Subang, Demokratis
Harapan pemerintah pusat untuk memacu kesejahteraan rakyat di antaranya lewat agenda Nawa Cita dengan membangun negeri ini dari pinggiran, memperkuat daerah-daerah dan desa, namun sepertinya kurang direspon sepenuhnya oleh sejumlah desa-desa di wilayah Kecamatan Binong, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat.
Sementara dana miliaran rupiah yang digelontorkan ke desa secara tunai melalui dana transfer dan pendapatan asli desa (PAD) oleh kepala desa terkesan hanya sebatas menggugurkan kewajiban, bahkan lebih memprihatinkan sebagianya dana tersebut diduga dijadikan ajang bancakan. Tak peduli apakah hasil (output) dan manfaatnya (outcome) betul-betul dapat dirasakan masyarakat, yang terpenting dana tersebut bisa diserap, sementara sisanya raib entah hinggap dimana.
Padahal terkait itu, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati dalam suatu postingan bertage line “Saya titip anggaran itu bukan untuk kepala desa, tapi untuk rakyat di desa” mewanti-wanti agar dana desa tidak disalahgunakan.
Contoh kasus itu belakangan seperti melanda di tubuh Pemerintahan Desa Citrajaya, Kecamatan Binong, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat ketika mengelola keuangan desa sepertinya sudah terkontaminasi virus korupsi yang akut.
Memang terlihat di sekitar kantor desa terpampang baliho berukuran jumbo, tertulis angka-angka APBDes untuk mengesankan seolah transparan dalam mengelola keuangan desa, namun tidak diikuti laporan perkembangannya, jadi sama saja dengan bohong, lantaran masyarakat tetap saja sulit untuk turut terlibat mengawasi.
Adapun modus operandi penjarahan dana keuangan desa ketika program (baca : fisik) itu digelar, dengan cara mengurangi volume fisik, pengadaan material tidak sesuai dengan spesifikasi teknis dan RAB, mark up upah tenaga kerja (HOK), menyunat pagu anggaran, adanya joki pembuatan SPJ dan atau SPJ fiktif, terkait itu pihak-pihak yang terlibat membuat administrasi bodong (aspal-Red) dianggap telah melakukan kebohongan publik, sehingga terancam dipidana.
Tak hanya itu sejumlah kegiatan fisik kedapatan diborongkan kepada pihak ketiga, semestinya dikerjakan oleh Tim Pelaksana Kegiatan Desa (TPKD) yang personalianya terdiri unsur lembaga kemasyarakatan dan tokoh masyarakat, hal ini agar misi program terkait pembedayaan masyarakat terwujud.
Kesemua tindakan tidak terpuji itu, sehingga berpotensi merugikan keuangan desa/negara hingga mencapai ratusan rupiah.
Menurut sejumlah sumber yang mengetahui seluk beluk Pemerintahan Desa Citrajaya dan hasil investigasi di lapangan menyebutkan, kegiatan-kegiatan yang didanai Alokasi Dana Desa (ADD) TA 2019 kedapatan senilai Rp 135.039.900 SPJ belum bisa dipertanggungjawabkan, PPh dan PPn senilai Rp 5.632.948 diduga digelapkan. “Karena menurut ketentuan dana pajak tersebut dalam kurun waktu satu kali 24 jam harus sudah disetor,” ujar sumber.
Tak hanya itu, kedapatan duplikasi pembiayaan pembangunan Pamsimas senilai Rp 30.214.600 padahal proyek itu sudah dibiayai dari APBN, sehingga berpotensi dijadikan ajang bancakan.
Sementara kegiatan yang bersumber Dana Desa, kedapatan penggunaannya senilai Rp 340.720.000 SPJ belum bisa dipertanggungjawabkan, bahkan lebih ironisnya kedapatan kegiatan pembuatan drainase RT 01/01 senilai Rp 30 jutaan diduga tidak dibangunkan alias fiktif.
Kemudian PPh dan PPn yang diduga digelapkan senilai Rp 23.500.887 dan kedapatan kelebihan bayar material, upah tenaga kerja dan kemahalan harga sebesar Rp 27.360.400.
Masih menurut sumber, dugaan penyelewengan keuangan desa bersumber Bantuan Desa (Bandes) TA 2019 atau lazim disebut dana pokir dari pagu kegiatan di tiga titik berniali Rp 315 jutaan disunat kisaran Rp 90 jutaan. Uang haram senilai itu, kata sumber, menggelontor ke aspirator (oknum anggota dewan yang terhormat berinisial NS) sebesar Rp 30 jutaan.
Konon kasus ini sudah tercium pihak aparat penegak hukum (Tidpikor) bahkan sedang ditangani. “Pak Kades Citrajaya dan sejumlah perangkat desa sudah pernah dipanggil oleh Tidpikor Polres Subang beberapa waktu lalu. Mereka dimintai keterangan penggunaan dana Bandes hasil menyunat dari penerima manfaat,” ujar sumber di lingkup Pemerintahan Desa Citrajaya.
Tak sampai di situ, dalam program Sapa Warga yang digulirkan Gubernur Jawa Barat, dana peruntukkan pembelian handphone Android, dari pagu anggaran Rp 1,3 juta/buah, dibelanjakan hanya kisaran Rp.600-700 ribu saja/buah dan tidak sesuai dengan spek. Padahal sesuai spesifikasinya HP yang memenuhi layar ponsel 7 inci, memori dan RAMnya 2 GB dengan ROM 16 GB, koneksi jaringan 4G, LTE, HSDPA, camera depan belakang. “Ini saya mendapat bagian dari pak Kades satu buah handphone merk MEIZU,” ujar seorang Ketua RW seraya menunjukan HP-nya.
Kades Citrajaya Caswita ketika ingin dikonfirmasi di kantornya (9/3) sedang tidak berada di tempat. “Pak Kadesnya sedang dinas luar,” ujar Sekdes Wira.
Begitu pula ketika dikirimi materi wawancara via WhatsApp 085294559xxx hanya dibaca, tidak berkenan menanggapi.
Di kesempatan terpisah, Ketua Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi-RI (GNPK-RI) Kabupaten Subang Adang Sutisna SH melalui Kabid Pengaduan Masyarakat GNPK-RI Kabupaten Subang Yudi Prayoga Tisnaya yang dihubungi awak media di kantornya (9/3) pihaknya menyesalkan atas tindakan oknum kepala desa dan pihak-pihak yang diduga terlibat menyelewengkan keuangan desa. Perilaku demikian dapat dikatagorikan perbuatan korupsi. “Kepala desa itu posisinya sebagai Pengguna Anggaran (PA) ketika mengelola keuangan desa bersumber dari dana-dana transfer dan lainnya dimana merupakan sumber pendapatan APBDes harus dipertanggung jawabkan secara baik dan benar,” tandasnya.
Perilaku Kades itu bisa dijerat UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU No 20 Tahun 2001, Jo Psl 3 bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000.
Melihat kondisi seperti ini, pihaknya berjanji akan terus mengkawal kasus ini, terutama dugaan penyimpangan Bandes, agar tidak masuk angin dan menguap di kegelapan kabut delapan enam oknum penegak hukum.
Pihaknya juga mendesak aparat pengawas seperti Inspektorat Daerah (Irda) dan penegak hukum Kepolisian dan Kejari Subang segera menyelidiki kasus-kasus pelanggaraan hukum itu. “Jerat oknum pelakunya hingga bisa diseret ke meja hijau. Tak usah menunggu laporan pengaduan, karena ini merupakan peristiwa pidana,” tegas Yudi.
“Bila terbukti beri hukuman setimpal, agar ada efek jera karena dana itu berasal dari uang kenduri rakyat yang dihimpun melalui pajak yang benar-benar harus dipertanggung jawabkan,” pungkasnya. (Abh/Esuh)