Sepanjang sejarah politik Pemerintahan Amerika ada dua aliran politik yaitu, Republik dan Demokrat. Ailran tersebut mendominasi bergantian, kalau hari ini periode yang dikuasai Demokrat akan datang dikuasai partai Republik.
Ada partai ketiga, yakni partai alternatif menjadi independen ikut pemilihan presiden tidak pernah menang. Walau berusaha dengan gigih tetapi gagal dan tidak sukses juga.
Ya begitulah kenyataan sejarah. Berlanjut tapi tidak ada perubahan. Padahal ajaran besar sejarah itu adalah continue and change (berlanjut dan perubahan). Seperti pendapat Arnold Toynbee sejarawan Barat memang terdapat besaran berlanjut tapi tanpa perubahan. Barang kali saja yang akan datang, belum sekarang.
Dihubungkan dengan kepentingan politik Indonesia sama saja. Kalau pro politik partai Demokrat dan kemudian anti partai Republik hanya kepetingan politik Amerikanya identik.
Buku The Indonesian Tragedy buah tangan sejarawan Amerika dengan tebal buku hampir 400 halaman mengisahkan hal itu dengan menganalisa politik Amerika pada era Suharto. Bidang ekonomi Indonesia dengan tema pembangunan 25 tahun tinggal landas. Pembangunan gagal. Tinggal landas disebut tragedi. Nyatanya demikian.
Pembangunan Indonesia di bidang ekonomi dengan ahli-ahli datang dari Amerika, terbukti gagal karena tidak sesuai dengan nilai Indonesia; Kapitalistik meninggalkan kerakyatan. Demikian hasil analisa OK Brian.
Berkaitan dengan hal itu setidak-tidaknya kita mencatat beberapa poin antara lain adalah ekonomi berkeadilan, politik kapitalistik dan infrastruktur yang terabaikan. Demikianlah aplikasi pembangunan ekonomi yang diantarkan pada Indonesia.
Menarik pendapat Mr Muhmmad Rasyid almarhum mengatakan dalam bukunya Bung Hatta 70 Tahun terbit 1980, ia menegaskan politik bebas aktif dari kebijakan pemerintah tidak memihak blok manapun. Termasuk blok Amerika. Bagi pemimpin Indonesia tidak bersedia menerima tawaran pembangunan jalan lintas Sumatera tetapi kontrak mengambil merk Ford mobil keluaran pabrik Amerika. Masa awal kemerdekaan Indonesia menolak. “Demikian sikap kita,” kata Mr Muhmmad Rasyid yang pernah menjadi Gubernur Sumatera pada awal kemerdekaan Indonesia.
Pada akhirnya, bebas aktif lebih baik kita terapkan dalam politik luar negeri kita. Ketimbang menerima tawaran asing, tapi terikat kontrak. Semoga!
Jakarta, 20 Agustus 2023
*) Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta