Oleh O’ushj.dialambaqa*)
Dalam judul tulisan di atas, paling tidak, ada 7 hal pundamental dari by design dan by order dalam Pilpres (Pemilihan Presiden) 2024 yang mendalilkan (baca: mengatasnamakan) demokrasi dan konsitusi, yaitu: UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Pemilihan Umum) yang melahirkan Kejahatan Demokrasi, Mahkamah Konstitusi (MK) yang melahirkan Anak Haram Konsitusi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melahirkan Anak Haram Demokrasi, Dua Petahana Berlaga, Kecurangan Terstruktur, Sistematik dan Masif (TSM), Automatic Adjustment dan Politiuk Gentong Babi berikut turunan dan implikasinya dalam kausalitas Pilpres 2024.
Ke-7 hal utama tersebut yang menjadi pokok rusaknya demokrasi-konstitusi, dan sebagai premis atau basis untuk bisa menjawab dan atau menjelaslan, benarkah Pilpres 2024 paling jahanam sepajang sejarah peradaban umat Manusia manusia di alam (negara) demokrasi?
Dalam tulisan ini, kita tidak hendak mencari pembenaran atau melakukan pembenaran, melainkan mencari dan menelusuri jejak kebanaran atas kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran harus mempunyai value atas kebenaran itu sendiri. Kebenaran telah memilih jalannya sendiri, bagaikan minyak dengan air.
Pilpres 2024 telah digelar pada 14 Februari 2024 dengan tiga paslon (pasangan), yaitu paslon 01-Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin), paslon 02-Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (PG), dan paslon 03-Ganjar Pranowo-Mahfud MD (Gama)., dan Pilpres telah pula ditetapkan dan diumumkan oleh KPU pada Rabu, 20/3/204..
Nawaitu Busuk Kekuasaan
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu merupakan perencanaan busuk yang dipersiapkan jauh-jauh hari untuk merusak bahkan memberangus demokrasi dan menjebol tembok konstitusi. Waktu itu, para intelektual tertidur pulas, terbuai oleh penampakan lugunya Presiden Jkw, sehingga kaum intelektual banyak yang melacurkan diri dan menjadi pemuja kekuasaan-penghamba kekuasaan.
Kaum intelektual akademik pun tidak sedikit yang terjerembab, untuk tidak dikatakan sebagai menjadi pemuja kekuasaan. Beda tipis dengan para buzer Istana, yang kini kebanyakan dari mereka balik badan (siuman); mencerca, mencemooh, dan bahkan mengatakan, kami telah “tertipu Jkw”.
Para intelektual dan sebagian akademisi selama 9 tahunan lebih rupanya hanya menonton film-film lama. Dalam film tersebut penampakan orang lugu adalah potret orang baik, bijak dan sangat arif bijaksana. Jika menjadi pemimpin atau presiden akan demokratis, tidak bisu tuli, tidak menggerhanakan matanya, dan tidak haus bin tamak kekuasaan.
Penampakan karakter jahat dalam film-film lama seperti sangar, seram, menakutkan, kasar dan angkuh. Ternyata pemahaman dan pemaknaan seperti itu keliru bahkan menjadi salah besar, apalagi jika kita mencobanya melakukan pembenaran atas keluguan itu dengan teori Body Lenguagenya Allan Poe, yang memberikan penggambaran imaji kita sama dengan dalam film-film kala itu. Ternyata, tidak berlaku bagi Jkw. Meleset jauh.
Bayangkan, kaum intelektual-cendekia saja merasa tertipu dengan penampilan (seolah-olah) Presiden Jkw itu lugu. Jika para buzer bisa kita maklumi, bisa tertipu, karena mereka sesungguhnya pragmatis (orientasi materialistik; duit-duit-duit) sebagai pemuja. Sehingga, kesimpulan lebih mendahului rasionalitas, logika dan akal waras.
Teori Allan Poe berangkat dari tradisi dan kultur bangsa yang berbeda jauh. Gambaran seperti yang dikatakan Allan Poe hanya hidup dan bisa kita kenali dalam film, sinetron atau drama televisi. Jkw telah lulus sekolah kepribadian, sehingga bisa tampil dengan karakter sejuta wajah, untuk bisa terkesan polos, sederhana, lugu dan planga-plongo. Padahal, sangat cerdik dan licin melampaui belut, seperti halnya juga Gibran sang pemenang Pilpres KPU.
UU Pemilu merupakan fakta konkret yang tak terbantahkan, merupakan desain untuk kecurangan atau untuk bisa melakukan kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi yang dilegalkan dengan UU, terutama pasal 299 dan 281, yang dijadikan argumentasi pokok rezim tirani yang berkuasa untuk pelaksanaan Pilpres 2024 sebagai tonggak awal kekuasaan dinasti politik-politik dinasti Jkw sebagai presiden untuk cawe-cawe dan atau bisa membrangus netralitas, moral dan etika sebagaimana yang diamanatkan konstitusi (UUD’45).
Pasal 281 dan 299 menjadi dalil Presiden Jkw untuk cawe-cawe dan berpihak ke paslon 02, dimana anaknya menjadi Cawapres. Padahal, itu melanggar konstitusi (UUD’45), pasal 9 tentang Sumpah Jabatan Presiden dan pasal 7A UUD’45 tentang perbuatan yang perbuatan tercela.
Nawaitu untuk berbuat kecurangan-kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi itu harus dilegalisasikan melalui UU Pemilu, yang merupakan kesepakatan atau kesepahaman bersama Eksekutif (baca: Rezim Tirani) dengan Legislatif. Artinya, semua parpol yang berada di Senayan (Parlemen) terlibat seia sekata untuk bisa berbuat curang-kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi dalam Pemilu-Pilpres. Tentu, untuk pentingan parpolnya baik sekarang maupun ke depannya, agar perut kekuasaan tetap terjaga kelangsungannya.
Yang menggelikan, memalukan dan memilukan adalah ketika Presiden Jkw cawe-cawe dan berpihak pada paslon 02, dan tidak netral, para parpol mencak-mencak dan dianggap tidak etis. . Padahal, UU Pemilu tersebut disahkan oleh para parpol yang berada di parlemen.
UU Pemilu tersebut dimanfatkan untuk mendalilkan demokrasi ketika publik yang masih punya logika dan waras menggugatnya atau mempersoalkannya. Argumentasi dalil tersebut kemudian disokong oleh kaum intelektual dan sebagian kaum intelektual akademik, yang oleh Pierre Bourdieu disebutnya sebagai ‘Pengkhianatan Intelekltual’.
Ruang gerak untuk lebih leluasa berbuat kecurangan, kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi berada di tangan parpol penguasa dan atau rezim tirani. Tetapi, paling tidak, jika parpolnya dikemudian hari bisa menjadi penguasa, kadernya menjadi presiden, akan melakukan hal yang serupa dengan rezim tirani sekarang, karena payung legalitasnya sudah ada dalam bentuk UU Pemilu. UU Pemilu sudah dibuat sedemikian rupa untuk melegalisasikan kecurangan-kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi.
Pasal 299 telah membrangus netralitas, etika, moral dan demokrasi-konstitusi dalam konstruk negara. Presiden boleh cawe-cawe, boleh membrangus apa yang didefinisikan dan atau apa yang dimaksudkan dengan netralitas, moral dan etika yang seharusnya kedudukan atau valuenya jauh lebih tinggi dari sekedar UU.
UU dengan dirancang untuk kecurangan-kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi. Oleh karena itu, dikatakan menabrak atau melanggar konstitusi, inkonstitusional. Melanggar Sumpah Jabatan Presiden. Melanggar moral, etika, demokrasi dan konstitusi. Itu semua, merupakan perbuatan tercela.
Si Anak Haram Konstitusi
Jkw sebagai presiden, rezim penguasa-tirani, tidak kalah cerdik, tidak kalah licin dengan Megawati siempunya-penguasa PDIP dalam Pilpres 2024 setelah diterbitkannya UU Pemilu yang “soak” dan hanya hidup di negara soak pula.
Sang Tiran atau Sang Diktator, jika kita merujuk pada sistem kekuasaan dan politik Adolf Hitler,-yang oleh Rocky Gerung, ada persoalan pada diri Jkw; sebagai Fasism Personality. Oleh sebab itu, Jkw mengusai semua intrumen politik dan alat-alat negara untuk bisa dimainkan untuk dalam permainan kecurangan-kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi dalam memenangkan paslon 02. Aparatus (alat) negara menjadi aparatus (alat) kekuasaan Jkw. Tak terbantahkan lagi.
Agar tetap (seolah-olah) dalam rel demokrasi, Istana-Jkw juga mendesain kejahatan demokrasi (konstitusi) berikutnya melalui MK untuk bisa meloloskan Gibran dalam Pilpres 2024. MK akhirnya menjadi ‘Lame Duck’. Anwar Usman Ketua MK mempunyai peran penting untuk menentukan nasib si anak Presiden Jkw yang statusnya adalah keponakan dirinya.
Tentu, Jkw tidak harus terlibat langsung untuk bisa memuluskan Gibran melalui putusan MK tersebut. Istana dengan devil handnya me-lame-duck-kan MK, sehingga tembok MK jebol. Devil hand Istana yang paling berperan menentukan skenario putusan MK tersebut dipercayakan ke Pratikno. Kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi tak bisa terbendung, dan hasilnya konkret betul (sumber: Bocor Alus TEMPO, Dirty Vote, Hersubeno Arief-FNN-Rocky Gerung, Abraham Samad Speak Up, Refly Harun Chanel, dan berbagai pemberitaan media, medsos).
MK yang seharusnya menjadi Mahkamah Konstitusi, menjelma menjadi Mahkamah Keluarga, sehingga harus menafsir ulang norma di atas norma mengenai batas usia capres-cawapres yang dalam UU No. 7 Tahun 2017 pasal 169 huruf q dikatakan batas usia capres-cawapres paling rendah 40 tahun, yang semula menjadi harga mati tafsir norma MK, yaitu sebagai Open Legal Policy, ranah dan otoritas-kewenangan absolutnya di tangan pembuat UU.
Ternyata fakta konkretnya bisa menjadi otoritasnya MK di bawah Anwar Usman sebagai Ketuanya., dan ikut menyidangkannya juga. Padahal, keterlibatan Anwar Usman dalam hal tersebut melanggar UU MK itu sendiri.
Putusan MK No.: 90/PUU-XXI/2023, Senin, 16/10/2023 mengabulkan gugatan ‘batas usia capres-cawapres’ yang dilakukan seorang yang bernama Almas Tsaqib Birru dengan legal standing pengagum sebagai pengagun-pemuja Gibran Rakabuming Raka.
Sejak awal kita menaruh kecurigaan pada Almas, kini konkret benar terbukti, setelah putusan MK, beberapa bulan berselang, akhirnya, Almas menggugat balik Gibran secara perdata dengan perkara no. 25/Pdt.G/2024/Pn Skt di PN. Solo. Tentu, indikasi kuatnya karena tidak terpenuhi janji-wanprestasi. Bangkai yang membusuk yang disembunyikan dimuntahkannya.
Putusan MK menjadi bulan-bulanan makian publik, karena MK sebelumnya telah menolak gugatan yang sama seperti yang Almas ajukan oleh lima pemohon sebelumnya. Menghadapi gugatan pemohon Almas, MK berubah sikap,mengabulkan gugatan perkara No.: 90/PUU-XXI/2023. Empat Hakim disenting opinion, dan lima Hakim sepakat mengabulkan gugatan Almas. Meski, sesungguhnya yang dua hakim tidak mengabulkan seperti dalam putusan MK tersebut.
Putusan MK yang final dan banding tersebut memuluskan Gibran menjadi Cawapres Prabowo Subianto. Meski faktanya MKMK (Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi) dalam putusan sidang etiknya menyatakan Ketua MK Anwar Usman yang nota bene paman Gibran, adik ipar Presiden Jkw dinyatakan melakukan pelanggaran berat, dengan sanksi dicopot jabatannya sebagai Ketua MK. Putusan soak tetap diberlakukan, karena negaranya soak.
Hanya di negara “soak” putusan tersebut final dan banding, padahal prosesnya cacat dan atau penuh dengan kebusukan. Memang benar, dalam UU MK seperti itu. Tetapi logika dan akal waras mengatakannya, bagaimana mungkin negara melindungi atau melagalkan produk hukum atas nama kebenaran dan keadilan dari produk hukum yang prosesnya cacat moral, cacat etika dan cacat kebenaran itu sendiri. Hanya di negara yang ‘soak’ saja, moral dan etika harus dikubur dari hukum kebenaran itu sendiri dalam hukum (positif) formal kita.
Atas putusan MK, Gibran oleh sejarah demokrasi disebut sebagai Anak Haram Konstitusi. Meski, Jkw sebagai presiden-kepala negara telah menulikan pendengannya, telah membutakan mata dan nuraninya, sehingga tetap melenggang tanpa beban, tanpa merasa bersalah apalagi merasa berdosa, dan bahkan makin kesurupan, kalap kekuasaan. Jika publik mengingatkan, mengkritik, Jkw meresponnya dengan mendalilkan, setiap orang boleh saja bicara apa saja, namanya demokrasi.
Rupanya demokrasi yang dipahami-dimaknai oleh Jkw hanya sebatas orang boleh ngomong apa saja, silakan, itu demokrasi. Jkw rupanya tidak memliki pengetahuan yang cukup bahwa filosofi demokrasi itu adalah vox populi vox dei. Yang ngawur bin blangsak itu bukan suara Tuhan. Yang suka berbohong itu bukan suara Tuhan, karena suara Tuhan adalah suara kebenaran, suara yang mengandung kebenaran logika dan akal waras, bukan suara kebenaran kekuasaan, bukan suara kebenaran yang manipulatif.
Semua cara ditempuhnya; menghalalkan segala cara untuk sampai pada tujuannya; PG harus bisa menang dalam Pilpres satu putaran. Maka itu dinarasikan dan dimainkan oleh M. Qodari sebagai pemuja kekuasaan-penghamba kekuasaan. M Qodari mengangkangi metodologi akademik. diM. Qodari membusungkan dada dengan mengatakan, bahwa dirinya doktor (S3-Politik) disuatu acara tv yang berakhir dengan debat kusir.
Sama halnya Muhammad Rullyandi (di ILC) yang mencetak rekor MURI sebagai saksi ahli hukum tata negara, telah membutakan dirinya, karena tak bisa lagi mengenai antara pelanggaran Pemilu dengan pelanggaran konstitusi yang dilakukan Presiedn Jkw. Mana kebenaran dan mana yang pembenaran sudah bisa lagi membacanya. Aneh bin ngawur bin bencana dua belas yang mencerminkan logika yang mampat dan akal waras yang tergembok metodologi akademik sebagai kaum intelektual.
Dalam ketatanegaraan kita, sangat terpisahkan antara pelanggaran konstitusi dengan pelanggaran Pemilu. Hanya ketidakwarasan saja yang mengatakan bahwa Presiden Jkw dikatakan tidak melanggar konstitusi, dan tidak bisa di-angket-kan apalagi dimakzulkan.
Padahal menurut konstitusi Presiden Jkw seharusnya sudah bisa dimakzulkan secara konstitusional atas dasar pasal 9 dan pasal 7A UUD’45, sebelum pemakzulan secara Ekstra Parlementer atau People Power dilakukan sebagai bentuk pengadilan rakyat, karena tidak berfungsinya DPR secara konstitusional. DPR telah mati di tangan rezim tirani.
Di negeri ini, orang-orang semacam atau semodel M. Qodari, Muhammad Rullyandi ternyata tidak sedikit, dan bahkan dikiblati tidak sedikit para mahasiswa. Fakta konkretnya ada mahasiswa atas nama demokrasi menggelar demo tandingan: menolak Hak Angket, pro status quoa-KPU-Bawaslu dengan narasi orasinya: demi persatuan bangsa.
M. Qodari tengah mempertontonkan kebutaannya dalam metodologi akademik yang menggodoknya dari S1 hingga S3 dalam Kawah Candradimuka, karena dalam dirinya bersemayam dan tumbuh mentalitas pemuja kekuasaan-penghamba kekuasaan, yang oleh Pierre Bourdieu (filsuf Prancis) dalam ‘Collective Intellectual’ disebut sebagai ‘Pengkhianatan Intelektual’.
Si Anak Haram Demokrasi
Jika Gibran menjadi Wapres, banyak kalangan berspekulasi ekstrim,-memprediksi, akan menjadi presiden menggantikan Prabowo dengan berbagai dalil logika dan akal waras, karena Prabowo akan terhalang dengan kondisi kesehatannya untuk sampai akhir masa jabatannya sebagai presiden jika KPU tetap menetapkan paslon 02 sebagai pemenang dalam Pilpres 2024 melalui jalan kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi yang TSM. Prediksi ekstrim tersebut bukan berarti mendahului Tuhan, tetapi logika yang dibangun adalah membaca tanda-tanda formula Tuhan, terkecuali Tuhan berketentuan lain dikemudian hari.
Gibran dikatakan sebagai Anak Haram Demokrasi, karena KPU tanpa mengubah salah satu pasal persyaratan batas usia Capres-Cawapres terlebih dahulu pada saat penerimaan pendaftaran paslon 02. Perubahan PKPU atas pasal tersebut juga harus melalui Senayan (DPR) otoritasnya, karena itu ranah open legal policy Legislatif atas norma pasal 169 huruf q UU Pemilu.
Sikap dam tindakan KPU yang inkonstitusional tersebut tentu disokong Istana sebagai pemberi garansi aman, yang jika dilakukan gugatan pelanggaran Pemilu harus berada di tangan Bawaslu dan DKPP. Sengketa Pilres di tangan MK, yang belum tentu MK mau masuk pada kedalaman apa yang disebut TSM.
Tidak mudah menghadirkan saksi TSM di MK apalagi yang menjadi saksi adalah apartus negara seperti Polri-TNI yang beresiko tinggi terhadap karier, pangkat dan jabatannya. Karena untuk menjaga kelangsungan karier, pangkat dan jabatan harus bisa menjaga hubungan baik relasi kuasa berjenjang dengan rezim penguasa.
Di negeri ini, di bangsa ini, menjadi sangat langka, ada aparatus negara berani mau menyampaikan kebenaran untuk membela bangsa dan negaranya. Untuk itu, kemungkinannya bakal naif gugatan tersebut dikabulkan MK sebagai benteng terakhir yang seharusnya bisa menyelamatkan konstitusi, apalagi harus mengabulkan Pilpres ulang. Yang lebih naif lagi jika dengan gugatan Pilpres ulang tanpa paslon 02 (mendiskualifikasi).
MK terlanjur sudah bukan lagi menjadi MK jika Anwar Usman masih berada di dalamnya meski sudah bukan lagi menjadi ketua atau tidak lagi ambil bagian menangani gugatan paslon 01 dan 03. Untuk itu, akankah MK berkutat pada sengketa angka hasil Pikpres, atau mau masuk bahwa perolehan angka tersebut adalah hasil dri kerja TSM dalam kecurangan-kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi yang prosesnya dari sebelum, saat Pilpres hingga sampai rekapitulasi manual berjenjang.
Berbagai kalangan intelektual publik menyebutnya sebagai Pilpres paling brutal, terbobrok,. Lenih tepatnya adalah Pilpres paling jahanam, karena keterlibatan penyelenggara Negara dalam kecurangan-kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi, di bawah kendali Sang Diktator-Sang Tiran, jika kita merujuk pada kekuasaan-politik Adolf Hitler berkuasa. ***
Singaraja, 22 Maret 2024
Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com