Senin, September 30, 2024

Rempang Menulis Air Mata Luka Nestapa dalam Sejarah Kelam

Bagian 2 dari 4 Tulisan

Wadas masih terus menjerit dan rempang makin menjerit. air mata menetes segobang segobang telah mongering sudah. luka derita mengkristal menjadi nestapa dan mengembun di batu batu andesit di pasir pasir kuarsa dan silika sepanjang abad peradaban umat manusia.

Anak anak wadas dan anak anak rempang bathinnya telah diasah dan digores dengan raungan buldoser dan serbuan gas air mata. kepedihan dan nestapa bersemayam dalam jiwa  untuk terbang  ke angkasa dan mengarungi gelombang samodra.

Anak anak wadas dan rempang bangkitlah dengan air mata luka derita dan nestapa untuk menyambut matahari terbit. untuk menatap cahaya kelak dikemudian hari. atap dan dinding dinding sekolah akan bicara dalam sejarahmu dan sejarah negeriku ini.

Anak anak wadas dan anak anak rempang, kebrutalan, kejahanaman dan kebengisan membuat lukamu abadi. peliharalah dan asuhlah menjadi kebajikan dan arifanmu di masa datang karena cahaya tak akan meredup jika kau tidak melupakan melawan lupa.

Genggamlah kapak Ibrahim! bawalah kapak Ibrahim karena itu yang bisa dan mampu menjaga situs situs dan artefak artefakmu. hanya kapak ibrahim yang bisa menyingkirkan pecahan pecahan kaca di jalan setapakmu. hanya kapak ibrahim yang bisa menjaga perairanmu dari air  tuba bagi kehidupanmu. gemggamlah kapak ibrahim! genggamlah kapak ibrahim!

Bangkit! Bangkitlah dengan kapak Ibrahim! lawan! lawanlah dengan kapak Ibrahim! pecahan pecahan kaca yang berserak di sekelilingmu. debu debu pasir kuarsa dan silika yang beterbangan di angkasa akan menggelapkan pandanganmu ke langit dan air tuba akan mengusir air lautmu. kepalkanlah tanganmu! kepalkanlah tanganmu untuk meninju dunia. bahwa kau tidak sekedar meng-ada dalam hidup dan kehidupan semesta. o, semesta yang fana. di mihrabmu menggenang luka derita dan nestapa.

Singaraja, 15.9.2023.

(O’ushj.dialambaqa-Puisi: WADAS DAN REMPANG MENULIS AIR MATA LUKA NESTAPA DALAM SEJARAH KELAM)

 

Mengaburkan KBBI

Sangat dahsyat penyataan Laksamana Panglima TNI Yudo Margono, untuk menghadapi massa-demo Rempang, jika 1000 massa, maka TNI juga harus 1000, dipiting saja, satu lawan satu, tidak perlu pakai alat-senjata.

Piting-memiting, penyataannya tegas, dingin dan geram (jika ditilik dari ekspresi waktu itu). Setelah pernyataannya viral, Panglima TNI kemudian minta maaf, dengan alasan dirinya sebagai orang Ndeso, karena di kampungnya, sewaktu kecil juga bermain piting memiting. Tidak hanya itu, Puspen TNI pun turut ambil bagian menjelaskan agar tidak salah paham, bahwa istilah piting memiting tersebut sudah biasa dalam militer.

Permintaan maaf dengan sedikit senyum kecut yang disampaikan Panglima TNI, seolah-olah karena terpaksa, tidak keluar dari kalbunya yang jernih dan jujur, karena masih diperkuat dengan apologinya sebagai wong Ndeso, dan ditambah apologi dari Puspen TNI, bahwa itu sudah biasa dalam TNI. Pilu juga kita mendengarnya. Tapi apa hendak dikata, itulah realitas yang ada dan konkret di era rezim penguasa sekarang.

Panglima TNI mungkin tak sadar, bahwa filosofi TNI adalah lahir dari rakyat, untuk rakyat dan membela kepentingan rakyat (yang benar). Maka kemudian TNI adalah alat-aparatus negara, bukan TNI adalah alat kekuasaan untuk kepentingan politik kembang gayong, bukan untuk kepentingan kartel politik, kartel kekuasaan dan kartel oligarki.

Piting memiting tersebut sebenarnya merupakan teori Ular Piton-familia dari Pythonidae yang diadop dalam dunia kemiliteran dan atau diterapkan dalam bela diri, bagaimana cara melumpuhkan lawan-musuh di lapangan yang sifatnya berhadap-hadapan. Teori Ular Piton pun dipakai untuk olah raga gulat, terutama gulat bebas.

Ular Piton, sebelum dapat menelan atau memangsa hewan yang lebih besar dan lebih kuat dari tubuhnya, maka mangsa tersebut harus dilumpuhkan dengan cara membelit-dibelit hingga lemas atau mati. Setelah itu barulah ditelan meski masih dalam kondisi hidup.

Belitan tersebut, merupakan senjata ampuh bagi Ular Piton, mangsanya tidak akan berdaya lagi, disebabkan dalam belitan tersebut, semua persendian dan atau tulang rusuk mangsa yang dibelit dan atau dililit tersebut menjadi lumpuh total; patah dan seterusnya.

Misalnya, bisa kita lihat jika Piton memangsa manusia, sapi, kerbau, rusa dan sejenisnya,  didahului dengan belitan dan atau membelit sekujur tubuh mangsanya. Setelah tidak berdaya atau lemas, barulah ditelan.

Teori Ular Piton melumpuhkan mangsanya itu kemudian diadop oleh TNI-Polri jika menghadapi lawan atau musuh. Teori Ular Piton itu kemudian dipakai juga ketika menghadapai massa aksi yang dianggap anarkis atau yang dituding sebagai provokator yang akan mengakibatkan kericuhan, atau ketika massa aksi merangsek dan dianggap melawan petugas.

Piting memiting pun lantas dilakukan. Soal apologi dan alibi tersebut bisa dinarasikan dan atau disusun setelah tindakan tersebut dilakukan, dengan dalil antisipasi sikon (situasi dan kondisi) di lapangan. Hal tersebut kita bisa lihat di massa aksi warga Rempang pada 7/9/2023 dan pada 11/9/2023, dimana bisa didalilkan melawan petugas dan merusak aset BP. Batam, sehingga 43 pendemo ditahan (diamankan-istilah aparat), dan yang 34 orang harus ditahan untuk menjalani proses hukum lanjutannya, atas nama penegakan hukum di negeri ini.

Untuk itu, alasan sebagai wong Ndosa bahwa piting-memiting itu adalah merangkul, hal tersebut menjadi kekonyolan kata dalam berbahasa Indonesia, merendahkan kemampuan atau kecakapannya dalam Bahasa Indonesia sebagai Panglima TNI-Pejabat Tinggi Negara.

Meski benar, salah satu cara bagaimana melumpuhkan lawan untuk bisa dipiting adalah dengan cara merangkul lawan-musuh terlebih dahulu, kemudian dilakukan pemitingan, sehingga lawan-musuh menjadi tidak berdaya.

Jika lawan-musuh yang dipiting tersebut meronta, jelas akan berakibat patah tulang rusuknya dan atau persendian lainnya. Melumpuhkan lawan-musuh dalam memiting, sasaran utamanya adalah mengempit-menjepit leher dan atau membelitkan lengan ke punggung.

Oleh karena itu, dalam KBBI piting-memiting adalah mengapit, menjepit dengan kaki atau lengan. Pitingan adalah cara memiting. Yang terjadi pada massa aksi Rempang adalah bukan piting memiting, karena pendemo yang dipiting tidak melakukan pemitingan terhadap aparat atau petugas.  Massa aksi tidak melakukan perlawanan untuk upaya piting memiting. Yang terjadi adalah memiting bukan piting memiting.

Sehingga, kata turunan dari piting tidak menjadikan adanya peristiwa piting memiting, dengan perkataan lain, pemitingan sepihak, yaitu piting atau memiting yang dilakukan aparat-petugas terhadap pendemo yang dianggap melakukan anarkisme.

Apologi Panglima TNI terlampau naif, dan memalukan. Padagal, jika minta maaf ya minta maaf saja, selesai. Berbeda dengan konteks Rocky Gerung (RG) yang meminta maaf atas lontran diksinya dalam pengkrtik Presiden dengan kata: bajingan-tolol dan pengecut.

RG jauh lebih gentleman dan jujur, dirinya tidak menarik kata-kata tersebut dan tidak minta maaf atas diksi tersebut yang dilontakan panahnya ke kebijakan Prisiden. RG minta maaf, karena ternyata ada reaksi balik akibat salah tafsir dan atau salah pengertian terhadap kata-kata yang dilontarkannya, dan itu oleh sebagian publik-netizen, yang jika dibongkar dalam dalam pembacaan politik post truth dan semiotika, akhirnya menjadi gamblang dan konkret, apa dasarnya yang menjadi munculnya kegaduhan tersebut, karena ada relasi Jokowisme.

Panglima TNI hanya melihat realitas amuk massa yang meng-ada saja, padahal amuk-anarkisme tersebut tidak bisa didikotomiskan yang tejadi tersebut adalah ansich. Apologi Panglima TNI adalah karena  aparat sudah tidak berdaya tetapi masih dikempari batu atau dihajar dengan batu  kepalanya oleh massa aksi. Memang benar itu faktanya, tetapi peristiwa tersebut bukanlah hal yang ansich, karena itu berarti menisbikan kausalitas peristiwa.

Artinya, konkret betul, tidak mau tahu, mengapa hal tersebut bisa terjadi, melaikan karena adanya hukum kausalitas (sebab akibat) dari kebijakan penggusuran dan atau menindasan atas hak hidup masyarakat di 16 Kampung Tua Melayu Rempang baik langsung maupun tidak langsung.

Pengakuan masyarakat Rempang, adanya  sosialisasi dan klaim adanya  persetujuan warga oleh pihak BP. Batam tersebut tidak benar dan itu hanya rekayasa (Suora Minang TV, TVOne-Penelusuran Fakta). Hal tersebut tahu tapi sengaja seolah-olah tahu atau tidak mau tahu.

Psikologis tertindas tersebut yang berakibat menjadi pemicu anarkisme, tidak mau dipahami oleh Panglima TNI-Polri, aparat-petugas dan atau rezim penguasa. Tetapi, selalu mengedepankan apologi sebagai alibi, bahwa aparat-petugas juga manusia biasa, secara mental terpancing emosi, dan di lapangan itu banyak faktor, lelah-kecapaian dan lain sebagainya.

Dikiranya, psikologi massa aksi berbeda dengan aparat-petugas di lapangan yang mengamankan sikon. Justru beban mental dan psikologi massa aksi jauh lebih lelah, karena harus berteriak-teriak, menjerit dan mengemis, tetapi tidak didengar dan tidak dipedulikan. Akhirnya, menjadi kuat-kuatan. Sehingga, menjadi lucu dan konyol bangsa dan negara ini, karena hanya dalam satu sisi yang dilihat untuk menjadi argumentasi pokok. Pokoknya begitu, titik.

Mengkopolhukm (Mahfud MD) mengatakan, pengosongan bukan penggusuran. Menteri Investasi/Kepala BKPM-Bahlil Lahadalia  bilang relokasi-merelokasi, kemudian hanya menggeser-digeser  bukan penggusuran,  dan Walikota Batam/Kepala BP. Batam-Muhammad Rudi mengatakannya bukan penggusuran tapi menggeser atau bergeser ke Dapur 3 atau Tangjung Banon.

Pernyataan Panglima TNI, Puspen TNI, Menteri hingga Presiden, KBBI sudah tidak dipakai lagi. Makna kata atau definisi kata sudah keluar dari KBBI, sehingga tidak bisa lagi dimengerti atau dipahami publik-khalayak umum, terutama sekali para siswa yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas ke bawah.

Faktanya menjadi konkret, bahwa itu mengaburkan makna atau pengertian dari KBBI, maka KBBI harus direvisi atau disempurnakan, jika tidak, KBBI harus terbit dalam dua versi, yaitu KBBI yang satunya adalah versi Kekuasaan-Politik (KBBI-K/P), sehingga tidak menimbulkan perdebatan, perseteruan dan atau kebrutalan akibat komunikasi yang salah atau kacau balau, dimana kata-kata para pejabat publik (negara) berbeda makna atau pengertiannya atas kata-kata yang dilontarkan atau diucapkannya.

Pertanyaan yang tersisa, bagaimana jika bangsa lain mau belajar bahasa dan kebudayaan kita, dimana KBBI tidak bisa dipakai sebagai rujukan, pegangan untuk mengerti maksud atau makna dari kata-kata tersebut? Sungguh menjadi sangat memilukan sebagai bangsa dan negara, sehingga bangsa lain akhirnya selalu menjadi salah dalam memahaminya.

 

Bedol Rempang

Keharusan-memaksa (dengan intimidasi) merelokasi 16 Kampung Tua Melayu ke dapur 3 dan atau ke Tanjung Banon adalah langkah penindasan awal yang kemudian akan berlanjut dengan penindasan berikutnya. Karena apa? Rempang Eco City-Xyni-China dijanjikan HGU seluas 17.600 Ha.

Akan adanya penindasan berikutnya setelah warga mau dipaksa direlokasi ke Dapur 3 atau Tanjung Banon dengan berbagai cara seperti adu domba antarwarga, antartokoh-pemuka adat, bahkan ketika cara itu dianggap tidak efektif bagi mesin kerja  rezim penguasa, jalan pintas yang harus ditempuh adalah dengan cara brutal; mengintimidasi warga langsung dor to dor. Jika orang tuanya pun tidak ada, anaknya yang harus menandatangani form relokasi. (Temuan Ombudsman, Komnas HAM, TVOne-Penelusuran Fakta, Suaro Minang TV, Hersubeno Arief-FNN, dan media-media lainnya).

Alat bukti formil tanda tangan tersebut yang dijadikan acuan dan landasan hukum bagi rezim penguasa untuk melakukan penggusuran, padahal proses tersebut telah melanggar HAM dan konstitusi itu sendiri.

Fakta-fakta konkret lainnya yang sengaja diabaikan-dilanggar soal Rempang Eco City antara lain, BP. Batam belum mengantongi HPL (Hak Pengelolaan Lahan). BP. Batam-PT. MEG-Xyni belum clear and clear dengan warga, soal HGU, AMDAL, dan lainnya.

Fakta konkret tersebut lantas dibantah mentah-mentah dengan sangat garang (pamer arogansi kekuasaan) oleh Menko-Marves LBP (Luhut Binsar Panjaitan), bahwa itu hal tersebut tidak benar.

Tentu, penggusuran paksa-rekolaksi paksa tersebut, karena rezim penguasa telah  memberhalakan investasi asing seolah-olah dialah yang bisa menyelamatkan kehidupan bangsa dan negara atau yang bisa memajukan kehidupan bangsa.

Relokasi paksa ke Dapur 3 dan atau Tanjung Banon bahwa itu adalah awal penindasan dan akan berlanjut pada penindasan-penindasan berikutnya, karena luas Rempang berdasarkan data BP. Batam adalah 16.853 Km2 (+/- 16.500 Ha), sedangkan konsesi hingga 2080 (konon kata Bahlil akan bisa memperkerjakan 306.000 tenaga kerja) yang diberikan  ke PT. MEG-Xyni-China-Rempang Eco City totalnya seluas 17.600 Ha.

Untuk itu, seluruh luas wilayah Rempang, di dalamnya ada 16 Kampung Tua Melayu harus digusur paksa, suka tidak suka, mau tidak mau, harus digusur paksa jika perlu dengan cara brutalisme jika intimidasi-psikologis menjadi buntu, demi investasi-proyek-PSN yang dielu-elukan oleh Presiden (Istana) akan membawa kemajuan bagi bangsa dan negara.

Warga 16 Kampung Tua Melayu, akan menjadi keniscayaan digusur paksa, mau tidak mau, karena Istana dan BP. Batam telah menyerahkan sepenuhnya P. Rempang ke PT. MEG-Xyni-China untuk disulap menjadi Rempang Eco City, yaitu, menjadi  Rempang Integreted Industrial Zona, Rempang Integreted Agro-Tourism Zona, Rempang Integreted Commercial & Residental,  Rempang Integreted Tourism Zona, Rempang Forest & Solar Forest Zona, Rempang Wildlife & Nature Zona, dan Galang Heritage Zona.

Oleh karena itu, relokasi ke Dapur 3 atau Tanjung Banon adalah lakon sinetron kejar tayang, bukan untuk selamanya menjadi pemukiman warga yang direlokasi paksa, dengan cara persuasif yang manipulatif sekedar untuk meredam gejolak kemarahan sosial (amuk massa) 16 Kampung Tua Melayu.

Yang kelak nantinya akan menjadi kamuflase fakta konkret dari initimidasi ke intimidasi-dari penindasan ke penindasan baru, karena memang harus digusur semuanya. jika membaca fakta konsesi yang telah diberikan kepada PT. MEG-Xyni pada 26 Agustus 2004, Tomy Winata (pengusaha yang telah malang melintang sejak rezim Orba-Soeharto) yang mewakili PT MEG dan Pemerintah Kota Batam menandatangani perjanjian pengembangan dan pengelolaan Kawasan Rempang seluas 17.000 Ha.  Pulau Setokok sekitar 300 Ha, dan Pulau Galang kira-kira 300 Ha. (BBC News Indonesia, 14 September 2023). Bahkan masih harus ekspansi ke luar Rempang, karena total luas lahannya masih kurang, hanya 16.853 Km2 (+/- 16.500 Ha), yang seharusnya 17,600 Ha, maka P. Setokok dan P. Galang menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam Rempang Eco City-Xyni-China.

PT. MEG-Xyni Holdings Ltd diberikan konsesi lahan dari 2004 hingga hari ini, adalah +/-17.600 Ha dan khusus buat PT. MEG di atas 17.000 Ha ada hutan lindung 10,028 Ha, sisnya 7.572 Ha yang akan dikembangkan, kata Kepala BP. Batam-Muhammad Rudi, Jum’at, 15/9/2023 (TEMPO.co, 20/9/2023.11:10 WIB).

Pernyataan Kepala BP. Batam menjadi molak malik- inkonsistensi dengan fakta konkret yang ditandatanganinya pada 26 Agustus 2004. Berupaya menutup-nutupi, tidak mau transparan untuk menjelaskan kepada warga 16 Kampung Tua Melayu, bahwa Rempang secara total telah diserahkan ke PT. MEG-Xyni.

Yang berarti warga harus total keluar dari tanah Rempang yang kini menjadi hunian turun temurun sejak zaman kolonial, 1834, dimana dokumen colonial  tersebut memuat dengan jelas soal Rempang dan Selat Malaka (yang strategis) tersebut.

Oleh sebab itu, 16 Kampung Tua Melayu sebagai konsekuensinya harus Bedol Rempang atau Bedol Pulau Rempang, yang jika melihat fakta konkret sekarang. Tentu, setelah relokasi ke Dapur 3 atau Tanjung Banon dianggap telah clear and clear.

Traumatika konflik,  baru mau bisa dilupakannya, kemudian harus menghadapi kenyataan ulang,  akan dipkasa lagi harus Bedol Kampung jika PT. MEG-Xyni mengatakannya harus segera dikosongkan lagi. Itulah yang kita sebut adanya penindasan berikutnnya.

Tentu, yang akan menjadi keniscayaan kelak adalah  konsekuensinya akan menjadi lebih brutalisme; mengedepankan tindakan represitas kekerasan untuk mengahamba kepada negara asing dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara dengan jargon dan slogan kehipokritan yang bernama PSN, jika nanti warga 16 Kampung Tua Melayu melakukan perlawanan atau pembangkangan.

Penghuni-warga Rempang bukanlah warga jadi-jadian seperti dalam sinetron kejar tayang. Mereka sudah ada semenjak kesultanan-kesultanan yang ada di tanah Melayu. Hal tersebut bisa kita baca dari berbagai sumber sejarah otentik, manuskrip dan lirature-literature lainnya yang kini bisa diakses kapan saja untuk dibaca, dipahami dan dimengerti oleh Istana, para penghamba kekuasaan dan para pemuja kekuasaan.

Jika kita sebagai bangsa dan negara yang beradab, yang menghargai dan mengerti soal sejarah, kebudayaan dan peradaban umat manusia, tentu, 16 Kampung Tua Melayu-Rempang, tidak boleh digusur apalagi dengan cara-cara represif intimidastif.

16 Kampung Tua Melayu adalah monumental sejarah yang harus  terus hidup di Rempang-di samping tembok Rempang Eco City-Xyni, karena mereka tidak menolak kemajuan zaman dan teknologi. Mereka tidak menolak adanya investasi. Mereka tidak menolak proyek-PSN, dan mereka juga tidak menolak untuk kepentingan bangsa dan negara. Mereka tidak menolak untuk kemajuan bangsa dan negaranya.

Justru karena Rempang menyimpan dokumentai otentik sejarah, seharusnya kita sebagai bangsa dan negara yang beradab untuk nisa melestarikan-pemelihara dan menjaganya, bukan kemudian harus digusur, dan itu menjadi kenscayaan  penggusuran sejarah otentik alamiah yang ada.

Jika itu semua harus digusur, berarti kita sebagai bangsa dan negara menjadi penghamba kepentingan negara asing, kepentingan kartel oligarki, kartel politik dan kartel kekuasaan. Jika terjadi Bedol Rempang, tak bisa terhindarkan, penggusuran sejarah menjadi keniscayaa-kepastian.

Sehingga, cerita dan sejarah Melayu yang sebagian berada di Rempang tinggal catatan manuskrip dan catatan sejarah, itu pun jika rezim penguasa tidak memanipulasinya dikemudian hari. Itu semua, sejarah dan waktu yang akan bicara.

Rempang tidak saja menyimpan monumental sejarah Melayu, tetapi sekaligus menyimpan row material utama untuk produksi industri kaca. Rempang menyimpan pasir kuarsa dan silica, yang merupakanbahan baku utama dalam proses produksi industri kaca.

Tidak hanya itu, Rempang juga berada dalam posisi strategis di jalur Selat Malaka, yang berarti menjadi bagian yang sangat penting terhadap Kawasan Laut China Selatan-Kawasan Indo-pasifik yang menjadi penentu keamanan global.

Untuk itu, apakah mau PT. MEG-Xyni memberikan hak hidup penduduk 16 Kampung Tua Melayu tetap berada di Rempang? Tentu, sangat tidak mungkin-pastilah tidak mau, kecil sekali kemungkinannya, karena PT. MEG-Xyni mengincar pantai dan perairan Rempang yang strategis di Selat Malaka untuk Rempang Eco City, tidak hanya pasir kuarsa atau silikanya.

PT. MEG-Xyni tidak mau terhalang atau dihalang-halangi pemukiman penduduk, langusung maunya menyentuih pantai dan perairan Rempang, karena jika mau, tentu, akan membiarkan 16 kampung Tua Melayu, dan itu solusinya sangatlah sederhana, sekalipun Rempang Eco City menjadi hunian dan atau kawasan eksklusif. Jika mau, bisa membuat tembok keliling seperti Tembok Berlin dan atau seperti Wanli Changcheng di negara asalnya.

Rempang Eco City-Xyni, hakikinya,  bukan demi bangsa dan negara. Meski lolongannya adalah untuk kepentingan dan kemajuan bangsa, agar NKRI bisa sejajar dengan negara-negara maju di dunia.  Kecuali industry kaca tersebut adalah milik BUMN. Sama sekali kepemilikan sahamnya total bukan NKRI, melainkan Tomy Winata-WNI-keturunan China (terpaksa harus kita sebut, bukan berarti itu menjadi Rasis, sama sekali bukan maksud Rasisme) dan Xyni-China.

Bagaimana pun juga, etnis China di manapun berada sangat memegang kuat hubungan emaosionalnya dengan tanah-leluhurnya, apalagi negara China Komunis sendiri mengatakan-menjelaskan bahwa setiap keturunan China  dimanapun mereka dilahirkan akan tetap dianggap sebagai warga negara China (UU Kebangsaan China Tahun 1909). Meskipun NKRI menerbitkan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, bahwa tidak ada kewarganegaraan ganda setelah menjadi WNI.

Persoalan WNI-China pada akhirnya selalu menjadi problem sejarah, bangsa dan negara, dan sekaligus menjadi dilema itu sendiri bagi keturuna China yang sudah sangat Indonesia, karena ulah segelintir keturunan China di negeri ini-terutama yang menjadi konglomerat, meski NKRI mempunyai Perjanjian Ekstradisi dengan China jika terjadi terjadi kejahatan di negeri ini.

Kita sebagai bangsa dan negara telah mengesahkan persetujuan antara RI dan RRC tentang Treaty Betwin The Republic of Indonesia and The People’s Republic of China on Extradition , yang ditandatangai di Beijing pada 1 Juli 2009, melahirkan UU No. 13 Tahun 2017 (LN 2017/No. 231. TLN No. 6136, LL SETNEG: 7 Hlm).

Ada fakta konkret yang terjadi, koruptor Edy Tansil yang kabur hingga sekarang  tak terlacak jejaknya, dan mungkin akan ada Edy Tansil Edy Tansil yang lainnya. Spekulasi publik lantas mengatakan bahwa Edy Tansil kembali ke tanah leluhurnya. Praduga tersebut menjadi logis dan bisa diterima logika dan akal waras jika membaca UU Kebangsaan China Tahun 1909.

Oleh sebab itu, isu rasialisme pada keturunan China akan tetap membara jika situasi dan kondisi politiki dan kekuasaan makin tidak menentu, sewenang-wenang, represif dan diskriminatif, apalagi jika yang disebut-sebut oligarki atau 9 Naga makin menunjukkan ulah yang mempertontonkan dalam banyak hal menggores ulu hati bangsa dan negara.

Menimbulkan iri-kecemburuan sosial yang sporadis pada warga pribumi, akan menjadi bencana bagi bangsa dan negara, dengan sendirinya WNI-keturunan China akan selalu menjadi sasaran amuk kemarahan sosial, meski mereka telah menjadi Indonesia yang baik.  Fakta konkretnya, peristiwa 1998 menjelang jatuhnya rezim Orba-Soeharto, dimana amuk massa, warga keturunan China menjadi sasaran yang yang brutal (terjadi pemerkosaan), dan itu tidak saja di Jakarta, tapi diberbagai daerah terjadi amuk kemarahan sosial yang dipicu oleh kekuasaan yang otoritarian, represif, diskriminatif dan sewenang-wenang,  dan kesenjangan sosial yang makin menganga.

Sosilog Peter L Berger telah mengingatkan pada kita semua, terutama Istana, jika mau, apa yang diceritakannya dalam “Kisah Burung-Burung Hering Di Tengah Tumpukkan Sampah”, adalah untuk kita bisa mamahami konflik sosial dan pembangunan, dimana Istana kini menutup mata. PSN-PSN-PSN. ***

Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. e-mail: jurnalepkspd@gmail.com

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles