Sabtu, November 23, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ketimuran, Keadaban dan Keberadaban Kita (Studi Kasus Rocky Gerung: Bajingan Tolol dan Pengecut)

Bagian 4 dari 5 Tulisan

Negeri negeri yang binasa dan yang dibinasakan deru angin dan gelombang samodra adalah negeri negeri bajingan tolol dan pengecut. oleh sebab politik telah menjadi panglima dan kekuasaan telah menjadi tuhannya. sedangkan air mata  menggenang di mana-mana dan menenggelamkan nestapa.

Iqro iqro iqro atas negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. tidakkah itu sebagai  pelajaran dan penuntun  bagi kita. bukankah langit begitu terang memberi kabar dan berita. awan berarak hitam pekat dan daun-daun berguguran sebelum musim tiba.

Negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. kita hanya diajari pertengakaran perut bukan pertengkaran pemikiran. kita tidak pernah diajari berdebat menyoal argumementasi kecuali hanya diajarkan bagaimana memainkan kekuasaan. kita hanya diajari menjadi pemuja dan penghamba kekuasaan dan bagaimana merepresi bukan menjadi kompas kehidupan. sungai sungai tak lagi bisa untuk berkaca. airnya coklat penuh sampah.

Negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. kecoa kecoa, tikus tikus dan lalat alat berkerumum di darah babi. para pedebah membarikade kefir’aunan. kritik adalah ancaman, hinaan dan kebencian baginya. sumbu sumbu kekuasaan setiap saat bisa memproduksi, memobilisasi dan merekayasa kebohongan, ujaran kebencian, keonaran dan kegaduhan untuk membungkam mulut mulut kegelisahan. membelenggu kalbu kalbu yang berteriak demi masa di ‘arasmu.

Negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. sebab umar bin khottob tak ada di sana sehingga matahari tak lagi menyala. cahaya tenggelam dan tertimbun bayangan runtuhnya singgasana. langit makin gelap. cahaya menepi dalam senyap. sejarah dan waktu yang akan bicara dan kebenaran  akan memilih jalannya sendiri. tegak lurus pada matahari  dan sunyi senyap akan memancarkan cahaya dalam kebisingan yang menulikan pendengaran dan penglihatan yang gerhana.

Singaraja, 8.8.2023.

(0’ushj.dialambaqa-Puisi: Negeri Negeri Bajingan Tolol Dan Pengecut)

 

Atas Nama KBBI

Mari kita ikuti nalarnya. Kita coba sepakati bahwa kata-kata yang dilontarkan RG tersebut di luar adab, tidak beradab, tidak beretika-Ketimuran, dan tidak bermoral. Kita kunci pernyataan tersebut sebagai sebuah pembenaran yang akan kita uji derajat nilai keluhurannya dengan kata-kata yang mereka lontarkan sendiri.

Untuk itu, mari kita sandingkan dan bandingkan dengan dasar pijak yang sama, menggunakan KBBI sebagai standar nilai etika-Ketimuran; adab, keadaban, keberadaban, dan nilai moralitas dari  kata-kata yang dimaksud.

Setelah itu, kita mendudukkannya dan atau meletakannya, bagaimana velue atas kata-kata tersebut, masing-masing dengan pilihan diksi yang dilontarkan di ruang publik, baik RG maupun mereka.

Sekali lagi, kita anggap saja yang benar adalah yang dikatakan mereka (BR, RIB/RJ, ANM. ML, DT dkk) dengan mendukukan etika-Ketimuran; tata krama. sopan santun, unggah ungguh dalam bertutur kata, dan moralitas dari kata-kata itu sendiri yang kita sandingkan untuk menakar nilai keluhuran yang sesungguhnya dari kata kata itu sendiri.

Jika kita bersandar pada adab, etika-Ketimuran dalam bertutur kata, apakah kata-kata: bajingan, tolol dan pengecut yang dilontarkan RG jauh lebih tidak beradab nilai keadaban dan keberadabannya jika dibandingkan dengan kata-kata: komprador, antek-antek asing, agen asing, pecundang, otak udang, robot tidak punya hati, dan pasang badan; rela mati, mempertaruhkan nyawanya untuk kekuasaan?

Kita yang punya logika dan akal waras pastilah akan mengatakan bahwa kata: komprador, antek-antek asing, agen asing, pecundang, otak udang dan rela mati demi kekuasaan, jauh lebih tidak beradab, jauh lebih tidak bermoral, dan sangat jauh dari keberadaban ketimbang kata-kata: bajingan, tolol dan pengecut itu sendiri. Berikut bagaimana secara leksikal (KBBI) atas pengertian dan atau definisi dari kata-kata tersebut.

Bajingan artinya penjahat, pencopet, kurang ajar (makian). Tolol (stupid) artinya sangat bodoh; bebal. Kata tolol merupakan kata sifat (ajektiva). Pengecut adalah (1) penakut. (2) munafik.  Pengecut merupakan kata nomina (kata benda).

Dalam teks, konteks dan di balik konteks itu sendiri. Bajingan bukan berasal dari kata ‘bajing’ (Tupai), yang diberikan akhiran ‘an’, sehingga menjadi kata \bajingan’. Jadi, bukan karena Tupai itu merupakan musuh petani kelapa dan sejenisnya, sehingga diberi akhiran ‘an’ sebagai kata sifat untuk menegaskan bahwa itu jahat alias Tupai itu binatang jahat.

Kata ‘bajingan’ merupakan ajektiva tunggal. Tidak ada relevansinya ‘Bajingan’ dengan hewan yang bernama ‘Tupai’, apalagi ditarik ke dalam pemaknaan ‘bajing loncat’ untuk prilaku kejahatan dari truk ke truk yang menganggut perbekalan seperti beras.

Dalam konteks sejarah, peradaban dan kebudayaan Jawa, Bajingan adalah seseorang yang memiliki pekerjaan sebagai pengendali (sopir) gerobak (cikar) sapi. Bajingan adalah sopir atau pengendali dari moda transportasi tradisional masayarakat Jawa yaitu gerobak sapi, gerobak yang ditarik oleh sapi.

Bajingan hingga kini masih hidup di Jawa Tengah-Jogja dan sekitarnya, bahkan setiap tahun ada festival Bajingan untuk melestarikan budaya lokal, kearifan lokal tersebut sebagai transportasi yang mempunyai sejarah budaya yang panjang. Sehingga, menjadi tidak benar kemudian ‘Bajingan’ sudah tidak ada dalam budaya dan peradaban lokal, terutama di Jogya dan sekitarnya.

Di Indramayu, gerobak itu dikenal dengan nama Pedati, ditarik oleh kerbau, sedikit sekali yang menggunakan pedati dengan sapi. Pedati kerbau/sapi hidup hingga sekitar tahun 1975-an. Pedati-Kerbau sebagai alat transportasi angkutan barang.

Kerbau di tahun-tahun tersebut banyak diternak dan atau dipelihara warga desa, terutama yang ekonominya terbilang kaya. Kerbau juga dipakai untuk tradisi bajak sawah sebelum teknologi traktor masuk dan menggusurnya dari budaya bersawah.

Bajingan dalam konteks filsafat dan teologi adalah manusia yang disayangi Tuhan, karena amal dan perbuatannya yang blangsak, tidak sejalan dengan kehendak jalan Tuhan, karena manusia diciptakan menjadi khalifah di muka bumi (khalifatullah fil ardh). Sebagai khaliftullah fil ardh, maka kekhalifahannya menjadi pertanggung jawaban atas takdir sosial, dimana ia sebagai Presiden, pejabat publik dan para pemimpin umat.

Oleh sebab itu, si Bajingan tersebut sebagai manusia yang disayangi Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, dan Yang Maha Pengampun tetap membukakan pintu perthaubatannya kepada bajingan tersebut; thauban nasukha, agar bisa kembali ke jalan yang benar, jalan Tuhan; shirathol mustaqiem.

Tolol= bodoh. Tolol dan atau ketololan merupakan keterkaitan erat dengan problema stunting, yang kini menjadi salah kaprah, karena stunting hanya dipahami secara pisik semata, dengan standar kenormalan bayi lahir diukur dari berat badan dan tinggi badan.

Stanting tidak dimaknai keterlambatan (perkembangan) otak, dimana stanting akan membawa masa depan bangsa dan negara dalam ketertinggalan dibanding dengan peradaban kemajuan teknologi, sain dan peradaban berpikir sebagai suatu bangsa dan negara, di mana negeri ini sebagai warga dunia. Tolol dan ketololan sangat berelasi dengan stanting dalam teks dan konteks lainnya sebagai idiomatik.

Pengecut adalah penakut, Pengecut (kata nomina/kata benda) adalah sifat seorang yang cenderung terlalu takut terhadap sesuatu, biasanya seorang pengecut takut terhadap hal-hal yang tidak orang lain takuti.

Kemudian, mari kita sandingkan dan bandingkan dengan kata-kata yang dilontarkan mereka apalagi sebagai pejabat negara. Tentu dengan dalil yang sama sebagai basis argumentasinya.  Kita yang masih punya logika dan akal waras akan mengatakannya jauh lebih (sangat) tidak beradab, bukan? Jauh lebih sangat tidak bermoral, bahkan jauh lebih jahanam jika itu sebagai kejahanaman yang dilontarkan RG.

Komprador artinya anak bangsa yang rela dan tega menjual kepentingan bangsa dan rakyatnya demi kepentingan pribadi dan keluarganya. Komprador secara ekstrim atau radikal dikatakan sebagai pengkhianat bangsa, menjual bangsa demi keuntungan pribadi.

Komprador adalah: (1) pengantara bangsa pribumi yang dipakai oleh perusahaan atau perwakilan asing (Tiongkok) dalam hubungannya dengan orang-orang pribumi. (2) perantara. Komprador merupakan kata nomina (kata benda).

Antek-antek asing terdiri dari kata ‘antek’ dan ‘orang asing’. Antek adalah orang atau negara yang diperalat atau dijadikan pengikut orang atau negara lain, kaki tangan, budak untuk kepentingan asing. Antek asing adalah kaki tangan bangsa asing.

Agen asing adalah setiap orang atau badan yang secara aktif menjalankan kepentingan negara asing saat berada di negara sendiri. Dalam pemahaman yang sederhana adalah seseorang atau badan yang bekerja untuk kepentingan bangsa asing, yang biasanya menyangkut kedaulatan bangsa dan negara, yang bersifat rahasia. Agen asing berperan sebagai mata-mata untuk kepentingan asing atas bangsanya sendiri.

Pecundang adalah orang yang menghasut, orang yang menipu. Sebagai kata nomina (kata benda) mempunyai arti: orang yang menghasut, orang yang menipu, yang kalah, yang dikalahkan, dan kecudang.

Untuk itu, jika kita mendalikan dengan argumentasi mereka dari persoalan etika-Ketimuran, adab, keadaban, keberadaban dan moralitas yang kita sepakati di muka, dan jika kita mempertentangkan, memperdebatkan, mempersoalkan dan memperkarakannya dengan kata: bajingan, tolol dan pengecut, bandingkan dengan kata: komprador, antek-antek asing, agen asing dan pecundang, bagaimana logika dan akal waras harus bicara?

Apakah pilihan diksi yang lontarkan RG ataukah pilihan diksi yang dilontarkan mereka (BR dkk) yang jauh lebih tidak sangat bermoral, juah lebih sangat tidak beradab, jauh lebih sangat tidak beretika? Hanya yang punya logika dan akal waras yang bisa menjawab, dan hanya yang masih punya kejujuran yang bisa menjawabnya pula.

Jika kita berkutat pada ujaran kebencian dan atau permusuhan, jauh lebih sangat kebencian dan kebermusuhan mana atas definisi dan atau pengertian dari kata-kata yang dilontarkan RG dengan yang dilontarkan mereka di berbagai media massa?

Berangkat dari sentimen kebencian dan atau kedengkian, jika kita masih punya logika, akal waras dan kejujuran, ucapan dan atau kata-kata siapa yang dianggap menyerang kehormatan, harkat dan martabat persomal-pribadi, apakah ucapan dan atau kata-kata RG, ataukah mereka yang justru jauh lebih menyerang atas hakekat harkat dan martabat pribadi seseorang?

Hanya yang masih punya logika dan akal waras yang bisa menjawabnya dengan berbasis logika intelektual akademik dan kejujuran, bukan berbasis logika kepentingan sebagai sebuah penghinaan, keonaran dan kegaduhan atas dasar arena relasi kuasa. Karena, logikanya menjadi berantakan, dan itu pula yang dikedepannya; bagaimana jika orang tuamu dihinakan, diserang harkat dan martabatnya (Yohanes Joko-KSP)?

Jika kita sandingkan dan bandingkan dengan kata-kata yang dilontarkan AMN: bahwa RG adalah intelektual songongotak udang, yang dalam KBBI, otak udang artinya bodoh=tolol. Songong artinya tidak tahu adat, cudes.

Dengan dalil mereka, maka harus kita katakan sama saja dengan RG, apa bedanya? Yang dikatakannya bahwa kata-kata RG tersebut adalah di luar adab, tidak beretika Ketimuran, tidak bermoral, songong dan seterusnya, karena itu merupakan kata-kata penghinaan, dan menyerang kehormatan seseorang.

Jika memakai standar adab dan moralitas mereka, ANM dengan mengatakan otak udang=bodoh=tolol, merupakan penghinaan atas Tuhan, karena udang adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sesungguhnya sangat amat unik, tidak saja otaknya yang menyatu dengan punggung, tapi wujud dan maujudnya sebagai makhluk Tuhan.

Semua ciptaan Tuhan sesungguhnya sangat unik. Hanya manusia yang tidak beradab, tidak bermoral akan mengatakannya adalah buruk muka atau sebagai olok-olok dalam menyerang balik lawan yang dianggap musuhnya, yang dibencinya atau yang tidak disukainya. AMN berada dalam aquarium tersebut.

Pertanyaannya menjadi, jika RG adalah berotak udang dan AMN juga sama, berotak udang pula. Siapakah yang berotak Udang Paname dan siapa yang berotak Udang Lobster? Sama-sama udangnya, sama-sama otaknya menyatu dengan punggung.

Jika melakukan pembacaannya dalam setiap acara dialog di TV yang berujung debat kuir, ANM selalu terpojok kehabisan stok argumentasi. Artinya yang berotak Udang Panamen siapa ya jika begitu? Ternyata, Udang Paname sel saraf ganglianya dalam otaknya lebih kecil jika dibandingkan dengan Udang Lobster.

Tentu, yang ganglianya lebih kecil atau sedikit, pasti kehabisan stok argumentasi. Atau bisa jadi stanting, sehingga menjadi ketidak-mampuannya dalam merespon secara komprehensif atas lawan debatnya. Salah satu kelebihannya, bermodal ngotot, lantas bilang: saya ini doktor, kau apa?

Mari kita sandingkan pula dengan ucapan dan atau kata-kata AMN ketika orasi kampanye mendukung capres Prabowo Subiyanto, yang jika menganut pandangan BR dkk dan atau AMN setelah berada dalam Istana, maka kata-kata AMN (bisa diputar ulang secara lengkap jejak digitalnya), yang  sepotong kata yang dilontarkannya, bisa dibaca di BBC News Indonesia, 25 Mei 2018,  pasti dan harus kita mengatakannya telah melakukan penghinaan atas pribadi (tubuh keprivatan) Jokowi, karena menyerang bentuk pisik Jokowi yang merupakan ciptaan Tuhan itu.

Sejarah dan waktu yang kemudian bicara tentang ANM. Tak bisa terbantahkan lagi. Apa jawabnya ketika ditanya setelah dirangkul Presiden Jokowi menjadi Tanaga Ahli Utama KSP yang sekaligus merangkap komisaris independen BUMN?

AMN begitu enteng menjawabnya, ya itu pilihan politik. Muka tembok yang dipertontonkannya. Bermoralkah jawaban tersebut? Beradabkah kata-kata yang dilontarnya waktu itu? Tentu, jika kita sepakat dengan BR dkk, dan termasuk sepakat dengan ANM itu sendiri yang kini bicara soal adab, etika dan moral, pastilah akan mengatakannya: iya betul itu, sungguh tidak beradab dalam keadaban dan keberadaban.

Salahkah jika kita yang masih punya logika dan akal waras mengatakannya: “dasar muka tembok.” Yang kemudian menjadi pembenaran ucapan ML: robot tidak punya hati, bisa dicari siapa yang meremotnya. Senjata dimakan tuannya sendiri. Begitulah untuk AMN jika meminjam kata-katanya ML, meski kata-kata tersebut diucapkan ML untuk menyerang RG.

 

Atas Nama Kekerasan Verbal

Jika kata-kata yang dilontarkan RG dikatakan adalah bentuk dan atau merupakan kekerasann verbal, apa bedanya dengan yang dikatakan mereka? Bahkan mereka jauh lebih dari kekerasan verbal, jika tafsir dan maknanya berdasarkan KBBI dan atau linguistik forensik baik itu secara teks maupun konteks di balik teks itu sendiri. Bahkan dalam bingkai moralitas atas keluhuran kata itu sendiri.

Ibn ar-Rawandi, 205 H/815 M-245 H/860 M, (dalam ‘Abats al-Hikmah) dalam polemik, perdebatan pemikiran, teologi dalam khazanah agama-ke-Islaman mengatakan, Tuhan itu bodoh dan picik, pendendam dan kejam.

Kemudian Ibnu ar-Rawandi dikritik sangat sarkastik, sinistik oleh Ibn al-Jawzi, yang jika menggunakan nalar mereka (BR dkk) dikatakan di luar adab, tidak bermoral dan menghina, penghinaan. Dahsyat, fantastik sekaligus menjadi padadoks bagi diri mereka sendiri. Tapi tidak bagi Ibn al-Jawzi maupun Ibn ar-Rawandi sendiri, karena derajat berfikirnya sangat jauh berbeda, bagaikan langit dengan bumi.

Ibn al-Jawzi (dalam Al-Muntazham fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam) mengatakanya: “Kami tidak pernah mendengar seseorang pun yang mencemarkan Pencipta dan membuat olok-olok terhadapnya melebihi dari apa yang dilakukan oleh si laknat.”

Ibn ar-Rawandi disebut sebagai si laknat. Ibn al-Jawzi tidak mempidanakan Ibn ar-Rawandi atas nama penistaan agama, dan juga tidak melakukan persekusi atas nama kekerasan verbal yang dikatakannya. Tidak seperti mereka yang memperkusi RG dengan melempari telur busuk ke rumahnya bahkan merusak, yang tidak puas meski sudah mempolisikannya.

Pertengkaran atau perdebatan sengit dan tajam kedua intelektual pemikir Islam tersebut tidak saling lapor melapor dan atau mempidanakannya sebagai penistaan agama, menghina Tuhan.  Keduanya, tidak saling memperkusi dengan saling melempari rumah dengan telur busuk, seperti yang terjadi pada RG. Itulah perbedaan dahsyat antara para pemikir dengan mereka (BR dkk).

Mereka (BR, AMN, ML dkk) membisu sejuta bahasa ketika terjadi persekusian terhadap RG pada hari Minggu, 6 Agustus 2023. Para pendemo  melempari telur busuk ke rumah dan pagarnya. Si (rambut)  Gondrong memberikan komando dan aba-aba kepada pasukannya untuk melempar telur busuk, sambil mengatakan: melempari rumah RG dengan telur busuk sama halnya dengan melempar Balang Jumroh. Allahu Akbar Allahu Akbar, teriaknya.

Atas tindakan tersebut, mereka tidak bergeming, tidak bersuara, dan tidak mengutuk tindakan biadab tersebut, dan tak berkomentar apapaun, padahal dengan gagah dan berkali-kali mengatakannya bahwa dirinya sangat menghargai dan menjaga demokrasi.

Mereka juga tidak mengutuk atas tindakan biadab tersebut. Padahal, itu begitu konkret merupakan penghinaan terhadap Allah SWT, dan penistaan atas agama, karena sambil meneriakkan Allahu Akbar dan menyamakannya dengan Balang Jumroh ke Ka’bah  menggunakan telur busuk.

Pertanyaan yang tersisa, apakah KKN yang masif, terstruktur dan sistemik di lingkaran kekuasaan akan dikatakannya masih beradab dan bermoral? Bukankah KKN tersebut jauh sangat tidak beradab dan jauh sangat tidak bermoral ketimbang kata-kata yang dilontarkan RG sebagai sebuah kritik atas kebijakan?

Apakah korupsi yang masif, terstruktur dan sistemik di lingkaran kekuasaan tersebut tidak jauh lebih sangat jahanam dibandingkan kata-kata RG tersebut? Apakah perkorupsian yang masif, terstruktur dan sistemik di lingkaran kekuasaan itu tidak sangat biadab dibandingkan kata-kata RG yang dilontarkan? Hanya yang masih punya kejujuran, logika dan akal waras yang bisa menjawabnya dengan jujur.

Buat apa kesantunan bertutur kata jika hanya untuk permainan retorika semata. Buat apa pula jika kesantunan bertutur kata, tetapi tidak berkesantunan dalam kebijakan. Buat apa jika kesantunan bertutur kata hanya untuk kemunafikan dan atau menjadi munafik pada akhirnya. Suangguh memedihkan kita sebagai bangsa dan kita sebagai warga dunia.

Moral kata dan atau moral agama dalam kata, apakah  juga merupakan harga mati? Jika memakai kaca mata mereka, pastilah dikatakan tidak beradab, tidak beretika-Ketimuran atau tidak bermoral apa yang dikatakan Imam Al-Ghazali itu.

Al-Ghazali alias Abu Hamid al-Ghazali (filsuf kelahiran pertengahan abad ke-5 H/450 M – 14 Jumadil Akhir 505 H,  di Thus, kota di Khurasan-Timur Persia-Kuno- kini menjadi Khorasan Raya meliputi wilayah  bagian dari  Iran, Afganistan, Tajikistan, Turkmenistan, Kazakhstan dan Uzbekistan).

Al-Ghazali ketika berpolemik memilih diksi atau kata: dungu dan atau kedunguan, tolol dan ketololan. Pilihan diksi tersebut disadari betul oleh Al-Ghazali, karena kata-kata tersebut harus dibebaskan dari jajahan makna dan beban moralitas-agama sebagai kritik dalam berpolemik.

Kata kedunguan dipakai Al-Ghazali ketika menanggapi apa yang dikatakannya Zat-Nya adalah akal dan pengetahuan., sehingga Dia tidak memiliki Zat  lalu berdiri di atas Zat tersebut. Al Ghazali menjawabnya: Kedunguan tampak dalam pernyataan, pengetahuan merupakan suatu sifat dan aksiden yang membutuhkan sesuatu yang disifati (Imam Al-Ghazali: Tahafud al-Falasifah).

Kata tolol dan ketololan juga dipakai Al-Ghazali. Pengandaian kuiditas yang tunggal dan maujud secara intelektual dapat diterima. Apabila mereka katakan, “setiap kuiditas yang merupakan suatu maujud adalah sesuatu yang plural karena terdapat eksistensi di samping kuiditas (mahiyyah),”  pandangan itu hanya menampakkan ketololan yang berlebihan.

Itu karena pada setiap kasus, maujud yang tunggal-dalam segala hal-dapat dibayangkan dalam akal. Tidak ada maujud yang tanpa esensi hakiki, tetapi adanya hakekat tidak menafikkan kesatuan (wihdah) (Ibid). Al-Ghazali tidak dipidanakan oleh para filsuf atas kata-katanya yang sarkastik tersebut.

Begitu juga yang dikatakan AMN bahwa RG adalah intelektual songong, bukankah AMN jauh lebih songong ketimbang RG, ketika dalam cara dialog TV yang berujung debat kusir. AMN tersudut karena isi batok kepalanya kandas untuk berargumentasi. Yang muncul kemudian adalah kecongkakan akademiknya dan kesongongannya; ‘saya itu doktor’ dan otak ‘kau’?

Kata ‘kau’, ketika diucapkan berhadap-hadapan, pada komunitas tertentu dan atau daerah tertentu, dianggap tidak sopan. Meski begitu, tidak akan dipidanakan. Karena, paham betul dengan peradaban umat manusia yang beragam.

Dalam dialog yang berujung debat kusir, bukankah ANM jauh lebih songong, karena seringkali melontarkan kata: Kau! Kata ‘kau’ yang dilontarkan terhadap lawan dialog yang berhadap-hadapan, maka pada daerah tertentu,  pada umumnya akan mengatakannya sangat tidak sopan, dan bisa dianggap sebagai penghinaan apalagi dengan ekspresi terkesan kebencian dan intonasi seperti marah, tetapi tidak akan dipidanakan, karena paham betul soal adab, etika dan moralitas.

Yang memilukan dan menggelikan adalah mereka masih bisa bicara soal etika, adab, moral dan agama dan seterusnya, dimana pernyataannya sendiri kerapkali digugurkan dan atau ditumbangkannya sendiri. Konsistensi yang terkuburkan, yang oleh Pierre Bourdieu dikatakan sebagai pengkhianatan intelektual, demi kepentingan perut, menjadi pemuja kekuasaan dan atau penghamba kekuasaan.

Konsistensi, memang sangatlah mahal, baik konsisten dalam kebaikannya maupun konsisten dalam kejahatannya, tetap value konsistensinya menjadi mahal. Menjadi ‘bunglon’ amatlah rendah derajatnya, karena Gajah mati akan meninggalkan gading dan Harimau mati akan meninggalkan belang.

Untuk itu, akankah RG mengikuti jejak filsuf Socrates yang memegang teguh keyakinannya atas kebenaran yang dikatakan atau diucapkannya demi martabat dan kehormatan bangsa dan negaranmya, sekalipun harus mendekam dalam penjara dan atau dipenjarakan rezim penguasa?

Akankah RG akan tetap bisa konsisten sampai ajal menjemputnyta? Akankah RG tidak tergoyahkan integritas, idealisme dan moral clarity-nya di tengah pusaran politik kekuasaan dan atau kekuasaan politik (yang represif)? Sejarah dan waktu yang akan bicara kemudian.

Manusia mati akan meninggalkan nama dalam jejak sejarahnya, meski kematiannya bertabur sejuta bunga ketika dimasukan ke liang lahat, namanya terukir di atas marmer batu nisannya, tetapi,  jejak namanya yang akan bicara. Waktulah yang akan bicara di kemudian hari. ***

Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles