Subang, Demokratis
Tahun ajaran baru dunia pendidikan tahun ini (TA 2023/2024) di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, memang sudah lewat. Namun, dari situ jelas-jelas meninggalkan sekelumit catatan buram di seputar momen berlangsungnya Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Di tahun ajaran baru, bisa jadi merupakan pengulangan praktek-praktek penyimpagan yang telah ada dari tahun ke tahun. Seperti PPDB lewat ‘jalur khusus’ di sejumlah sekolah favorit. Biasanya calon siswa yang tidak diterima karena dianggap tidak memenuhi yang dipersyaratkan sekolah ybs, maka agar tetap bisa diterima untuk tingkat SLTP dikutip uang kursi kisaran Rp1-3 jutaan dan tingkat SLTA Rp2-5 jutaan.
Lembaga pendidikan yang difahami sebagai lembaga nirlaba, tampaknya di setiap awal tahun baru benar-benar berubah menjadi ‘pasar swalayan’ yang mengacu pada kebijakan untung rugi, lalu menerapkan teori dagang dengan menggunakan mekanisme ‘sempoa’.
Momen PPDB tak dilewatkan begitu saja. Dengan dalih dan berbekal aturan main yang ditafsirkan saenake dewek (Jawa-sekehendak sendiri), oleh oknum di jajaran intansi pendidik yang merupakan satu-satunya lembaga pencetak orang pintar, dijadikan ajang meraup keuntungan.
Mahalnya biaya pendidikan seperti terjadi di Kabupaten Subang, dikeluhkan para orang tua siswa yang akan menyekolahkan anaknya.
Berbeda akan halnya PPDB di negara-negara maju, seperti di negeri Paman Sam (baca :Amerika Serikat) terbilang sukses. Di negeri ini selain manajemen pendidikan cukup baik, komitmen moral para penyelenggaranya yang tinggi juga merupakan salah satu faktor suksesnya dunia pendidikan mereka selalu conscern ketika menerapkan kebijakan, sehingga program wajib belajar pendidikan dasar (Wajardikdas) 12 tahun khususnya di negeri Paman Sam ini terbilang sukses.
Di Amerika, bila tahun ajaran baru, calon siswa yang mendaftar ke sekolah, pertama kali ditanya seputar domisili, RT/RW berapa, alamat dimana, di jalan apa?
Proses ini dimaksudkan ketika kelak diterima menjadi siswa resmi, sebagai data penentu rute antar jemput ‘bus sekolah’ yang bakal dioperasikan pihak sekolah. Selepas pukul 12.00 waktu setempat, para siswa diberi makan dan jajanan kecil.
Begitu sekelumit gambaran penyelenggaraan Wajardikdas 12 tahun (hingga jenjang SLTA-Red) di negeri itu yang semuanya serba gratis. Tidak seperti di negeri kita, baru omong soal PPDB dulu sebut Penerimaan Siswa Baru (PSB) sudah belepotan, apalagi bicara soal kualitas. Untuk bersaing dengan negara-negara ASEAN saja urutannya masih jeblok. Buruknya pengelolaan pendidikan bisa jadi dikarenakan moral para penyelenggaranya yang sudah rapuh, kata pemerhati masalah pendidikan Pandi Ahmad, S.Pd.MM ketika dimintai tanggapannya seputar penyelenggraan pendidikan di kediamannya, Sabtu (6/1/2024).
Menyoroti kebijakan pemerintah tentang ketentuan sekolah yang menyelenggarakan pendidikan gratis terbatas, Pandi menilai bahwa itu kebijakan ambivalen (setengah hati-Red), lantaran oleh pihak sekolah masih bisa disiasati di tingkat implementasi dengan tujuan komersial dan fenomena itu cukup merisaukan orang tua murid.
Toh hasil akhir kebijakan yang diterapkan pihak sekolah tetap saja dirasakan memberatkan orang tua murid, meski dengan dalih hasil musyawarah, sehingga misi keberpihakan pada orang tak berpunya tidak tercapai, bagi orang miskin tetap saja sulit memperoleh pendidikan.
“Hal itu tercermin ketika pihak sekolah menyusun Rencana Anggaran Biaya Sekolah (RAPBS) sepertinya sudah dibangun kesepakatan di antara satu daerah dengan level sekolah yang sama terkait beban yang akan dipikul setiap siswa, tidak jauh berbeda hasilnya dalam pembebanan DSP, pakian, buku paket dan sebagainya. Apakah memang kebutuhan masing-masing sekolah, ini cukup mengherankan,” cetus Pandi.
Berdasarkan investigasi dan beberapa keterangan dihimpun Demokratis menyebutkan, pungutan berdalih untuk Dana Sumbangan Pendidikan (DSP) dulu lazim disebut uang pangkal/bangunan gedung dan kegiatan Masa Orientasi Sekolah (MOS) seperti kegiatan siswa, pakaian seragam sekolah/olahraga/muslim, asuransi, komputer, atribut sekolah, infaq masjid, kalender, dan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dilakukan di hampir semua jenjang, mulai tingkat SD, SLTP, SLTA dirasakan mencekik leher (memberatkan-Red) urang tua murid.
Disinyalir sekolah menjual dedet (baca: paksa) pakaian seragam, perlengkapan sekolah dan LKS dengan harga cukup pantastis bila dibanding harga di pasaran. Sehingga tak sedikit orang tua/wali murid mengeluh, terutama bagi orang tua/wali murid tergolong miskin.
“Kita tahu peraturan tapi karena anak kami sekolah disitu, ya kita ngikut saja. Mungkin wartawanlah yang bisa mengkritisi, agar sekolah itu menghentikan penjualan seragam, alat perlengkapan sekolah dan LKS, kan melanggar peraturan. Kalau orang tua murid yang menyampaikan kepada pihak sekolah sikonnya tidak memungkinkan,” tutur mereka kepada awak media saat mengantar anaknya tadi di sekitar sekolah mereka mendaftar.
Sebagai testimoni ditemukan pengadaan/penjualan barang itu, LKS dan pungutan DSP kedapatan di SMPN 1, 2 dan 4 Pagaden, MTs Tarbiyatul Muta’alimin Pagaden, SMPN 1 dan 2 Binong, SMPN 1 dan 2 Tambakdahan, SMAN 1 dan 2 Pagaden, SMPN 1 Subang, SMKN 1 Subang.
“Dari keuntungan penjualan barang-barang itu, setiap sekolah meraup keuntungan puluhan juta rupiah bahkan hingga ratusan juta rupiah bagi sekolah yang siswanya banyak,” ujar sumber.
Sementara penjualan LKS untuk siswa/i SDN kedapatan di antaranya di wilayah kerja UPTD Pendidikan Kecamatan Binong, Tambakdahan, Pagaden, Pagaden Barat, Cipunagara, Compreng, Pusakajaya, Pusakanagara, Jalancagak.
Menurut sumber, dari setiap lembar LKS (1 mata pelajaran) dijual seharga Rp9000 hingga Rp10.000, disetor ke penerbit sebesar Rp5000/lembar, sisanya dibagikan ke masing-masing kepala sekolah (kepsek) menerima fee 25 % selebihnya UPTD pendidikan kecamatan dan Dikbud kabupaten yang dikoordinir Kabid Kurikulum.
Aksi pengulangan praktek-praktek dugaan penyimpagan di momen PPDB yang terjadi dari tahun ke tahun, lanjut sumber, masih terus berlangsung, meskipun pemerintah telah mengeluarkan sejumlah regulasi tentang larangan bagi pihak sekolah menjual seragam sekolah, alat perlengkapan sekolah serta LKS kepada para siswa tetapi tidak semua sekolah mematuhi larangan tersebut. Padahal semua jelas sudah diatur di dalam Pasal 181 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17/2010 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 66/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Aturan terkait hal itu juga termaktub dalam Permendikbud Nomor 45/2014 tentang pakaian seragam sekolah bagi peserta didik jenjang pendidikan dasar dan menengah, Permendikbud Nomor 8/2016 tentang buku yang digunakan oleh satuan pendidikan dan Permendikbud Nomor 44/2012 tentang pungutan dan sumbangan biaya pendidikan pada satuan pendidikan dasar serta Permendikbud Nomor 75/2016 tentang komite sekolah.
Faktanya di lapangan sekolah-sekolah di Kabupaten Subang masih marak yang menjual seragam sekolah, alat perlengkapan sekolah, LKS dan pungutan DSP seperti yang terjadi di SMPN 1 Binong dengan berbalut koperasi lembaga pendidikan ini bermetamorfosa berubah seolah menjadi “pasar swalayan”.
Seperti diberitakan sebelumnya disebutkan, kwitansi yang ditemukan awak media tertulis angka Rp1,2 juta/siswa. Bila dikalkulasi dari sedikitnya sepuluh kelas rata-rata 40 siswa, maka jumlah fulus haram itu bila dimasukkan ke dalam empat saku baju safari yang biasa dikenakan panitia PPDB SMPN 1 Binong tidak akan tertampung.
Kutipan pembayaran sebesar Rp1,2 juta/siswa diperuntukkan membayar baju seragam batik khas Subang, batik khas sekolah, baju muslim, kaos dan trening olahraga, atribut putih biru (topi, dasi, logo, sabuk, papan nama), Pramuka (topi boni, kacu, badge dll), sepatu dan kaos kaki, modul, sampul rapot, pas foto dan cetak kartu OSIS.
“Tapi yang menggelikan kwitansi pembayarannya tidak ditandatangai, melainkan hanya ditulis inisial penerima saja. Dan anehnya penerimanya tiga orang (baca: inisial). Ada apa ini? Terkesan untuk menghilangkan jejak. Sepertinya telah dirancang agar tidak memenuhi unsur administrasi keuangan. Aneh???” ujar sejumlah orangtua/wali murid yang enggan disebut namanya saat mengantar anaknya daftar ulang.
Tak hanya itu, di SMPN 1 Binong ini juga diduga melakukan pungli biaya pengayaan UNBK dan perpisahan, padahal kegiatannya tidak dilaksanakan. Bila sepuluh kelas IX rata-rata 40 siswa dikali Rp600 ribu, maka terhimpun dana haram itu ratusan juta rupiah.
Saat awak media menyambangi SMPN 1 Binong untuk konfirmasi, diterima Asep seorang guru yang mengklaim pengurus koperasi sekolah. Pihaknya mengakui adanya penjualan baju seragam sekolah dan peralatan kelengkapan sekolah. “Pengadaan barang-barang tersebut disediakan oleh koperasi sekolah (KPRI), sudah berbadan hukum dan itu sah-sah saja,” katanya singkat.
Sementara terkait pungutan biaya UNBK dan perpisahan kelas akhir sebesar Rp600 ribu/siswa, Ketua Komite SMPN 1 Binong Endang Cahya saat dikonfirmasi via WhatsApp hanya dibaca saja, tidak berkenan menanggapi. Tetapi di kesempatan lain Endang membenarkan bila pungutan itu dilakukan atas kesepakatan hasil rapat orangtua murid dengan komite sekolah.
“Ya benar, uang sebesar Rp600 ribu itu keperluan kegiatan murid, seperti pengayaan dan biaya perpisahan,” terang Endang sebagaimana dilansir media online KM.
Diketahui pada musim PPDB TA 2023/2023 SMPN 1 Binong memungut dana berkedok sumbangan sebesar Rp400 ribu/siswa. Bila dikalkulasi dari siswa/i baru sediktnya 12 kelas, masing-masing kelas sebanyak 35-40 siswa maka akan terhimpun dana ratusan juta rupiah.
Sementara aktivis Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi–RI (GNK-RI) Kabupaten Subang U.Syamsudin.S.Sos saat dimintai tanggapan soal adanya jual beli pakaian seragam, buku paket, LKS dan DSP menyesalkan bila hal itu terjadi.
“Sepengetahun kami, sekolah maupun komite sekolah itu tidak boleh menjual pakaian seragam, buku maupun LKS, titik. Gitu, intinya itu,” tegas Udin di kantornya, Sabtu (6/1/2024).
Larangan itu bukan tanpa dasar, Udin menjelaskan dalam Pasal 181 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17/2010 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 66/2010 yang menerangkan bahwa penyelenggara dan tenaga pendidik baik perorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, perlengkapan pelajaran, bahan pelajaran serta pakaian seragam di tingkat satuan pendidikan.
“Berdasarkan pasal itu sudah jelas ya. Jadi guru maupun karyawan di sekolah itu sama sekali tidak boleh menjual buku-buku, alat perlengkapan sekolah maupun seragam sekolah,” tandasnya.
Bukan hanya guru maupun karyawan sekolah, komite sekolah pun, kata Udin dilarang menjual buku maupun seragam sekolah sebagaimana diatur dalam Pasal 12a, Permendikbud Nomor 75/2016 tentang komite sekolah.
Di pasal itu tertulis, komite sekolah, baik perorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di sekolah.
Tak sampai di situ, larangan itu juga berlaku bagi koperasi yang ada di lingkungan sekolah tersebut, yang menurut Udin tidak diperbolehkan menjual seragam atau buku pelajaran, LKS.
Kecuali jika koperasi itu memang dikelola secara independen atau tanpa ada keterlibatan guru, karyawan hingga para anggota komite sekolah. Itupun juga harus disertakan keterangan bahwa siswa tidak diwajibkan untuk membeli.
“Misalnya ada koperasi yang dikelola independen. Nah, bagusnya itu ada tulisan yang tidak mewajibkan beli bagi siswa. Hanya menyediakan saja. Jadi siswa beli nggak apa-apa, tidak beli juga tidak apa-apa,” lanjutnya.
Dirinya mencontohkan, seragam batik misalnya, yang cenderung tidak tersedia di tempat lain, lantaran corak serta warna sengaja dibuat sesuai ciri sekolah masing-masing. Dikatakannya, koperasi boleh menjualnya, akan tetapi tetap tidak boleh mewajibkan para siswa untuk membelinya.
Terkait LKS, jika memang ingin menggunakan buku LKS, maka harus dibuat sendiri oleh guru bidang studi bersangkutan atau melalui musyawarah guru mata pelajaran terkait. Dana dalam aturannya dana BOS dapat dimanfaatkan untuk pembuatan buku LKS guna menunjang aktivitas belajar siswa, sehingga siswa sama sekali tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun untuk mendapatkan buku LKS.
Seharusnya latihan-latihan itu dibuat sendiri oleh guru sebab dalam kurikulum baru, tidak ada lagi buku LKS. Kalau ada, itu sebuah kesalahan dan harus dihentikan. Penggunaan buku LKS tentu akan mengubah filosofi cara belajar siswa aktif menjadi pasif, sehingga sistem pembelajaran yang seharusnya mengutamakan diskusi antar guru dan teman di kelas tidak berjalan dengan baik.
Jual Beli Seragam dan Buku, LKS di Sekolah Adalah Pungli
Praktik jual beli seragam, buku pelajaran dan LKS yang dilakukan pihak sekolah disebut Udin merupakan bagian mal administrasi, sebuah pelanggaran administrasi. Sehingga bisa dipandang sebagai tindakan pungutan liar (Pungli). Sedangkan pungli bagian dari tindakan korupsi yang patut dikenai sanksi bagi pelakunya.
“Namun demikian, kami enggan menjelaskan lebih jauh lantaran hal itu menjadi domain/ranah penegak hukum. Sedangkan sanksi adminstrasi yang dimaksud, adalah dengan melakukan mutasi hingga pencopotan jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan disiplin pegawai negeri,” tegasnya.
Masih kata Udin, hal itu merupakan peristiwa pidana, sehingga aparat penegak hukum (APH) tidak harus menunggu pengaduan, tetapi dapat mencokok langsung terduga pelakunya sepanjang terpenuhinya alat bukti.
Lebih miris lagi dan belakangan viral dugaan pungli berkedok sumbangan pada SMPN 1 Subang yang mencapai hingga miliaran rupiah setiap tahunnya dan dikeluhkan para orangtua/murid dimana sebelumnya dilaporkan ke Tim Saber Pungli Provinsi Jawa Barat oleh salah seorang tua/wali murid alumni SMPN 1 Subang. Kini kasusnya tengah diusut oleh Tim Saber Pungli Provinsi Jabar dan sedang ditelusuri DPRD Subang.
Seperti dilansir triberita.com disebutkan, Kepala SMPN 1 Subang Abu Bachra sempat membantah saat dikonfirmasi terkait adanya dugaan pungli senilai Rp2,5 juta hingga Rp2,7 juta dari setiap siswa setiap tahunnya.
Abu Bachra berdalih uang itu bukan pungutan, tetapi sumbangan orang tua siswa.
“Tidak ada pungli di sekolah kami. Uang sebesar Rp2,7 juta per siswa setiap tahun itu adalah sumbangan orang tua melalui rapat komite sekolah,” kata Abu Bachra (12/12/2023).
Jika kalkuklasi Rp2,7 juta/siswa dari sebanyak 800 siswa SMPN 1 Subang bisa mencapai Rp2.160.000.000 angka yang cukup fantastis untuk pendapatan sekolah per tahunnya.
Sementara itu Ketua Komite SMPN 1 Subang H. Daeng M Thahir saat dikonfirmasi mengungkapkan, jika soal ramai-ramai pemberitaan adanya pungli di SMPN 1 Subang harus diluruskan. Menurutnya, adanya sumbangan pembangunan dari orang tua siswa itu dimulai sejak tahun 2016 yang mengacu/aturan mainnya kepada PP 75 Tahun 2016.
“Kita bikin proposal diajukanlah dalam forum orang tua, terus orang tua ini setuju. Diketoklah. Masalah pembayarannya dicicil boleh dan segala macem. Cuman kami menyarankan jangan lebih dari persemester. Nah perjalanan itu jalan terus, 2016, 2017 sampai saat ini tata caranya seperti itu. Jadi kita ini ada proposal disarankan oleh PP Nomor 75 itu kita ajukan kepada orang tua dan dari situ kita bikin laporan. Laporan itu satu semester jadi kita laporkan. Jadi satu ini, laporan BOS dan laporan komite di satu bundelkan,” ungkap H.Daeng (13/12/’23) seperti dikutip Lampusatu.com.
Selanjutnya, dijelaskan Daeng, draft itu dilaporkan ke dinas dari 2016 lalu sampai tahun ini. Namun seiring berjalannya waktu awal tahun 2023 dari orang tua, alumni SMPN 1 Subang ada yang berbeda pendapat dan melaporkan pihaknya kepada Saber Pungli Jawa Barat.
“Akhirnya datanglah, diperiksa oleh Saber Pungli. Jadi mereka (Saber Pungli) datang berdasarkan laporan dan diperiksa oleh Saber Pungli Jawa Barat. Diperiksa dari jam 08.00 pagi hingga sore,” jelasnya. (Abdulah)