Minggu, November 10, 2024

Rocky Gerung Dilarang Berbicara Seumur Hidup

Bagian 1 dari 5 Tulisan

Lawan. lawanlah!  sebelum langit bersimbah darah. diam atau berpangku tangan adalah bencana dan kematian  di mana-mana. angin akan mengabarkan ke seluruh benua dan samodra. burung-burung camar singgah di geladak kapal yang berlabuh. tafakur dalam senyap.

Lawan. lawanlah!  itu artinya kita berikhtiar dari bencana dan kesesatan. sebab cerdik pandai dan kaum inteletual telah melacurkan diri di mana-mana. langit jingga menjelma menjadi gelap gulita.  matanya gerhana dan pandangannya berkunang-kunang.

Lawan. lawanlah!  angin yang menderu-deru dan ombak dan gelombang yang berbuncah-buncah . akan datang silih berganti dari musim ke musim. lawan. lawanlah! sebelum kekuasaan menjadi berhala. sebelum bencana menjemput takdir sosial..

Lawan. lawanlah! karena tuhan tidak akan menjelma  menjadi hantu apalagi mematung dalam ar-robbnya. lonceng kematian akan menjemput ajalnya. matahari akan menyala di atas ubun ubun. jika kita tegak lurus memandangnya.

Singaraja, 26.7.2023.

(0’ushj.dialambaqa-Pusisi: NEGERI ADAKADABRA)

Ada hal yang menarik untuk kita perbincangkan, kendatipun ini sangat menggelikan dan hanya sekedar melucu yang tidak lucu. Ada tiga gugatan perdata terhadap Rocky Gerung (RG) yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, PN Jakarta Pusat dan PN Cibinong Bogor. Ketiga gugatan tersebut pokok perkara dan atau petitum gugatannya sama dan atau serupa, dalam dalam selang waktu yang nyaris bersamaan.

Gugatan yang sama tersebut dilakukan oleh tiga penggugat dan digelar di persidangan, inilah yang menarik untuk kita perbincangkan di negeri ini. Penggugatnya adalah Advokat David Tobing (ADT), Perhimpunan Pejuang Pembela Korban Mafia Hukum dan Ketidakadilan (Perkomhan) dan Advokat Rolas Budiman Sitinjak-DPP. Taruna Merah Putih-PDIP (DPP. TMP-PDIP). Tidak hanya para advokat sayap PDIP, tetapi para pemuja kekuasaan dan atau penghamba kekuasaan pun bereaksi dengan melakukan persekusi terhadap RG. Untuk itu, siapaklah sesungguhnya RG itu?

 

Siapakah RG Itu?

RG lahir di Menado-Sulut, 20/1/1959. Dikenal dengan sebutan filsuf, akademikus, cendikiawan, kritikus bahkan sebutan profesor, meski dirinya menganggap tidak penting dengan sebutan-sebutan tersebut. Hanya politisi dan akademisi pemuja kekuasaan-penghamba kekuasaan yang kebakaran jenggot dan mempersoalkannya jika terpojok dalam perdebatan acara di televisi, karena isi batok kepalanya tak mencukupi logika dan akal waras.

RG mengeyam bangku kuliah untuk lima program studi di UI (Universitas Indonesia), empat prodi; sosial dan eksakta men-DO-kan diri, dan yang diselesaikannya hanya prodi Filsafat. Lima prodi itu semua di UI. RG juga pernah mengajar-menjadi Dosen Filsafat di UI selama 15 tahunan, dan menolak digaji. Gaji sebagai haknya tak pernah diambil atau tak pernah menikmati selama menjadi Dosen UI.

UI memnita RG untuk mengajar mata kuliah filsafat dari jenjang S1, S2 hingga S3. RG juga  membuat silabus (kurikulum filsafat) S2 dan S3. RG menolak tawaran UI untuk beasiswa ke Jerman (negara para filsuf) untuk program studi lanjutannya. RG merogoh kantongnya sendiri  membantu mahasiswa yang terkendala biaya-ekonomi dalam menyelesaikan pembuatan skripsi.

Tidak hanya itu, RG salah satu di antara pendiri Setara Institute. Penasehat Adnan Buyung Nasution di LBHI (Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Membuat pledoi Fadjroel Rachman (Jubir Presiden Jkw, kini menjadi Dubes, meski suka menyerang balik RG setelah di Istana) sewaktu diadili era rezim Orba-Soeharto. RG bersama Gus Dur (sebelum menjadi presiden)  membangun Forum Demokrasi di era Orba-Soeharto. .

RG pernah mengajar-memberi kuliah  kebangsaan di Megawati Institute-PDIP selama 3 tahunan. Mengajar di Sesko TNI dan Lemhanas. Mengajar di Pusdiklat Mahkamah Agung-untuk Hakim Muda dengan materi perkuliahan:  Imperative Etics, Filsafat Hukum, Filsafat Lingkungan dan seterusnya. RG acapkali dipakai sebagai saksi ahli Filsafat dan Logika dalam persidangan di Pengadilan untuk membela terdakwa mencari kebenaran dan keadilan. Saksi ahli untuk perkara Haris Azhar dan Fatia Mulidiyanti, Gus Nur dan Bambang Tri dan lainnya.

RG diundang diberbagai kampus-mahasiswa, komunitas sipil, tv, podcast, forum seminar dan diskusi lainnya. Konon. permintaan untuk menjadi pembicara diberbagai forum akademik dan atau komunitas lainnya setiap hari bisa sebanyak +/- 20an permintaan, tapi  yang bisa terpenuhi sehari hanya 4 forum, dan kadang harus via zoom. Tongkrongan tetapnya di Hersobeno Arief-FNN.

Akhir-akhir ini ketika diundang di kampus-kampus-mahasiswa nyaris selalu dihadang atau dilarang hadir oleh segerombolan massa yang mengklaim dirinya paling Pancasilais, paling NKRI, paling menjaga demokrasi, pemersatu bangsa dan seterusnya, tetapi jika ditelusuri, tak terbantahkan lagi mereka sebagai pemuja kekuasaan-penghamba kekuasaan yang berelasi kuasa dengan rezim penguasa.

RG sejak Orba-Soeharto tak pernah tinggal diam atau hanya sebagai menonton saja dan atau hanya sebagai pesorak-tim pesorak: hore-pelengkap penderita atas takdir sosial negeri ini, melainkan sebagai pelaku sejarah kritis pemikiran.

Oleh banyak teman-temannya, RG tergolong pendiam dan irit bicara jika tidak diminta. Tetapi, sekali RG naik mimbar diskusi intelektual publik akademik, RG selalu membuat terkesima banyak orang, dan dibilang sebagai bintang dalam panggung pemikiran.

Yang membuat peserta diskusi terkesima, karena loncatan pemikirannya yang jauh dari pemikiran dan logika publik umumnya, bahkan dibilang selalu saja melahirkan kesegaran idea-gagasan dalam loncatan pemikirannya untuk mendobrak kebekuan, menembus kemampatan logika dan akal waras dengan membangun idiomatik-idiomatik yang harus dipahami dengan kefilsafatan. Itu hal yang menariknya, meski bagi para pemuja kekuasaan-penghamba kekuasaan merasa jengkel dan geram, amat sangat tidak suka, dan bahkan membencinya, mungkin kedengkiannya hingga seumur hidupnya.

Jika kita hanya berbekal satu disiplin ilmu saja, bakal kedodoran bahkan akhirnya tidak nyambung, tidak bisa mepahaminya. Isi batok kepala kita selalu dikoyak-koyak, tidak bisa tertidur lelap. Memang RG selalu menghentak dalam membangunkan pikiran yang terlelap tidur hingga saat ini.

Jika tidak berbekal banyak pengetahuan, kebanyakan yang hadir tidak nyambung, dan setelah usai forum, makin bikin penasaran untuk selalu ingin datang lagi ke di forum jika RG menjadi pembicara, pemateri. Kita selalu dituntut mengernyitkan dahi dan menguras pemikiran. Benar-benar menjadi pertukaran literasi yang langka di nergeri ini.

Di literature-literatur Eropa, Amerika orang semacam RG tidak sedikit, era Frankfurt, Renaisans hingga era digitalisasi. Begitu juga di Timur Tengah pada zaman keemasan pemikiran intelektual (akademik) Islam, seperti Ibnu Shina, Farabi, Ibnu Rusd, Al-Kindi, Iqbal, Farag Fouda, Abu Hatim, Abu Bkr ar-Razi, Ibnu Ar-Rawandi, Al-Ghazali dan lainnya.

Di negeri ini yang melimpah ruah adalah pelacuran intelektual, pelacuran akademik, dan itu terjadi di mana-mana. di kampus-kampus-menara gading ilmiah. Sungguh mengerikan takdir sosial negeri ini.

RG juga telah menulis buku dan jurnal, antara lain:

  1. Teori Sosial dan Praktik Politik. Jakarta: Penerbit Grafiti (1991).
  2. Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, Kasus. Depok: Filsafat UI Press (2006).
  3. Demokrasi dan Kekecewaan, Centre for the Study of Islam and Democracy (2009).
  4. Pluralisme dan Konsekwensinya: Catatan Kaki untuk Filsafat Politik’ Nurcholish Madjid, Paper PSIK Universitas Paramadina (2007).
  5. Feminisme versus Kearifan Lokal, Jurnal Perempuan 57 (2008).
  6. Representasi, Kedaulatan, dan Etika Publik, Jentera Jurnal Hukum 20 (2010).
  7. Feminist Ethics against Stigma of Theocracy-Patriarchy: a Reflection of 2014 Presidential Election, Jurnal Perempuan (2014).
  8. Jalan Ideologi dalam Negara Demokrasi, Konfrontasi: Jurnal Kultural, Ekonomi Dan Perubahan Sosial (2015).
  9. Feminist Pedagogy: A Political Position, Jurnal Perempuan 21 (2016).

RG juga sebenarnya menjadi penyair yang menjadi-matang. jika kita membongkar puisi-puisinya. Bagian ini akan kita perbincangkan dalam esai yang berjudul: Rocky Gerung dan Puisi Kefilsufan. Puisi-puisinya yang ditulisnya belum diterbitkan, tetapi pernah dibacakan orang lain dan diunggah di youtube.

RG menulis panjang lebar soal Pancasila dan demokrasi di Majalah Prisma-LP3ES, yang sudah puluhan tahun tak terbit, dan baru terbit kembali pertengahan tahun 2020san saat Joko Widodo menjadi Presiden periode ke-2 atas permintaan Pemred Prisma, sebagai bentuk penghormatan intelektualitasnya-kehormatan atas pemikirannya yang selalu menggelitik dan menggelisahkan banyak orang-publik.

Menurut kebanyakan pembaca, tulisan RG amat jelimet dan rumit, tidak bisa dibaca sambil minum kopi. Hal lainnya yang masih belum terungkap kiprahnya atas RG baik semasa Orba-Soeharto maupun era gerakan reformasi 98 sebagai pelaku sejarah masih cukup banyak yang publik belum ketahui, tidak terpublikasikan. Tidak sedikit politisi pemuja kekuasaan-penghamba kekuasaan menyerang RG dengan lontaran kata atheis, mengaku benar sendiri-paling benar, tidak beradab dan seterusnya, tatkala terpojok-skak seter, mentah dalam logika dan akal waras.

Bahkan ada yang mengklaim dirinya aktivis, tapi tidak tahu bahkan  menyoal keaktivisan RG pada era reformasi 1998. Melontarkan pertanyaan, waktu ‘98nan ada di mana? Aneh bin ajaib jika sampai tidak tahu jika dirinya benar-benar sebagai seorang aktivis-pelaku sejarah langsung dalam gerakan reformasi baik sebelum maupun sesudahnya. Lain cerita, jika dirinya hanya sebagai penonton saja atau sekedar hore hore hore.

Sesungguhnya, RG tengah berada dalam dialektika pemikiran jika di Eropa-Amerika atau negera-negara Asia-Afrika yang punya peradaban pemikiran, yang nyaris selalu (dianggap) kontroversial. Padahal kata Descatrea: Aku Berpikir Maka Aku Ada (Cogito Ergo Sum). Itu harusnya menjadi hal yang menarik untuk diperdebatkan atau didialektikakan.

Biarkan saja caci maki itu ada, karena niscaya akan menepi sendiri, tenggelam dalam logika dan akal waras publik, intelektual publik akademik. Dengan sendirinya akan tenggelam dalam pertarungan sejarah pemikiran. Artinya, kebalikan dari apa yang distabilo Descrates, “aku ada tapi tak berpikir”, sehingga aku menjadi tiada-tak ada dalam sejarah-pemikiran.

Terlampau kerdil dan jongkok jika caci maki itu atas dasar kebencian atau kedengkian, karena yang dibutuhkan untuk peradaban pemikiran adalah caci maki dalam pertengkaran ide, konsep, hipotesis (asumsi-asumsi) dan keliaran imajinasi-imaji-imaji liar yang harus diuji secara metodologis. Terlampau jongkok jika cercaan dan makian harus di-polisi-kan atas nama pencemaran nama baik.

Oleh sebab teori bisa melahirkan teoritik baru. Begitulah takdir sosial ilmu pengetahuan, bukan atas asumsi-asumsi yang didasari dengan argumentasi ‘mungkin’, tanpa metodologis yang dipertaruhkannya, dan ‘mungkin’ hanya sebagai penghindaran logika dan akal waras jika menjadi perdebatan-dialektika intelektual akademik. Artinya, asumsi serba mungkin-dalam kengawuran.

Kita tentu sepakat untuk tidak selalu sepakat dengan RG. Tak ada yang berhak melarang jika tidak sepakat dengan RG dalam berbagai forum-ilmiah-akademik, baik sebagian pendapanya dan atau pemikirannya maupun tidak  sepakat total dengan apa yang disampaikan atau yang dikatakan RG dalam setiap forum apapun. Patut dicatat, RG itu bukan Malaikat, bukan pula Nabi atau Rosul, jadi boleh untuk tidak sepakat selamanya. Konkret, tidak gentayangan dalam kebenciann.

 

Panggung Sensasi ADT

Satu kasus yang sama atau perkara yang sama, dengan gugatan perdata yang pokok gugatannya sama, dilakukan  tiga penggugat yang berbeda, yaitu, Advokat David Tobing (ADT), Perkomhan dan DPP. TMP-PDIP. Dan  disidangkan di tiga pengadilan yang berbeda, yakni, PN. Jakarta Selatan, PN. Jakarta Pusat dan PN. Cibinong-Bogor.

Tentu menarik. Kok bisa begitu? Ini negeri Indonesia, NKRI namanya. Tentu siapa tahu, ada PN yang memutus-bebas tergugat, dan ada PN yang memutus mengabulkan penggugat. Memancing ikan di kali, siapa tahu ada yang dapat. Begitu kira-kira jika dirasionalisasikan.

ADT yang sekaligus dirinya mengatakan sebagai akademisi, mengajukan gugatan perdata atas RG di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 3/8/2023. Gugatan ADT  dengan nomor perkara: 712/Pdt.G/2023/PN JKT.SEL. Sidang perdana digelar Selasa, 22/8/2023 atas  dasar RG melawan hukum-menghina Presiden Jkw dengan gugatan-tuntutan: RG Dilarang Berbicara Seumur Hidup, diberbagai kampus, forum publik, tv, podcast dan medsos.

Alasan pokok lainnya, ADT merasa dirinya terhina, karena hinaan RG terhadap Presiden Jkw. RG telah menciderai citra bangsa sebagai bangsa yang ramah, yang menjunjung tinggi nilai budaya, kesopanan dan kesusilaan, karena Presiden adalah simbol dan atau lambang negara.

Tuntutan perdata yang diajukan ADT tersebut merupakan barang langka, aneh tapi nyata.  ADT adalah orang pertama di dunia dan akan tercatat dalam sejarah dunia, dimana gugatan perdatanya adalah Majelis Haklim diminta untuk menghukum RG dilarang berbicara seumur hidup diberbagai kamnpus, forum publik , media massa dan online bahkan di medsos dan lainnya.

Untuk itu, ADT harus masuk Guinness Book of Record-Guinness World Record dan atau harus diberikan berbagai award.  Gugatannya hatus dibuat menjadi manuskrip dan dimonumenkan, biar negeri ini makin tersohor di mata dunia, karena stantingnya. Atau manuskripnya nanti dibikin film untuk berlaga di kancah festival film dunia bersaing dengan film-film Holywood, India, China, Jepang dan negara-negara hebat lainnya, dan juga dibikin untuk sinetron kejar tayang untuk konsumsi bangsa dan negara, biar negeri ini makin stanting..

Gugatan tersebut khirnya harus menjadi bahan tertawaan dan olok-olok obrolan warung kopi. Mana ada tuntutan perdata seperti yang diajukan ADT. Yang namanya perdata, ya pastilah soal kebendaan, namanya saja keperdataan. Mencari sensasional memang tidak gampang, maka ADT dkk menempuh panggung gugatan perdata dengan tuntutan yang melawak meski sangat konyol.

Di hukum kita yang namanya gugatan perdata, tuntutannya pastilah materiil, dimana kerugian materiil tersebut dikonversikan dengan nilai besaran uang. Jadi yang namanya perdata ya material sifatnya.  Tuntutan material tersebut bisa hanya berupa tuntutan atas kerugian material ansich, bisa sekaligus  dibarengi dengan tuntutan kerugian imaterialnya. Jadi bisa dua-duanya dalam tuntutan (gugatan) perdata yang dilakukan penggugat atas tergugat. Lantas, apa argumentasi dirinya merasa dirugikan tersebut, dan merasa terhina?

Meski begitu, kita tunggu saja apa kata-putusan Majelis Hakim di PN. Jaksel. Jika melihat dari gugatan dan tuntutannya, harus kitakakan sekedar upaya ingin menggapai panggung sensasional, karena jika tidak melakukan dengan cara seperti itu, bagaimana mungkin menjadi perbincangan publik. Bagaimana mungkin ADT akan menjadi sorotan publik, meski temporeri sifatnya, sehingga sedikit banyak tv atau podcast mengundangnya. ADT bukan menjadi referensi publik dalam pemikiran,

Jika kita melakukan pembacaan dari sisi materi gugatan dan alasannya, bahwa dirinya merasa terhina, padahal, yang dihina adalah Presiden Jkw (pinjam istilah ADT),  dikarenakan menurut ADT, bahwa Presiden adalah simbol-lambang negara. Akhirnya mengafirmasi keniscayaan akan kebenaran, bahwa ADT tengah mencari panggung sensasional dengan tuntutan tersebut.

Mencari panggung sensasional publik seperti apa yang dilakukan ADT, memang cukup efektif dan sukses. Intelektual publik akademik sebelumnya tidak mendengar malang melintangnya ADT di forum publik, apalagi tampil diberbagai acara dialog tv nasional yang disandingkan dengan para pakar-intelektual publik akademik yang telah menjadi referensi publik nasional, terutama dari kalangan akademisi dan intelektual publik akademik yang tidak berelasi kuasa.

Disadari atau tidak, tapi pastilah disadari betul oleh ADT untuk melakukan gugatan tersebut, dan ternyata dengan lewat jalan gugatan tersebut akhirnya membawa keberkahan tersendiri; sedikit dikenal, sekalipun belum masuk menjadi referensi ruang publik, meski beberapa kali tampil dalam dialog tv dan podcast.

Setelah kasus RG, ADT kembali ke habitatnya dan akan menjadi keniscayaan tenggelam di tengah pusaran kebisingan politik kekuasaan. Jika namanya untuk tetap bisa jadi pembicaraan, ADT harus bisa dipakai menjadi advokatnya para pejabat tinggi negara, baik untuk kasus perkorupsian maupun untuk kasus-kasus yang bersembunyi di balik delik pencemaran nama baik, ujaran kebencian dan berita hoaks. Jika tidak, lenyap  dan tenggelam namanya di ruang publik.

Untuk itu, menjadi tak terbantahkan lagi, karena mengafirmasi keniscayaan akan kebenaran apa yang dilakukan ADT dkk hanya sekedar menggapai panggung sensasional semata. Memang, mencari panggung sensasional publik banyak diburu orang. Ketidakmampuan mengaktualisasikan diri dalam sejarah pemikiran dan atau pertarungan pemikiran, dengan sendirinya secara kodrati akan tenggelam, dan ditinggalkan intelektual publik akademik atau publik yang masih punya logika dan akal waras.

Hal tersebut menandakan, betapa sulitnya menerobos ruang publik untuk bisa merepresentasikan dirinya sebagai intelektual publik akademik dengan loncatan-loncatan pemikiran dan atau imaji-imaji liar yang punya daya sengat (publik) atau jika pinjam istilah futurolog Amerika-Alvin Toffler bilang dalam bukunya “The  Third Wave” adalah mempunyai daya kejut. ADT tidak didasari dengan argumentati metodologis, sehingga berada dalam ruang hampa publik yang bukan sebagai referensi literer.

Sekali lagi, jika Descrates mengatakan, ‘Aku Berpikir Maka Aku Ada’, sebaliknya yang menjadi fakta adalah  Aku Ada Tapi Tak Berpikir, Membuatku Tak Ada atau Aku Meng-ada Tanpa Berpikir, sehingga gugatan perdatanya adalah Melarang RG Berbicara Seumur Hidup di Berbagai Forum.  Jika seperti itu, menjadi Negara Komunis atau fasis atau otoritarian sangatlah cocok bagi ADT dkk, karena tidak mau mengerti dengan demokrasi dan Pancasila. ***

 Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.)

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles