Bagian 5 dari 5 Tulisam
Lawan. lawanlah! sebelum langit bersimbah darah. diam atau berpangku tangan adalah bencana dan kematian di mana-mana. angin akan mengabarkan ke seluruh benua dan samodra. burung-burung camar singgah di geladak kapal yang berlabuh. tafakur dalam senyap.
Lawan. lawanlah! itu artinya kita berikhtiar dari bencana dan kesesatan. sebab cerdik pandai dan kaum inteletual telah melacurkan diri di mana-mana. langit jingga menjelma menjadi gelap gulita. matanya gerhana dan pandangannya berkunang-kunang.
Lawan. lawanlah! angin yang menderu-deru dan ombak dan gelombang yang berbuncah-buncah . akan datang silih berganti dari musim ke musim. lawan. lawanlah! sebelum kekuasaan menjadi berhala. sebelum bencana menjemput takdir sosial.
Lawan. lawanlah! karena tuhan tidak akan menjelma menjadi hantu apalagi mematung dalam ar-robbnya. lonceng kematian akan menjemput ajalnya. matahari akan menyala di atas ubun ubun. jika kita tegak lurus memandangnya.
Singaraja, 26.7.2023.
(0’ushj.dialambaqa-Pusisi: NEGERI ADAKADABRA)
Dalam Demokrasi
Bisakah RG dikenakan sanksi sosial? Tentu, sangat bisa. Sanksinya adalah sanksi moralitas. Hal itu pun baru bisa diberlakukan jika RG hidup di daerah pedalaman, hidup dalam konstruk sosial suku terasing dan atau daerah-suku yang masih menganut dan memberlakukan hukum adat. Bukan atas nama demokrasi dan Pancasila untuk sanksi sosial tersebut.
Jika apologinya menggunakan kejongkokan demokrasi bisa juga, dan gampang sanksi moralitas itu disematkan atau diberlakukan terhadap RG. Lantas, seperti apa? Mereka yang tidak suka dan atau yang menyimpan kebencian dan kedengkian terhadap RG, apapapun alasannya, tidak perlu memberi ruang pada RG untuk berbicara diberbagai forum yang mereka gelar. Gampang toh! Jangan mencari-cari yang terlampau naif dan absurd, yang realistik saja, biar kakinya napak di bumi. Ini mempertontonkan argumen sumur tanpa dasar dalam laut kedunguan, sehingga menggelikan sekaligus memilukan.
Jadi jika mereka punya jaringan televisi, podcast, media massa cetak atau online, medsos dan seterusnya, tinggal melakukan pembaikotan atau meng-embargo RG untuk tidak tampil di media mereka. Remeh temeh, bukan? Bukan cara yang dilakukan adalah melarang orang lain, karena itu menjadi amat sangat naif, sekaligus juga melanggar HAM.
Toh sekarang pun sudah terjadi, dimana media yang berada dalam jaringan atau sayap-sayap mereka sebagai pemuja kekuasaan dan atau penghamka kekuasaan tidak mengundang RG berbicara. Ada yang sedemikiran juga, sudah melakukan hinaan dan pencaci-makian terhadap RG, karena kehilangan logika dan akal warasnya. Toh tidak ada masalah, bukan?
Begitu juga dengan para buzzernya. Namun kini, kolam buzzernya pecah berantakan, berkeping-keping dan berhamburan. Yang semula rezim penguasa sangat diskralkan-disucikan. Siapapun yang mengkritik kebijakannya pasti dicaci maki dan dicerca, bahkan di-polisi-kan dengan UU No, 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana pasal 14 dan pasal 15 jo pasal 45 ayat (3) dan pasal 27 ayat (3) UU RI No.: 19 Tahun 2018 tentang perubahan atas UU RI No.: 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kini para buzzer seperti Denny Siregar, Abu Janda, Eko Kuntadhi, Rudi S Kamrii dkk yang semula puja-pujinya kepada rezim penguasa melampaui langit kini langit itu runtuh dan keping-keping. Menjadi senjata makan tuan. Kini menyalak bahkan menggigit tuannya sendiri, melampaui batas keadaban-jika secara ekstrim harus kita katakan. Seakan baru siuman, baru sadar selama bertahun-tahun, dan baru menyadari apa yang sesungguhnya menjadi realitas sosial di negeri ini. Kini bagaikan orang kesurupan nyap-nyap.
Sinisme publik, dengan pertanyaan, apakah karena kontraknya sudah berakhir untuk proyek buzzer tersebut? Apakah kakak pembina telah menganggap “habis manis sepah dibuang?” Ataukah sang tuan mengaggap tak berguna lagi? Meski begitu, biarkan jawabannya tetap menggantung di langit jingga, karena sejarah dan waktu yang akan bicara.
Begitu juga banyak intelektual akademik dan bahkan sang profesorpun kini baru sadar seperti terhipnotis dan atau tertidur lelap. Lantas berseloroh pada sebuah acara tv. “Saya dulu sangat kagum dan mengagumi Presiden Jkw, ternyata kini saya baru tahu dan sadar, tidak menyangka,” selorohnya.
Meski begitu, secara teologi, itu artinya telah kembali menemukan kebenaran yang hilang. Masih sangat beruntung, masih ada waktu berkontemplasi, sehingga menemukan kembali yang telah hilang, hampir 2 periode Jkw berkuasa-sebagai Presiden.
Lebih baik terlambat ketimbang tak sadar diri hingga habis masa jabatan kepresidenannya, Memang terkadang penyadaran diri seringkali terlambat datang, sekalipun teriakan dan jeritan menggema dan beresonansi tinggi.
Oleh sebab itu, mereka yang masih tertidur lelap tidak bisa memaksa melarang orang per orang atau perkumpulan atau perserikan, badan, organisasi, komunitas, kampus-kampus, media massa; televisi, podcast, media hingga hingga medsos, mengundang RG untuk tampil sebagai pembicara, pemateri dan atau berbicara dalam berbagai forum.
Jika itu yang dikehendaki, itu mengintifisir dirinya sudah tak waras lagi-gila, gila-gilaan dan kegilaan yang terpenjara dalam kekuasaan atau ‘moral hasad’ dan atau sudah berkeping-keping, hancur lebur moral clarity-nya sebagai manusia yang waras. Menistakan akal budi.
Bisakah jika hal tersebut dianggap sebagai (proses) dialektika untuk bisa mendewasakan nalar, untuk bisa menghidupkan logika dan akal waras bangsa dan negara? Ya sudah biarkan saja, ke mana angin akan membawanya. Barangkali bangsa dan negara itu baru bisa melek mulai dari sisi gelap dan langit jingga.
Barangkali takdir sosial negeri ini harus berangkat dari proses caci maki, hina menghina, cerca mencerca, hasut menghasut dan fitnah memfitnah, kebencian, framing memframing, penyebaran hoaks yang dimobilissai, keonaran dan kegaduhan yang direkayasa, diproduksi dan dimobilisasi dan seterusnya, baru kemudian kita menjadi dewasa dan waras sebagai bangsa dan negara untuk bisa bersanding dengan negara-negara lain, dimana kita sebagai warga dunia.
Sebab, para pemimpin yang berkuasa tidak bisa memberikan keteladanan yang baik untuk bisa kita teladani, selain hanya mempertontonkan kehipokritan dalam banyak hal. Mempertontonkan politik devide et impera. Mempertontonkan otoritarianisme, mempertontokan politik identitas sectarian, dan mempertontonkan politik kekuasaan dan atau kekuasaan politik semata.
Kebenaran hukum (undang-undang) itu sendiri, kita tidak bisa menafikkan dan atau membantah, bahwa apa yang dikatakan Jurgen Habermas dalam teori kebenarannya mengatakan, itu semua sekedar kebenaran konsesus, bukan hakiki kebenaran atas kebenaran itu sendiri.
Artinya, kebenaran yang disepakati atas dasar saling adanya kepentingan pemangku kekuasaan; pemuja kekuasaan dan atau penghamba kekuasaan, apalagi jika kita sudah masuk dalam ranah tafsir pasal karet dan atau frasa-frasa yang sengaja dibuat untuk bisa menjadi multi-tafsir kepentingan untuk nisa memenjarakan yang bersebrangan dengan rezim penuasa. Itu hebatnya dalam kebenaran konsensus.
Presiden dan Tubuh Publik
Siapa bilang Presiden atau pejabat publik masih memiliki tubuh privat? Bagaimana dasar logikanya yang mengatakan seperti itu. Bukankah Presiden dan atau pejabat (negara) publik semua yang melekat pada badan-tubuhnya, dengan perkataan lain, tubuhnya adalah milik publik sepenuhnya.
Artinya tidak lagi memiliki tubuh privat, semuanya bersifat kepublikan dalam tubuhnya. Bahkan sampai tidak lagi menjadi Presiden dan atau pejabat publik, jika masih dibayar rakyat (negara) dan atau menerima fasilitas negara. Itu artinya, tubuhnya masih milik publik.
Jika begitu, apa argumentasinya? Logika dan akal waras akan mengatakan, bahwa seluruh badaniah-jamaniahnya bahkan rohaniahnya pun adalah milik publik selama masih makan gaji dan atau pensiunan. Karena gaji dan atau pensiunan harus dibayar rakyat, kecuali jika sudah tidak lagi menjadi pejabat publik dan atau sudah tidak lagi punya otoritas apa-apa lagi dalam takdir sosial negeri ini, dan hidupnya sudah bukan lagi menjadi tanggungan rakyat (negara). Tidak mengambil pensiunannya.
Presiden dan atau pejabat publik, dari tidur ke tidur, dari pagi ke pagi lagi semuanya harus ditanggung rakyat-publik (negara) dalam kehidupannya sehari-hari, bahkan mana yang kepntingan pribadi dengan mana kepentingan negaranya sudah tidak bisa dipisahkan lagi pada realitasnya. Menjadi samar, dan memang selalu disamarkan.
Presiden dan atau pejabat publik, mulai dari denyut dan detak jantungnya, sirkulasi darahnya, denyut paru-parunya dan ginjalnya semua menjadi beban dan atau tanggungan yang harus dibayar atau dibiayai rakyat-publik (negara).
Presiden dan atau pejabat publik, ngoroknya, ngigaunya, ngelindurnya, batuknya, bersinnya, nguapnya, nafasnya, mencretnya, beolnya, sakitnya dan sehatnya dalam kesehariannya menjadi tanggungan rakyat yang harus membayarnya.
Mengapa? Karena, Presiden dan atau pejabat publik harus dan atau berkewajiban mengemban konstitusi; AMPERA (Amanat Penderitaan Rakyat), harus melindungi segenap tumpah darah, harus mencerdaskan kehidupan bangsa, dan harus mensejahterakan kehidupan rakyat. Oleh karena itu, Presiden diberi kewenangan atau otoritas yang besar dalam tubuh publiknya untuk mengambil kebijakan yang diamanatkan konstitusi, termasuk menyatakan perang.
Jika seperti itu, Presiden dan atau pejabat publik sudah tidak lagi memiliki tubuh privat, melainkan seluruh badaniah dan rohaniahnya adalah milik publik. Bahkan, sekalipun Presiden sudah tidak lagi menjadi Presiden dan atau pejabat publik yang sudah tidak lagi menjadi pejabat publik tubuhnya masih milik publik jika masih menjadi tanggungan negara (rakyat) dalam sebagian kehidupannya.
Begitu juga dengan ASN yang masih aktif maupun telah pensiun. Yang sudah pensiun tetapi masih menerima pensiunan dari negara (rakyat), sekalipun sudah tidak punya lagi otoritas dalam kebijakan, maka masih mempunyai tubuh publik, terkecuali, jika sudah melepaskan uang pensiunannya. Sehingga, rakyat tidak lagi menanggung beban. Nah, jika sudah seperti itu, baru dikatakan mempunyai tubuh privat secara utuh.
Yang dikatakan rohaniahnya adalah berpikir sehat atau sakit atau segala bentuk prilaku, berpikir, nalar dan seterusnya yang dituntun oleh akal budi dan atau moralitas-agama, sehinga kebijakannya tidak menjadi blangsak, yang membuat penderitaan dan atau yang membahayakan kehidupan-masa depan bangsa dan negara.
Oleh sebab itu, tubuh privatnya meng-ada, jika Presiden sudah tidak lagi menjabat Presiden, sudah menjadi masyarakat biasa. Begitu pula dengan pejabat publik lainnya, tanpa kecuali adalah ASN. Jika sudah melepas tubuh publiknya dan atau tinggal tubuh privatnya, publik sudah tidak bisa lagi memcaci maki, marah-marah atau menghinannya. Tubuh privatnya punya milik dirinya dan keluargannya, tak ada lagi dengan kepublikan dalam tubuhnya.
Jika sudah tidak lagi memiliki tubuh publik, maka kita sebagai publik (rakyat) tak lagi berhak dan atau tak lagi berkewajiban untuk bisa marah, menghina, mencaci maki, mencerca dan seterusnya atas tutur kata yang santun yang dipakai hanya sekedar untuk permainan retorika dan kehipokritan. Lain ceritanya, jika melakukan perbuatan tercela yang langsung maupun tidak langsung merugikan atau merusak moralitas publik. Sebab, implikasi latennya akan merusak mentalitas bangsa dan negara.
Kemarahan dalam bentuk penghinaan dan makian itu sebagai konsekuensi tubuh publik yang melahirkan kebijakan yang tidak santun; hanya berpihak pada kepentingan kartel politik, kartel kekuasaan dan kartel oligarki, karena itu merupakan bentuk penghinaan terhadap kedaulatan rakyat.
Jika itu sudah tidak lagi menjadi Presiden atau pejabat publik-ASN, penghinaan, caci maki dan seterusnya tetap dilakukan, itulah yang dikatakan pasal penghinaan, pencemaran nama baik, ujaran kebencian dan seterusnya. Meski, sesungguhnya kita masih berhak marah jika melakukan perbuatan yang tercela dan atau secara norma umum mempertontonkan ketercelaannya, karena kita sebagai rakyat masih harus menanggung beban hidupnya-pensiunan mereka.
Demokrasi dan HAM tidak membenarkan dan atau melarang tubuh privat disentuh dan atau diganggu tanpa alasan yang konkret, seperti melakukan perbuatan tercela yang mengusik dan mengganggu kenyaman seseorang atau orang lain, merampas hak hidup orang lain, menindas, merepresi dan atau mengintimidasi, dimana kenyaman setiap individu itu terlukai, terganggu dan seterusnya, yang sesungguhnya harus dilindungi, dan itu merupakan prinsip dasar dari HAM.
Oleh sebab itu, sekali lagi, Presiden dan atau pejabat publik, termasuk ASN, tidak meiliki tubuh privat dalam dirinya, melainkan seluruh tubuhnya adalah tubuh publik-milik publik. Itu semua menjadi tubuh publik yang melekat pada dirinya selama 24 jam jika masih hidup.
Jika Presiden dan atau pejabat publik tidak mau dihina, dicerca atau dicaci maki dan seterusnya atas kebijakannya yang buruk, bobrok dan atau tidak berpihak kepada AMERA, pilihan hidupnya jangan menjadi Presiden dan atau pejabat publik.
Sangatlah naif dan atau betapa tolol dan pengecutnya kita sebagai rakyat jika kebijakan Presiden dan atau pejabat publik sudah berada dalam rel shirothol mustaqiem, tidak blangsak lantas masih dicaci-maki. Sudah gilakah kita-sebagai publik yang menyoal kepublikan dan atau kepentingan publik jika seperti itu?
Adapun pun pro dan kontra itu tak bisa dihindari apalagi bangsa ini selalu diadu-domba, dipecah belah lantaran hasrat berkuasa dan kekuasaan, karena Petruk Menjadi Raja, banyaknya para Dorna, Bunglon-Bunglon dan Kutu-Kutu Loncat bahkan Brutus-Brutus ada di mana-mana.
Untuk itu, logika dan akal waras yang akan menimbang dan menilainya, apakah yang pro itu waras atau tidak, dan begitu juga dengan yang kontra, apakah waras atau tidak dalam melakukan pembacaan dan penilaian terhadap kebijakan publik tersebut.
Demokrasi menyediakan ruang atas pro dan kontra tersebut. Berdemokrasi adalah menyuarakan suara Tuhan, karena suara Tuhan tidak mengandung kebusukan apalagi pengkhianatan. Dalam Demokrasi, suara rakyat adalah suara Tuhan, suara yang tidak mengandung kebohongan dan kemunafikkan, suara yang mengandung kebenaran, sehingga bangsa dan negara mampu menatap masa depannya.
Demokrasi dan HAM tidak memberikan peluang untuk saling memidanakan jika nyata-nyata yang kontra tersebut sebagai kritik meski dengan diksi yang ekstrim, sarkastik atau sinistik, karena itu untuk menyempurnakan kebijakan yang masih bolong-bolong yang berimplikasi pada penderitaan rakyat, yang berpotensi membahayakan bangsa dan negara, karena kebijakannya bersekutu dengan kartel politik, kartel kekuasaan dan katel oligarki.
Akan tetapi, jika mereka maunya seperti itu dan atau Presiden dan atau pejabat publik juga maunya seperti itu, pada akhirnya, kita yang masih punya logika dan akal waras, apa hendak dikata, Kodok Telah Menjadi Harimau, meski kita tidak sepakat, bahwa semua orang seperti RG dan yang lainnya yang mengusik kenyamanan kekuasaan harus dipenjarakan, harus mendekam dalam ‘bui’ dan atau harus diperlakukan seperti Socrates. Hal itu pasti terjadi jika kekuasaan telah menjadi berhala, dan politik menjadi panglimanya.
Tentu, jika seperti itu, negara kita harus bukan lagi sebagai negara demokrasi-Pancasila, tetapi harus menjadi Negara Komunis atau Fasis. Bukan lagi negara rechtaat, melainkan sebagai negara machstaat.
Oleh karena itu, yang punya logika dan akal waras harus mencegah dan atau melakukan perlawanan terhadap kekuasaan yang otoritarian. Sebelum kekuasaan menjadi berhala. Sebelum bencana menjemput takdir sosial negeri ini.
Ototiratianisme dalam kekuasaan hanya akan melahirkan Demokrasi Terpimpin seperti pada masa Orla dan Orba. Demokrasi hanya dijadikan topeng, dan akhirnya yang meng-ada adalah negara otokrasi-legalisme, dan itu sudah bukan negara demokrasi lagi namanya. Bencana bagi demokrasi dan Pancasila.
Hal itu, biar jelas kita sebagai rakyat, bahwa negeri ini memang bukan lagi negeri demokrasi jika kita lihat dalam banyak hal pelaksanaan bernegara. Negeri ini memang menerapkan kekuasaan yang otoritarian-represif dalam banyak hal. Negeri ini memang kekuasaan menjadi absolut dalam banyak hal, sehingga negeri ini apakah akan menjadi Negara Komunis atau demokrasi?
Hal tersebut, apakah lantaran para pendiri bangsa kita saat itu, baru bisa mengantarkan sampai pintu gerbang kemerdekaan, baru sampai di halaman depan demokrasi. Tetapi entah karena kesurupan apa, lantas kita sudah berteriak-teriak dan menjerit-jerit: Demokrasi Telah Gagal. Demokrasi tidak cocok lagi dengan karakter bangsa. Hupla hupla hore hore.
Jadi jika mau pakai demokrasinya harus Demokrasi Terpimpin. Semua tafsirnya menjadi otoritas dan absolutism di tangan rezim penguasa. Kita sebagai publik-rakyat tidak boleh lagi menafsirkan kebijakan yang telah diputuskannya. Tak boleh lagi kita mengkritik apalagi menentangnya.
Yang berada di depan mata, demokrasi di negeri ini baru dijadikan topeng, belum sampai pada apa yang namanya demokrasi itu sekalipun ada electoral-elected, belum sampai pada apa yang dikehendaki demokrasi itu sendiri.
Demokrasi baru sampai pada retorika, jargon dan slogan. Begitu pula dengan Pancasila. Itu bisa kita lihat dengan nyata betul, konkret, bagaimana sikap, tindakan, ucapan, prilaku dan gaya hidup pemimpin dan atau pejabat publik rezim penguasa negeri ini.
Untuk itu, agar bangsa dan negara ini bisa berlabuh sampai pada tujuannya, demokrasi dan kekuasaan harus dituntun oleh moralitas-agama, bukan atas hasrat hendak berkuasa. Jika seperti itu, maka akan menjadi seperti apa yang dikatakan Friedrich Nietzche: Gott ist Tot (Kematian Tuhan) atau God is Dead (Tuhan Telah Mati). Rezim penguasa bisa sekehendaknya dalam kebijakan. Sejarah dan waktu yang akan bicara kemudian. ***
Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com