah)