Bagian 5 dari 5 Tulisan
Negeri negeri yang binasa dan yang dibinasakan deru angin dan gelombang samodra adalah negeri negeri bajingan tolol dan pengecut. oleh sebab politik telah menjadi panglima dan kekuasaan telah menjadi tuhannya. sedangkan air mata menggenang di mana-mana dan menenggelamkan nestapa.
Iqro iqro iqro atas negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. tidakkah itu sebagai pelajaran dan penuntun bagi kita. bukankah langit begitu terang memberi kabar dan berita. awan berarak hitam pekat dan daun-daun berguguran sebelum musim tiba.
Negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. kita hanya diajari pertengakaran perut bukan pertengkaran pemikiran. kita tidak pernah diajari berdebat menyoal argumementasi kecuali hanya diajarkan bagaimana memainkan kekuasaan. kita hanya diajari menjadi pemuja dan penghamba kekuasaan dan bagaimana merepresi bukan menjadi kompas kehidupan. sungai sungai tak lagi bisa untuk berkaca. airnya coklat penuh sampah.
Negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. kecoa kecoa, tikus tikus dan lalat alat berkerumum di darah babi. para pedebah membarikade kefir’aunan. kritik adalah ancaman, hinaan dan kebencian baginya. sumbu sumbu kekuasaan setiap saat bisa memproduksi, memobilisasi dan merekayasa kebohongan, ujaran kebencian, keonaran dan kegaduhan untuk membungkam mulut mulut kegelisahan. membelenggu kalbu kalbu yang berteriak demi masa di ‘arasmu.
Negeri negeri bajingan tolol dan pengecut yang binasa dan yang dibinasakan. sebab umar bin khottob tak ada di sana sehingga matahari tak lagi menyala. cahaya tenggelam dan tertimbun bayangan runtuhnya singgasana. langit makin gelap. cahaya menepi dalam senyap. sejarah dan waktu yang akan bicara dan kebenaran akan memilih jalannya sendiri. tegak lurus pada matahari dan sunyi senyap akan memancarkan cahaya dalam kebisingan yang menulikan pendengaran dan penglihatan yang gerhana.
Singaraja, 8.8.2023.
(0’ushj.dialambaqa-Puisi: Negeri Negeri Bajingan Tolol dan Pengecut)
Kata dan Makna yang Terjajah
Jika kata-kata atau diksi RG diperkusi dengan moralitas, apakah moralitas universal bisa dipakai sebagai alat ukur untuk pengertian kata itu itu sendiri, dimana setiap kata mempunyai nilai keluhurannya sendiri.
Moralitas universal atas peradaban masa lalu atau kini, tidak bisa selamanya kita terapkan pada era dan zaman yang berbeda, kecuali atas nama moralitas agama. Tetapi, hal tersebut telah kita kemukakan di muka, termasuk kata dalam perdebatan teologi yang berangkat dari perspektif kata.
Kritik atas kebijakan, bisa saja dalam bentuk bahasa non verbal seperti karikatur, lukisan dan lainnya. Dalam bentuk bahasa verbal berupa kata-kata dalam teks dan konteks kalimat, dimana kalimat tersebut menjadi sistem komunikasi verbal yang dimungkinkan bisa efektif dan bisa langsung menusuk jantung kekuasaan, dimana kekuasaan yang telah menggerhanakan matanya dan telah menulikan pendengarannya.
Bahasa verbal bisa menggunakan berbagai gaya bahasa yang tidak saja menggunakan teks diksi denotatif, melainkan harus dipahami dalam konteks konotatif. Terlepas dari apakah pilihan diksinya tersebut sarkastik, sinistik atau eufimistik; yang teramat sangat santun.
Sutardji Calzoum Bachri yang dijuluki Presiden Penyair menegaskan, bahwa kata-kata harus dibebaskan dari jajahan makna, harus dibebaskan dari beban moral pada kata itu sendiri. Kata bukanlah alat untuk menyampaikan pengertian. Sutardji memperlihatkan contoh argumentatifnya tersebut seperti pada kata: kontol, puki, jembut, pukimak pada puisi-pusinya yang terankum dalam buku O AMUK KAPAK.
Sutardji Calzoum Bachri di hadapan publik terbuka membacakan puisi-puisiunya tersebut diberbagai tempat, tidak saja di Taman Ismail Marzuki dan kampus-kampus. Meski penonton, pemirsa dan publik (masyarakat) penyimak sempat terkejut dengan pilihan kata-kata tersebut oleh penyairnya.
Kata-kata yang dianggap tidak beradab tersebut tidak membawa dampak dan atau tidak berimplikasi menjadi keonaran, kegaduhan dan kebencian, karena hal tersebut tidak diproduksi, tidak dibomilisasi, tidak direkayasa oleh kepentingan relasi kuasa. Bukunya tidak dilarang terbit, diperjualbelikan, dan ada di toko-toko buku, di perpustakaan sekolah, perpustakaan umum dan kampus-kampus.
Kata-kata tersebut jika dibebani urusan moralitas dan atau kata-kata tersebut telah mengalami jajahan makna, maka akan dikatakan dan atau ditafsirkan tidak beradab, tidak bermoral dan seterusnya. Kata-kata yang ansich bukanlah alat untuk menyampaikan pengertian, kecuali jika sudah tidak berdiri sendiri-menjadi kalimat-meski bergantung pada teks dan kontkesnya. Yang jongkok dan yang cekak logika saja yang memaknai kata sebagai alat untuk menyampaikan pengertian.
Kata-kata yang dilontarkan RG, lantaran kata-kata tersebut telah mengalami jajahan makna dan dibebani urusan moralitas, ditafsirkan menjadi sebuah penghinaan, menyerang harkat dan martabat pribadi Jkw yang dipahami sebagai tubuh privat yang dengan akal-akalan dan keabunawasan diupayakan menjadi dan atau yang menyebabkan kegaduhan dan menimbulkan keonaran.
Padahal, Jkw sebagai Presiden tidak lagi memiliki tubuh privat, kecuali sudah tidak lagi menjadi presiden. Semua pejabat negara atau pejabat publik, sesungguhnya tidak lagi memiliki tubuh privat, semua yang berada dalam dirinya adalah menjadi tubuh publik. Mengapa? Kita jelaskan pada artikel: RG Dilarang Bicara Seumur Hidup (Studi Kasus Gugatan Perdata Advokat Dabid Tabing di PN Jaksel Atas RG).
Atas Nama Demokrasi
ML mempertegas dengan kata: pasang badan-mempertaruhkan nyawanya, dan jangan coba-coba, dalam sosiologi kekuasaan dan sosiologi politik, hal tersebut merupakan bentuk fasisme dalam kearogansian kekuasaan, pemuja(an) terhadap kekuasaan, penghambaan atas kekuasaan, maka atas dasar kaca mata mereka sendiri, apa yang diucapkan ML dalam konfrensi pers situ harus dikatakannya sebagai ketidakadaban dan ketidakberadaban, tidak bermoral sebagai pejabat negara.
Pancasila tidak mengajarkan pemujaan terhadap kekuasaan. Demokrasi juga tidak mengajarkan pemujaan kekuasaan dan atau penghambaan atas kekuasaan, apalagi agama. Moralitas dan agama hanya mengajarkan kebenaran, menjaga yang hak dan menyingkirkan yang bathil.
Ini pertanda kerusakan mentalitas bangsa, jika orang lain tidak boleh menggunakan diksi yang sarkastik atau sinistik, sedangkan mereka boleh mengatakan diksi apa saja, sesukanya. Demokrasi macam apa yang mereka pahami?
Jika orang lain menggunakan diksi sarkastik atau sisnistik, dikatakannya tidak beradab, di luar adab, tidak beretika-Ketimuran, tidak bermoral bahkan dikatakan sebagai bentuk penghinaan dan atau telah menyerang martabat dan kehormatan seseorang. Tapi itu tidak berlaku bagi mereka atau dirinya. Sungguh luar biasa demokrasi yang mereka pahami.
Atas dasar apa orang lain dilarang, sedangkan dirinya boleh mengatakan hal yang serupa dan bahkan jauh lebih sarkastik atau sinistik, jauh lebih tidak beradab dan jauh lebih tidak bermoral dalam bertutur kata diberbagai dialog tv yang berujung debat kusir dibandingkan dengan kata-kata RG.
Mereka boleh mengatakan apa saja kepada orang lain, tetapi orang lain yang kedudukannya sama di mata hukum dan demokrasi-sebegai pemegang kedaulatan tertinggi negara dan bangsa lantas dilarang? Jika mereka atau dirinya mengatakan (paling) beradab, bermoral dan punya keadaban dan keberadaban, seharusnya mereka tidak mengatakan hal yang serupa dengan RG.
Jika RG dikatakannya tidak memberikan keteladan pada rakyat atau generasi milineal dalam bertutur kata, seharusnya sebagai pejabat publik mereka bisa memberikan keteladanan sopan santur dalam bertutur kata dan berprilaku kepada rakyatnya, bukan lebih buruk dari RG.
Jika RG dikatakan telah memberikan contoh buruk dalam berturur kata, yang nantinya akan ditiru oleh generasi milinial. Lho, kok bisa, mereka dan atau dirinya tidak merasa mencontohkan sopan santun dan tatakrama dalam bertutur kata, yang pada kenyataannya mereka justru lebih buruk diksinya dan atau jauh lebih tidak beradab. Sungguh memilukan negeri ini.
Jika mereka atau dirinya mencak-mencak soal demokrasi kita bukan demokrasi liberal, dan jangan mencontohkannya dengan Amerika, karena Amerika adalah (demokrasi) liberal. Tapi mereka sendiri menjadi liberal dalam bertutur kata dan dalam tindakan.
Bukankah jika melarang orang lain, tapi boleh untuk dirinya, boleh ngomong sekehendaknya, bukankah itu adalah liberal(isme)? Faktanya adalah seperti yang kita jelaskan dan uraikan di muka. Jadi jangan diputar balik, jangan memutar-balikan fakta yang nyata tidak dinyatakan dan, kenyataan yang tidak nyata yang dikatakan dan dinyatakan.
Aneh tapi nyata alias ajaib itu, yang bukan dari relasi kuasa, tidak boleh bicara sekehendaknya. Bukankah hal itu menjadi tidak bermoral? Liberalisme dicaci maki, dibenci dan dihardik dalam ucapannya, tapi liberalism pula yang praktekkannya. Sungguh memutar balikkan fakta dan realitas yang sesungguhnya tidak terbantahkan lagi.
Mereka boleh mengatasnamakan rakyat, tetapi orang lain tidak boleh mengatasnamakan rakyat, dan disoalnya, rakyat yang mana? Bagaimana mungkin mengklaim bahwa dirinya yang paling berpikir demokratis, yang paling menghargai dan atau menjaga demokrasi, yang paling Pancasilais, yang paling nasionalis, yang paling NKRI harga mati, tapi faktanya mereka justru yang merusak demokrasi, merusak Pancasila, karena menyoal rakyat yang mana.
Tindakan persekusian dengan melempari telur busuk ke rumah RG yang dilakukan sekelompok massa yang mengatasnamakan RJ merupakan tindakan biadab, terkutuk dan sangat tidak bermoral, karena tidak saja merusak demokrasi dan Pancasila, tetapi juga telah melanggar HAM. Demokrasi dan HAM tidak mengajarkan persekusian. Demokrasi dan HAM mengajarkan pembebasan belenggu pemikiran atas kekuasaan yang sewenang-wenang, tanpa batas, begitu juga Pancasila.
Demokrasi menjamin kemerdekaan berkumpul, berserikat untuk menyatakan pendapat dan pikiran-pikiran. Kemerdekaan berfikir dan menyatakan pendapat dijamin oleh konsitusi (UUD45), tetapi kemudian mereka yang mengklaim sangat menghargai demokrasi, ternyata faktanya justru dibatalkan dan atau digugurkan oleh mereka sendiri di dalam banyak stetemennya, tindakan dan tindak tanduknya.
Dalam demokrasi; suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populy vox dei). Suara rakyat yang mana? Tentu, suara rakyat yang mengandung kebenaran, karena Tuhan tidak pernah berbohong. Tuhan tidak pernah berdusta apalagi berkhianat.
Nukleus demokrasi bukankah soal pembatasan (pemegang) kekuasaan, kesewenang-wenangan dalam kekuasaan, dan menjamin kebebasan atas dasar hak kodrati; hak azasi manusia. Adanya pembagian kekuasaan, sehingga tidak menjadi kekuasaan yang liberal seperti di negeri komunis dan atau fasis.
Siapa bilang ada demokrasi liberal, karena dalam demokrasi sesungguhnya tidak ada liberalisasi, eksekutif pada porosnya, legislatif pada porosnya, dan yudikatif pada porosnya juga. Pemisahan kekuasaan tersebut berarti membatalkan liberalisasi dalam kekuasaan dan kesewenang-wenangan.
Justru kekuasaan yang liberal itu berada di tangan negara komunis dan atau fasis. Rezim penguasa boleh ngomong sekehendaknnya. Rezim penguasa sebagai pemegang kekuasaan boleh bertindak sekehendaknya atas takdir sosial rakyatnya. Boleh seenaknya dalam mengeluarkan kebijakan.
Kekuasaan rezim penguasa tidak boleh ditentang, tidak boleh disentuh, karena kekuasaan menjadi absolut. Kekuasaan seperti tersebut berada di negeri-negeri komunis dan atau fasis. Rakyat tidak boleh ngomong sekehendaknya, tidak boleh berkeluh kesah atas kebijakan rezim penguasa. Kemerdekaan menyatakn pendapat dan pikiran-pikiran dibelenggu. Boleh bicara tentang kekuasaan dan negara, asalkan tidak bersebrangan dengan kekuasaan.
Di negara komunis, rakyat tidak boleh bersuka cita bahkan tersenyum riang, bersenda gurau di tempat umum pun dilarang dan bahkan dihukum jika dilanggarnya. Contoh konkret tersebut terjadi di negeri komunis Korea Utara, yang memberlakukan hari berkabung nasional atas kematian mendiang Kim Jong II, yang semula hanya seminggu kemudian menjadi 11 hari berkabung nasional.
Selama hari berkabung nasional diberlakukan, rakyat yang melanggar akan diciduk dan dibawa ke suatu tempat dan tidak akan pernah kembali lagi ke rumah, lenyap. Selama hari berkabung nasional, rakyat tidak boleh menggelar pesta perkawinan dengan suka ria, dan bahkan jika ada sanak saudaranya yang meninggal pun tidak boleh tersenyum bercanda. Semua akan menjadi resiko bagi rakyat yang coba-coba melanggar aturan, perintah pemimpinnya.
Lantas, di negara demokrasi, kok bisa jika orang lain dan atau kita yang tidak berelasi kuasa, tidak boleh ada kebebasan untuk bicara, menyatakan pendapat dan atau pikiran-pikiran, tidak boleh mengkritik kebijakan yang bobrok, dan tidak boleh menghina, padahal yang dihina itu tubuh publiknya.
Sedangkan mereka begitu bebas bicara tanpa batas, begitu bebas menghina, mencerca, mencaci-maki dan seterusnya. Bukankah itu namanya merekalah yang menganut liberalisme, merekalah yang bersikap dan bertindak sangat liberal?
Katakan, Amerika disebut sebagai negara yang menganut demokrasi liberal. Apakah rezim penguasa (Presiden) bisa sekehendaknya sendiri mengambil kebijakan, tanpa melibatkan parlemen? Tentu tidak! Ada banyak hal yang diajukan Gedung Putih ditolak Parlemen. Parlemen tidak selalu seia-sekata jika kebijakannya tersebut merugikan bangsa dan negaranya.
Apakah sang Presidennya tidak boleh diadili ketika melakukan skandal dan atau perbuatan yang tercela yang merugikan bangsa dan negaranya dan atau tidak boleh dimakzulkan di tengah jalan? Tentu tidak ada yang kebal hukum, padahal oleh mereka (BR dkk) dikatakannya, jangan disamakan dengan Amerika yang liberal.
Liberal(isme), ketika masih ditempelkan pada kata demokrasi, tetaplah tidak akan menjadi liberal, karena tetap membatasi kekuasaan dan kesewenang-wenangan Presiden. Di Amerika, Presiden bisa dimakzulkan di tengah jalan jika melanggar konsitusinya dan atau melakukan perbuatan yang tercela sebagai pemimpin bangsa.
Bahkan Presiden yang baru saja selesai dari masa jabatan kepresidenannya pun bisa diadili, di mata hukum diperlakukan sama dengan rakyatnya, dan kebenaran hukum punya kepastiannya, dan itu terjadi di Amerika yang oleh mereka-mereka dikatakan liberal.
Contoh konkretnya, Skandal Watergate (1972-1974) mengakibatkan krisis konstitusi Amerika yang menghebohkan dunia, yang mengakibatkan Presiden Amerika Richard Nixon jatuh dari kursi kepresidenannya.
Mantan Presiden Amerika Donald Trump, diputus bersalah dan bertanggung jawab atas kasus pelecehan seksual dan pencemaran nama baik mantan kolumnis majalah, E. Jean Carroll oleh Juri Pengadilan Manhataan, New York pada Selasa (9/5/2023), waktu setempat.
Trump harus membayar ganti rugi sebesar US$ 5 juta (Rp73 miliar). Sebanyak US$ 2 juta harus dibayar Trump ke Carroll sebagai ganti rugi kasus pelecehan seksual sementara US$ 3 juta untuk pencemaran nama baik.” (AFP-CNBC Indonesia 10 May 2023 08:00).
Apa yang mereka katakan dan atau lakukan, menjadi tak bisa terbantahkan lagi, bahwa itu semua karena arena relasi kuasa. Bagi yang masih punya logika dan akal waras sangat mudah membacanya, bahwa hal tersebut tidak berdiri sendiri, sehingga tindakan yang biadab tersebut sama sekali tidak dikutuknya, dan bahkan sama sekali tak bergeming.
Jelas tindakan persekusi tersebut tidak saja merusak demokrasi tapi juga menodai Pancasila, padahal, mereka yang paling lantang berteriak yang paling menjaga Pancasila, demokrasi dan sebagai sang nasionalis dibanding RG dan yang lainnya. Tetapi, apa faktanya dan bagaimana faktanya, justru kebalikannya.
Padahal, boleh saja mencaci maki, mencerca dan menghina RG sebiadab-biadabnya atas dasar ketidaksukaannya pada RG dan atau atas dasar kebenciannya dengan alasan apapun yang mereka suka dan atau atas dasar sebagai pemuja kekuasaan dan penghamba kekuasaan, suka-suka saja.
Tentu, jika mereka atau dirinya secara moral jauh lebih baik daripada RG. Jika dirinya (merasa) jauh lebih beradab, lebih beretika dan lebih bermoral ketimbang RG. Jika mereka atau dirinya secara intelektual akademik jauh lebih cerdas dan atau telah melampaui kecerdasan makro RG, sehingga PDIP tidak perlu lagi mengundang RG untuk memberikan kuliah Kebangsaan pada partainya selama 4 tahun di Mega Institue.
Luar biasa, atas nama demokrasi mereka bebas bicara apapun, boleh ngomong apapun juga. Mumpung kekuasaan bisa dimainkan. Kerana sejarah dan waktu yang akan bicara kemudian.
Betapa memilukan dan menggelikan, mereka boleh memperkusi, boleh merusak aset RG, dan tidak menutup kemungkinan hal yang serupa terjadi kepada yang lain, setelah RG dianggap selesai sebagai target untuk dihabisi dan atau dibinasakan.
Mereka boleh sesukanya memperkusi dengan mnelempari telur busuk atas nama demokrasi. Para penghamba kekuasaan dan atau pemuja kekuasaan hanya melihat dari satu sisi saja, tanpa bisa melihat dalam dua sisi. Hal itu bisa kita simak secara cerdas diberbagai dialog acara televise nasional.
Akan tetapi, menjadi sangat paradoks, ketika orang lain baru menggunakan diksi sarkastik saja sudah dibilang tidak beradab, tidak bermoral dan liberal, dan dikatakannya merusak demokrasi dan tidak sesuai dengan Pancasila.
Atas peristiwa demo berulangkali di rumah RG dan atas tindakan mempersekusi tersebut, faktanya hingga hari ini, mereka tidak mengutuk keras tindakan tersebut yang melanggar demokrasi dan HAM. Padahal, jika menggunakan cara pandang mereka, dikatakan tidak beradab, tidak bermoral dan seterusnya. Meraka sama sekali tidak bersuara mengutruk atas tindakan tersebut.
Tindakan tersebut mengatasnamakan Relawan Jokowi, sebelumnya emak-emak juga mengatasnamakan hal yang sama, yang pada akhirnya terkuak, ada yang buka suara, karena dibayar. Fakta tersebut adalah memperjelas adanya relasi kuasa dengan mereka.
Seharusnya, mereka membuka ruang terbuka untuk caci maki dengan caci maki, penghinaan dengan penghinaan yang dipertaruhkan, sehingga etika tidak bisa lagi dipakai untuk memenjarakan setiap orang yang tidak disukai dan atau yang dibenci karena relasi kuasa. Kemartabatan kata-kata itu, publiklah yang menilai atas dasar pandangannya masing-masing dengan logika dan akal waras, tentunya.
Begitu juga halnya dengan gugatan, rakyat yang mana? Sedangkan mereka sendiri mengatasnamakan rakyat. Apakah yang dimaksud dengan rakyat adalah rakyat yang menjadi relasi kuasa, rakyat yang menjadi pemuja kekuasaan, dan rakyat yang menjadi penghamba kekuasaan? Seperti itukah yang dimaksud rakyat oleh mereka?
Betapa jungkir balik dan molak malik argumentasinya, menjadi tidak terdidik bangku sekolah, tidak terlatih sekolahan, dan yang paling mengenaskan dan memedihkan adalah tidak terdidik dalam metodologi, apalagi ketika terus menerus dikatakannya bahwa Presiden itu merupakan simbol negara dan atau lambang negara. Apakah mereka tidak pernah membaca konsitusi; UUD’45?
Oleh karena itu, jawabannya atas soal rakyat yang mana, adalah rakyat yang menyurakan kebenaran, bukan rakyat yang menyuarakan kekuasaan. Bukan suara rakyat yang pemuja kekuasaan, dan bukan pula suara rakyat yang penghamba kekuasaan. Itulah saripati dan sumsum dari vox populy vox dei, yang bernama demokrasi dan atau Demokrasi Pancasila yang dimaksud.
Pada realitasnya yang menjadi tak terbantahkan adalah berbagai saran dari berbagai kalangan akademisi, dan kritik dari berbagai kalangan intelektual publik akademik dengan menggunakan kesantunan bahasa atau kata-kata yang santun, hanya dianggap anjing menggonggong kafilah tetap berlari. Lantas harus menggunakan tutur kata atau diksi macam apalagi jika rezim penguasa telah menulikan pendengaran dan telah menggerhanakan matanya?
Untuk itu, benarkah Presiden dan atau pejabat publik (negara) masih mempunyai tubuh privat, sehingga tidak boleh dicaci maki, tidak boleh dihinakan, padahal sebagai pemegang otoritas kebijakan atas dasar sumpah jabatan untuk mengemban amanat konsitusi; amanat penderitaan rakyat adalah Presiden dengan para pembantunya. Hal itu kita urai dan perbincangkan dalam artikel: RG Dilarang Berbicara Seumur Hidup (Studi Kasus Gugatan Perdata Advokat David Tobing di PN. Jaksel Atas RG di PN).
Yang Bisa Menjual Bangsa-Negara
Fakta sejarah menjelaskan dan mengatakan, fakta sosiologi kekuasaan dan politik kekuasaan, yang bisa menjual bangsa dan negara bukanlah para kritikus kebijakan seperti halnya RG. RG bukan bagian dari mata rantai kaum pemuja kekuasaan dan atau penghamba kekuasaan, jika kita lihat dari jejak digitalnya dari era Orba-Soeharto hingga hari ini. Sejarah dan waktu yang akan bicara dikemudian hari.
Sejarah dan waktu yang bicara, mengatakan, yang bisa menjual bangsa dan negara untuk kepentingan bangsa asing adalah mereka yang disebut Presiden, Pejabat Tinggi Negara, yang tentu dengan restu pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara.
Yang lainnya yang punya potensi dan atau bisa menjual bangsa-negara adalah orang-orang yang berelasi langsung dengan sumbu-sumbu kekuasaan, yang tentu atas restu petinggi negara, sekalipun peran mereka hanya sebagai antek-antek asing, agen-agen asing dan atau sebagai pecundang, jika menggunakan kata-kata BR dkk.
Antek-antek asing dan atau agen-agen asing tidak serta merta bisa menjual bangsa dan negara jika tidak ada relasi kuasa dengan rezim penguasa. Antek-antek asing dan atau agen-agen asing sebatas memberikan informasi penting rahasi negara yang mengangkut kedaulatan bangsa dan negara, dan itupun jika ada relasi kuasa.
Orang macam RG, Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti dkk sampai kapanpun juga tidak bakal bisa menjual bangsa dan negara dan atau kedaulatan negeri ini kepada bangsa dan negara asing, karena RG, Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti dkk di luar sumbu kekuasaan dan atau tidak berelasi dengan kekuasaan. Jika pun RG sebagai agen asing, karena tidak beralasi langsung dengan rezim penguasa juga tidak bisa melakukan itu.
Sekali lagi, yang bisa dan punya potensi menjual bangsa dan negara adalah Presiden dan para pejabat negara, seperti halnya Benny Rahmdani, Ali Mochtar Ngabalin, Moeldoko, dan pejabat tinggi negara lainnya dan atau para Relawan Jokowi yang mempunyai potensi dan peluang yang sama atas dasar relasi kuasa.
Suka tidak suka, pada akhirnya kita membenarkan apa yang dikatakan Mochtar Lubis-Sastrawan, Budayawan dan Jurnalis yang pernah dipenjarakan Orla-Soekarno selama 9 tahun lebih tanpa diadili lantaran kritik tajamnya atas matinya demokrasi dan kekuasaan yang sewenang-wenang, dalam bukunya: Manusia Indonesia, bahwa ciri umum manusia Indonesia adalah ‘hipokrit’.. Kemunafikkan terus menerus dipertontonkan dengan garang.
Akhirnya benar juga apa kata filsuf Prancis Anatole France dalam Wiratmo Soekita dalam bukunya: Kesusastraan dan Kekuasaan, mengatakan, ‘pada umumnya orang tidak membaca, dan jika orang membaca maka ia tidak mengerti, dan jika ia mengerti maka ia lekas lupa’. ***
Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com