Jakarta, Demokratis
Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI) menganggap Pelindungan Pelaut Migran sebagai Pekerja Migran merupakan tanggung jawab yang harus dipastikan oleh negara.
Hal tersebut disampaikan Jeanny Silvia Sari Sirait dan Matthew Michele Lenggu dari Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI) selaku kuasa hukum pemohon pihak terkait kepada awak media seusai sidang judicial review penyampaian keterangan pihak terkait, keterangan DPR RI dan pemeriksaan ahli pemohon JR UU PPMI di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (6/2/2024).
Jeany Silvia menyebut, pada persidangan pihaknya menyampaikan beberapa poin penting yakni pada dasarnya keterangan yang disampaikan oleh para pemohon bukan merupakan kerugian yang konstitusional.
“Saya rasa perkara ini dibawa ke Mahkamah Kontitusi ibarat salah kamar sementara kerugian yang disampaikan mereka para pemohon adalah kerugian materiil,” katanya.
Menurut Jeany, dalam perkara ini para pemohon tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk menjadi pemohon uji materi.
“Maka dari itu tadi kami sampaikan di persidangan sekaligus meminta kepada hakim Mahkamah Konstitusi untuk menolak permohonan dari pemohon seluruhnya,” ujarnya.
Selain itu, kata dia, tak kalah penting dalam persidangan tadi bahwa keterangan dan apa yang disampaikan dari saksi ahli pemohon tidak menjelaskan kerugian konstitusional yang dialami oleh pelaut bila dirinya dikategorikan sebagai PPMI yang mana hal tersebut menurut pihaknya sangat penting.
“Jika para pelaut tidak dianggap sebagai PPMI lalu bagaimana dengan perlindungan hak-haknya sebagaimana yang diatur dalam UU PPMI. Jadi banyak hal yang berkaitan dengan kerugian konstitusional yang dialami pelaut tidak terjawab pada persidangan hari ini,” katanya.
Senada dengan Jeany, Matthew Michele Lenggu yang juga selaku kuasa hukum pihak terkait Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia, mengatakan bahwa awak kapal niaga dan perikanan migran baru dapat dikecualikan sebagai pekerja migran apabila awak kapal tersebut tidak memenuhi unsur bekerja di luar wilayah Republik Indonesia (vide Pasal 1 angka 2 UU PPMI) dan awak kapal tersebut belum memperoleh izin tinggal dan belum melakukan aktivitas yang dibayar di negara tujuan kerja sebagaimana yang diatur pada Pasal 3 huruf f Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers And Members of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya).
“Kedua syarat sebagaimana yang diatur pada Pasal 3 huruf f UU Nomor 6/2012, sudah terpenuhi bagi awak kapal yang bekerja di kapal berbendera asing, yakni dengan adanya kewajiban untuk memperoleh Elektronik Pekerja Migran Indonesia (E-PMI) yang merupakan identitas resmi dari pekerja migran, sebagaimana yang diatur pada Pasal 33 Peraturan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia No. 7 Tahun 2022 tentang Proses Sebelum Bekerja bagi Calon Pekerja Migran Indonesia (Peraturan BP2MI Nomor 7/2022), serta adanya upah yang telah disepakati oleh awak kapal migran dengan pemberi kerja berdasarkan perjanjian kerja laut atau perjanjian kerja Bersama,” tuturnya.
Lebih lanjut sebut Matthew, keharusan adanya kualifikasi profesional bagi pelaut, in casu awak kapal migran, tidak dapat dijadikan alasan bagi awak kapal untuk dikecualikan dari kedudukannya sebagai pekerja migran, karena seluruh calon pekerja migran, apa pun jenis pekerjaannya, wajib untuk memperoleh pelatihan kerja (vide Pasal 34 huruf a, b, c, dan d UU PPMI), yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi agar calon pekerja migran yang bersangkutan memiliki kualifikasi profesional dalam menjalankan pekerjaannya di negara tujuan.
“Dalil para pemohon yang menyatakan bahwa pelaut memiliki fitur yang berbeda sehingga dikecualikan dari pekerja migran adalah dalil yang tidak berdasar sama sekali. Oleh karena itu, kami selaku pihak terkait mohon kepada MK untuk menolak permohonan uji materi para pemohon tersebut untuk seluruhnya,” jelasnya.
“Selain itu masalah dualisme perizinan yang didalilkan oleh para pemohon, tidak ada hubungannya dengan status atau kedudukan pelaut sebagai pekerja migran. Ketiadaan perizinan atau dualisme perizinan tersebut tidak seharusnya mengakibatkan status pelaut sebagai pekerja migran menjadi hilang sama sekali. Jika status awak kapal niaga dan perikanan migran tidak lagi dianggap sebagai pekerja migran, maka akan terjadi kekosongan hukum bagi awak kapal migran dalam menuntut hak-haknya. Sementara itu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran) tidak mengatur tentang hak-hak awak kapal migran sebagai pekerja migran Indonesia. Atas dasar tersebut, menurut Pihak Terkait, norma Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPMI tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan kami selaku Pihak Terkait memohon kepada MK untuk menolak permohonan Para Pemohon,” imbuh Matthew menegaskan.
Sementara Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno, mengatakan bahwa pihaknya selama ini telah memperjuangkan kesejahteraan dan keselamatan pekerja migran Indonesia, termasuk pelaut dan nelayan migran.
“Padahal, memasukkan pelaut migran ke dalam kategori pekerja migran adalah perjuangan selama bertahun-tahun, agar ada jaminan kesejahteraan dan pelindungan serta posisinya setara dengan pekerja migran di sektor lain. Jika judicial review ini dikabulkan, ini artinya kemunduran,” katanya.
Sedangkan Direktur Greenpace Leonard Simanjuntak menegaskan beberapa tahun terakhir kampanye untuk perlindungan dan kesejahteraan para pekerja migran terutama pelaut menjadi perhatian dari pihaknya.
“Bisa dibilang kita mempunyai persoalan yang serius yang saling terkait seperti pelanggaran hak azasi pelaut atau awak kapal perikanan Indonesia khususnya di laut lepas atau laut internasional. Hal ini berkaitan dengan persoalan-persoalan perikanan yang destruktif, yang aturannya sangat lemah sekali,” ungkapnya.
Sebelumnya Tim Advokasi Pelaut Migran Indonesia (TAPMI) yang membawahi sembilan perwakilan organisasi pelaut niaga, pelaut perikanan, dan organisasi masyarakat sipil seperti Serikat Awak Kapal Transportasi Indonesia (SAKTI), Serikat Awak Kapal Perikanan Bersatu Sulawesi Utara (SAKTI Sulut), Serikat Pelaut Sulawesi Utara (SPSU), Pelaut Borneo Bersatu (PBB), Serikat Pelaut Bulukumba (SPB), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Greenpeace Indonesia, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), dan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia meminta Mahkamah Konstitusi menolak pengajuan dan permohonan judicial review UU PPMI.
Pengajuan ini dilatarbelakangi oleh permohonan judicial review UU PPMI yang diajukan oleh Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I), Untung Dihako (perorangan) dan manning agency PT Mirana Nusantara Indonesia. Pokok permohonan dalam pengujian materiilnya adalah Pasal 4 ayat (1) huruf c, yang mengatur bahwa pelaut awak kapal dan pelaut perikanan termasuk pekerja migran Indonesia. Mereka meminta agar klausul tersebut dihapus. Para pemohon mengklaim, efek dari pasal tersebut mengakibatkan jaminan perlindungan serta hak bagi pelaut awak kapal dan pelaut perikanan yang telah diformulasikan pada peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayaran tidak dapat diaplikasikan. (RY)