Kabupaten Cirebon, Demokratis
Sejumlah wali murid dan siswa-siswi mempertanyakan atau komplain atas berbagai “pungutan liar” atau pungli pada sistem maupun kebijakan proses belajar mengajar di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Satu (SMKN 1) Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, yang diduga syarat dengan biaya laten atau siluman, Rabu (16/8/2023).
Keluhan atau komplain tersebut telah lama dirasakan oleh sejumlah wali murid yang putra dan putrinya duduk di bangku SMKN 1 Kapetakan. Namun keluhan itu tidak dianggap atau diabaikan.
Hal tersebut di atas diungkapkan oleh sumber kepada Demokratis, pada Minggu (13/8/2023), bahwa pihak sekolah menarik biaya untuk pengambilan seragam kepada peserta didiknya di kelas XI (sebelas) senilai ± Rp 1 juta pada tahun lalu.
Adapun item yang diuraikan adalah, baju olahraga, baju kejuruan, baju batik, baju korp, baret, balok, topi, dasi, atribut (bet logo sekolah, bet jurusan dan lokal), name tag, ikat pinggang dan sepatu dengan yang wajib diambil di Unit Produksi Neskape milik sekolah.
Dari biaya yang dikeluarkan oleh sekolah bagi peserta didiknya untuk pengambilan seragam itu, SMKN 1 Kapetakan dianggap tidak menghiraukan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah serta tidak patuh terhadap Keputusan Gubernur Jawa Barat, Nomor 700/ kep.375-/ 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 700/ kep. 1089- Inspt/ 2016 Tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar Di Daerah Provinsi Jawa Barat.
Ditambahkan pula oleh sumber, bahwa pada tahun ini sekolah masih menarik pungutan untuk biaya seragam bagi murid kelas X (Sepuluh) dengan biaya yang serupa. Yang dikhawatirkan, kebijakan yang tersistematis tersebut berdampak serupa dengan fenomena yang terjadi di kelas XI (sebelas).
“Biaya tersebut sudah lama dipungut, namun kewajiban sekolah untuk memberikan hak siswa-siswi tidak juga dilakukan dengan berbagai macam alasan. Padahal udah hampir setahun, belum lagi biaya kunjungan industri,” ungkap sumber kepada Demokratis.
Selain “otak-atik” biaya seragam, kunjungan industri (KI), terdapat pula kabar bahwa pihak sekolah selama dua tahun terakhir ketika melakukan kegiatan atau membuat kebijakan tidak pernah melibatkan peran komite sebagai lembaga pemberi.
Padahal, peran komite sebagai pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan, sebagai lembaga pendukung baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
Ketika persoalan dan fenomena tersebut dikonfirmasikan kepada pihak sekolah, H. Moch Abdurachman selaku Kepala Sekolah (Kepsek) melalui Edah Sukaedah sebagai wakil kepala humas dan juga merangkap sejumlah jabatan lainnya mengatakan, ia tidak dapat menjelaskan secara detail dan rinci.
“Jawaban saya, barangkali tidak sesuai, menunggu waktu selesai semua, nanti dibagikannya. Karena masih ada mipil-mipil gitu. Jadinya tuh, nanti nunggu semuanya kumpul gitu,” kelit Edah ketika di wawancara, pada Selasa (15/8/2023).
Dari berbagai alasan, bahwa persoalan yang ditanyakan merupakan wewenang bagian Unit Produksi (UP), sedangkan pihak UP sendiri saat ini sedang mengambil waktu cuti hamil. Sehingga, Edah sebagai Waka Humas belum memberikan jawaban konkret yang dikeluhkan atau dikomplain oleh sumber dan wali murid.
“Pembayaran langsung dengan bagian unit produksi yaitu Siti namun ia sedang cuti hamil. Untuk jumlah siswa-siswi kelas sepuluh sebanyak 270, sedangkan kelas sebelas sebanyak 300 siswa-siswi,” demikian penjelasan secara umum yang diberikan oleh Edah. (RT)