Oleh O’ushj.dialambaqa *)
Dalam fasism personality, bagaimana mungkin demokrasi bisa hidup atau akan tumbuh sebagaimana yang dimaksud dalam vox populy vox dei sebagai ruh demokrasi itu sendiri.
Fasism personality hanya akan melahirkan neo otoritarianism sebagai mesin pembunuh demokrasi-konstitusi melalui berbagai kebijakan yang dinarasikan sebagai kepentingan bangsa dan negara. Yang sesungguhnya dibalik narasi tersebut adalah untuk kpentingan absolutisme kekuasaan semata.
Pada bagian tulisan ini pun kita bukan untuk melakukan pembenaran-pembenaran yang mendahului kebenaran itu sendiri. Tetapi, mari kita menguji dan melacak kebenaran untuk bisa menjawab dan menjelaskan pertanyaan di atas, dan apakah menjadi kebenaran yang benar atas kecurangan-kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi dalam Pilpres 2024. Bukan atas dasar kebenaran konsensus pada hukum positif kita.
Matahari Kembar
Pilpres 2024 yang mengatasnamakan demokrasi-konstitusi, sesungguhnya adalah outucratic legalism seperti yang dikatakan sosiolog (Amerika) Kim Lane Scheppele; membunuh demokrasi. Kim Lane Scheppele juga mengatakan bahwa frankenstate menjadi monster konstitusi pada akhirnya. Karena peraturan perundang-undangannya telah dibuat sedemikian rupa, penyamaran demokrasi.
Jkw sebagai presiden punya waktu mepet (sampai dengan Oktober 2024) berkuasa. Kekuasaannya tidak ingin jatuh ke tangan lain selain harus ke Gibran sebagai ahli waris tunggal kekuasaan dalam dinasti politik-politik dinasti kekuasaan. Keberlangsungan kekuasaan Gibran sebagai tetesan langsung darah-DNA-nya.
Sang Diktator-Sang Tiran, tidak akan percaya begitu saja sepenuhnya kepada Prabowo jika dilantik menjadi presiden, sehingga Gibran merupakan Matahari Kembar dalam kepresidenan Prabowo, jika tetap dilantik sebagai presiden.
Ini fenomena baru dalam politik kekuasaan kekinian kita, yang sepanjang sejarah peradaban umat manusia di alam (negara) demokrasi tak akan pernah kita temui, ataukah akan menjadi jejak sejarah yang akan diikuti di kemudian hari.
Jkw maunya seperti Kim Jong-II yang komunis di Korea Utara, langsung ke Kim Jong-Un (putra mahkota), tetapi Jkw terhalang oleh demokrasi, maka Jkw sebagai presiden harus menempuh jalan senyap ke Legislatif, MK, KPU, dan rakyat yang telah dirusak mentalitasnya dengan ‘bansos’.
Jkw sebagai presiden, jika merujuk pada argumentasi akademik penelitian DR. Clark dari Melbourne of University, dikatakannya sebagai psikopat, yang berjubah demokrasi. Riset Clark menyimpulkan ciri utama Sang Psikopat yaitu: (1) Suka berbohong. Berbohong sudah menjadi kebiasaan. (2) Merasa superior, semua harus di bawah kendalinya, karena selain dirinya, dianggap inferior atau subordinat dari kuasanya. Menjadi narsis, selalu ingin dielu-elukan, dipuja oleh rakyatnya, seperti halnya Sang Diktator Adolf Hitler, dan (3) Tidak pernah merasa bersalah, tanpa beban, tidak merasa berdosa dalam tindakan apapun. Kesalahan selalu ditimpakan, mengkambing-hitamkan orang lain atau bawahannya.
Kerusakan mental bangsa telah berlangsung berpuluhan tahun, dimana politisi, parpol, aparat penegak hukum, pejabat negara dan birokrasi pemerintahan telah memberikan kontribusi terbesar pada rusakmnya mentalitas rakyat sebagai bangsa, untuk tidak menyebut negara yang nerusaknya. Para pemuka agama dan pemuka masyarakat sektarian (yang mengklaim sebagai tokoh) juga berkontribusi terhadap rusaknya mentalitas masyarakat.
Tidak mengesampaingkan mentalitas kormorfidnya, terutama di tingkat masyarakat akar rumput cukup dengan bansos. Kini yang meng-ada cukup kuat juga pada level menengah ke atas. Jkw sebagai presiden sangat cerdik melakukan pembacaan, sehingga mentalitas masyarakat yang rusak terus dipoeliharanya untuk kelanggengan kekuasaannya yang harus berada di tangan anaknya, yang dalam impiannya harus turun berantai secara estafet kepada DNA-nya.
Dua Petahana Berlaga
UU Pemilu yang mengangkangi-mencengkram konstitusi tersebut, sesungguhnya dimainkan juga oleh partai penguasa dengan paslon 03-Gama. Jkw bisa disebut sebagai Sang Diktator-Tiran; yang melahirkan otoritarianisme baru yang melampaui rezim Orla-Soekarno dan rezim Orba-Soeharto.
Dua paslon merupakan petahana (Incumbent); paslon 02 dan 03, karena Prabowo masih berstatus sebagai Menhan pada kabinet rezim tirani-Jkw, dan Gibran merupakan repersentasi dari rezim penguasa; Gibran menjadi Walikota Solo dari PDIP dan Jkw sebagai presiden yang juga dari PDIP.
Sama halnya dengan paslon 03-Gama. Ganjar menjadi Gubernur Jawa Tengah dari PDIP, dan menjadi Capres dengan Mahfud MD juda dari PDIP. Mahfud MD adalah Menkopolhukam kabinet rezim tirani-Jkw. Gama merupakan representasi dari parpol rezim penguasa, yaitu PDIP, dan Jkw juga merupakan representasi dari PDIP sebagai presiden, meski kini menjadi Si Malin Kundang PDIP. Bertolak pantat dengan Megawati siempunya PDIP.
PDIP dengan Gamanya, dan Jkw dengan PG-nya, tak bisa dibantah, tak bisa terbantahkan lagi adalah representasi dari rezim parpol penguasa-PDIP. Kendatipun, kebanyakan dari kita ada yang mengatakan bahwa PDIP dan Jkw telah bertolak pantat. Begitu, kesan permuakaannya yang tertangkap di ruang publik.
Dalam kekuasaan dan politik tak ada lawan atau kawan, taka da yang namanya harga mati pengkhianatan. Yang ada kepntingan perut kekuasaan-politiknya. Yang bicara adalah kepentingan, untuk kepentingan bersama terpenuhinya perut politik dan kekuasaannya.
Di balik teks tersebut siapa yang tahu, karena PDIP tidak menarik kadernya dari kabinet rezim tirani, dan setengah hati nawaitunya untuk Hak Angket sebagai parpol terbesar di parlemen, apalagi mau hendak memakzulkan Presiden Jkw secara konstitusional atau secara ekstra parlementer. Bagaimana mungkin Mega-PDIP mau memakzulkan Jkw? Api jauh dari panggang.
Pemakzulan atas Jkw tersebut dijamin oleh konstitusi. Karena itu bisa dibuktikan atas pelanggaran konstitusi yang terus menerus dilakukan Jkw sebagai presiden, menafikkan moral dan etika, dan sebagai perusak demnokrasi-konstitusi. Fakta-fakta konkret tersebut begitu gamblang, tak perlu sekolah intelejen atauapun mengerahkan intelejen untuk membaca dan membuktikannya. Konkret dan kasat mata betul hsl tersebut.
Suka tidak suka, mau tidak mau, disadari atau tidak, secara semiotika dan hermetic dalam pembacaan politik dan kekuasaan harus dikatakan bahwa PG-Jkw dan Gama merupakan “Matahari Kembar” dari PDIP yang berlaga untuk melawan kekuatan alternatif politik; paslon Amin.
Dalam papan catur politik, PG-Jkw maupun Gama masih tetap dalam DNA idiologi politik PDIP. IKN sebagai ‘Jalur Sutra’, dimana rezim Orla-Soekarno tak kesampaian mewujudkan impian besarnya ‘Indonesia Poros Peking’. Keburu meletus G30S-PKI yang membuat kekuasaan Soekarno tumbang oleh pangadilan rakyat, tuntutan sejarah dan zaman. Yang dikatakan Jalur Sutra adalah sama dan sebangun dengan Indonesia Poros Peking.
Dalam papan catur politik-kekuasaan Jalaur Sutra-Indonesia Poros Peking, akan senantiasa memproduksi kembaran-kembaran untuk bisa merebut dan atau menguasai parlemen. Mengendalikan untuk tidak munculnya matahari kembar di parlemen maupun di istananya. Oleh karenanya, membiarkan bidak-bidak brmain, permainan bidak dalam papan catur yang dimainkan, bukan Sang Raja yang terlibat bermain.
Kecurangan TSM
Kecurangan-kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi dalam Pilpres 2024 harus dilihat dan dibaca mulai dari sebelum pelaksanaan Pilpres, saat pencoblosan hingga setelahnya Pilpres. Adakah keterlibatan kekuasaan, perencanaan-terencana, dan tersebar keberbagai daerah hingga ke level desa dan masyarakat sipil, termasuk jika merepresi (mengintimidasi) para Guru Besar-Sivitas Akademika dan gerakan kampus sekalipun dilakukan oleh orang-orang di luar struktur formal, karena relasinya dengan agenda Pilpres. Itulah dalam mendefinisikan TSM.
Setelah Pilpres, apakah masih ada mobilisasi massa untuk demo tandingan, dengan tujuan menghalang-halangi massa pendemo yang menyuarakan pikiran, pendapat dan lainnya yang terkait dengan Pilpres, demokrasi atau konstitusi baik di gedung DPR RI maupun KPU atau Bawaslu, MK atau di depan Istana, di hari yang sama, di jam yang sama, dan di tempat yang sama pula.
Itu semu adalah kandungan yang ada yang dimaksudkan TSM. Fakta konkretnya, ada pernyataan ormas-preman pasang badan, dengan terang-terangan menantang rakyat-publik jika ada yang menggangu, mengusik kemenangan paslon 02. Tersebar keberbagai daerah. Lantas itu dilakukan pembiaran oleh aparatus negara. Memaknai mengusik atau mengganggu berdasarkan kepentingan politiknya.
Kejahatan TSM akan menghasilkan angka-amgka yang boleh melongo atau planga plongo melihat hasil Pilprres yang ditetapkan KPU. Jadi tidak bisa hanya dibaca bahwa angka-angka (suara) yang dihasilkan dari kertas suara tersebut adalah ‘itulah suara rakyat dalam Pilpres 2024 dalam satu putaran. Konon, kita semua harus legowo. Naif benar apaloginya seperti itu dalam membaca suara Tuhan (vox populy vox dei).
Kecurangan-kejahatan kognitif TSM adalah kejahatan yang hirakis sifatnya, apakah itu ada keterlibatan langsung atau tidak langsung dilakukan aparatus negara, (ke)lembaga(an), birokrasi pemerintah ataupun di luar struktur formal tersebut, seperti ormas atau individu-individu yang melakukannya, seolah-olah tidak ada relasi kuasa langsung maupun tidak langsung.
Dalam kejahatan kognitif Pilpres, Rocky Gerung berulangkali menengaskan itu semua bermula dari TPS 90 yang dicoblos langsung oleh Jkw. TPS 90 nasional tersebut ada di MK. Yang turunannya begitu banyak model dan banyak caranya.
Berlanjut ke KPU yang menerima pendaftaran paslon 02. Tidak berhenti di situ, berlanjut ke KPUD-KPUD, dan puncak gunung es-nya Sirekap KPU yang permainan kejahatannya dibongkar banyak pihak para ahli teknologi-IT, yang disebut dengan ‘Anomali Sirekap’ atau anomali data TPS-KPPS dan seterusnya.
Lanjutannya, mendadak adanya outomatic adjustment APBN untuk menggulirkan ‘bansos’, yang seolah-olah ada kegentingan nasional yang memaksa, harus mengobrak ambrik APBN tanpa melalui APBN-P.
Tidak berhenti di APBN saja. Lanjut ke aparatus (alat) negara menjadi aparatus (alat) kekuasaan Jkw untuk mencapai tujuannya; paslon 02 harus menang satu putaran.
Aparatus negara dipakai untuk melakukan antara lain, mengintimidasi, merepresi, memproduksi terror, bayang-bayang, meretas, mentakedown dan sebagainya di dunia maya terhadap dunia intelektual akademik-kampus seperti menimpa beberapa Ketua BEM, Rektor-Unika Soegijapranoto Semarang Fernandus Hindiarto, Guru Besar UGM Koentjoro, Guru Besar UI Harkrituti Harkrisnowo, Connie Rahakundini Bakrie dan masih banyak yang lainnya.
Fakta konkret tersebut lantas dibantahnya semua. Bahkan aparatus negara mengatakan, Polri sedang colling sistem untuk menciptakan kondusivitas Pemilu. Tidak memaksa untuk membuat video testimony yang kontennya menggambarkan keberhasilan Presiden Jkw.
Merepresi-mengekang atau mengendalikan kebebasan akademik dari para Guru Besar, Sivitas Akadema dan gerakan kampus hingga civil society merupakan TSM, meski dilakukan dengan cara operasi senyap. Hal seperti itu merupakan bagian dari yang disebut dengan TSM.
Aparatus negara dipakai juga untuk menteror (merepresi)-menakut-nakuti aparat di bawahnya dan atau pejabat daerah hingga ke tingkat desa. Karena semua pejabat negara hingga ke tingkat desa, nyaris tidak ada yang bersih dari persoalan KKN, maka hal tesesbut dijadikan senjata untuk mengintimasi, merepresi dengan modus adanya “laporan masyarakat” ke ‘Dumas Polri’.
Betapa dungunya bangsa kita jika TSM tersebut harus adanya bukti secara hitam putih; ada surat perintah langsung dari Jkw sebagai penguasa negeri ini. Jika tidak ada surat perintah tertulisnya, dikatakan, tidak bisa disebut TSM. Betapa rusak dan bobrok bangsa kita jika seperti itu argumentasinnya. Aparatus negara (APH) tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi saja itu sudah masuk TSM, apalagi dalam momentum Pilpres. APH akhirnya menjadi vampire atas kebenaran dan keadilan.
Fakta yang mau kita sebutkan di sini bukanlah untuk melakukan pembenaran atas kebenaran yang disebut benar, tapi mari kita menelusuri, mencari kebenaran dan jejaknya apakah kebenaran itu adalah benar adanya terhadap kejahatan kognitif Pilpres 2024.
Rezim Orba-Soeharto, peristiwa penculikan, pelenyapan aktivis waktu itu disebut-sebut “Prabowo” sebagai pelaksanan TSM-nya. Apakah Prabowo dkk yang masih tercatat dalam sejarah sebagai pelanggar berat HAM melakukan itu atas dasar perintah dengan surat perintah tertulis dari Presiden Soeharto (Cendana) atau dari atasannya? Tentu tidak.
Betapa tolol bin dungunya jika Soeharto harus menerbitkan surat perintah penculikan atau pelenyapan para aktivis yang dianggap duri dalam kekuasaannya kepada Prabowo Subianto, karena itu tindakan kejahatan kemanusiaan yang sangat berat. Ya pasti alibi-alibi yang dimainkan, supaya tetap dalam sejarah kegelapan kejahatan kekuasaan.
Apakah Soeharto saat itu juga menerbitkan surat perintah penangkapan dan penjeblosan ke penjara kepada kuam intelektual yang mengkritik kekuasaannya? Tentu tidak. Peralatan yang dipakai untuk memenjarakan yang bersebarangan tersebut adalah APH dengan UU Suversif atau pasal makar, yang dimaknai atas dasar menjaga kepentingan kekuasaan sang tuannya.
Sama halnya dengan rezim tirani sekarang ini, yang bekerja sebagai mesin politiknya adalah aparatus negara, dan individu-individu atau sekelompok orang (komunitas) yang membuat laporan ke Dumas Polri, dibawa remote controlnya. Beda modelnya saja. Substansinya sama, relasi kuasa.
Betapa stunting dan tololnya jika kita sebagai bangsa mendefiniskan, menafirkan dan memaknai kecurangan-kejahatan kognitif yang TSM tersebut seperti itu, harus ada bukti otentik hitam-putih; berupa surat perintah lansung dan atau rekaman video sebagai alat bukti formilnya. Apologi seperti itu, bukan lagi tolol, melainkan menjadi dungu betulan itu, kedunguannya sungguh luar, karena bisa tidak bisa membaca kebenaran material.
Ada banyak fakta konkret, antara lain, “(1) Mengerahkan TNI-Polri dan jajaran kementrian dalam ‘bansos 495 T’ untuk kepentingan electoral (maksudnya: pemenangan paslon 02-PG).
(2) Kepala Daerah kami (maksudnya yang dari kader PDIP) diintimidasi. Pak Koster dicopot ketika terus bergerak untuk pemenangan paslon 03 (Gama). Dicari-cari kelemahannya. Pak Koster diundang Polda, 2 minggu sebelum Pilpres.
(3) Walikota Semarang, Bupati-Bupati kami dan anggota-anggota DPR RI yang turun diawasi. Di Nganjuk setiap anggota Dewan incumbent yang turun yang memiliki basis massa kuat diawasi oleh 3 TNI, 3 Polri dan 1 Bawaslu.
(4) Kepala Desa di Makasar, oknum-oknum dari TNI-Polri melakukan intimidasi dengan mengatakan: ‘Masih mau tidur dengan istrinya tidak? Kalau masih mau tidur dengan istrinya jangan bantu paslon 03 atau 01, harus bantu paslon 02.
(5) Di Sukoharjo, Kepala Desa dikasih dana 200 juta oleh jejaring dari negara, dan targetnya bergerak untuk memenangkan paslon 02, dan
(6) Menerapkan pola-pola pengaduan ke Dumas dalam mencari-cari kesalahan atau kelemahan”. (Liputan 6 SCTV: Hasto PDIP Blak-blakan Soal Kasus Harun Masiku dan Praktik Curang di Pemilu. Note: Hasto Kristiyanto adalah Sekjen PDIP).
TPN paslon 03-Gama menjamin bisa menghadirkan Kapolda sebagai saksi adanya kecurangan yang TSM di sidang gugatan MK untuk menjelaskan adanya keterlibatan TNI-Polri secara TSM, aparatus (alat) negara dipakai menjadi aparatus (alat) kekuasaan Jkw untuk pemenangan paslon 02.
Fakta konkret yang dibeberkan Sekjen PDIP tersebut adalah persoalan TSM yang tak bisa terbantahkan lagi. Meski Sekjen PDIP tidak menyadarinya, bahwa dengan begitu, PDIP dengan paslon 03-Gama tengah membongkar borok kebusukannya sendirinya. Karena fakta konkretnya, sesungguhnya melakukan hal yang sama; bermain curang-kejahatan kognitif demokrasi (konstitusi) dalam Pilpres.
Fakta konkretnya, tersangka kasus korupsi Pj. Bupati Sorong menandatangani Pakta integritas dengan aparatus negara (BIN) untuk memenagkan paslon Gama (TEMPO.Co, 14 Nop 2023.14.23 WIB: Tersangka Korupsi Bupati Sorong Diduga Buat Pakta Integritas dengan BIN untuk Memenangkan Ganjar Pranowo). Jadi apa bedanya dalam permainan curang mencurangi dengan Jkw sebagai kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi. Ini yang disebut begal teriak begal karena bocor di publik. Padahal, sama-sama membegal dan sama-sama menjadi begal demokrasi-konstitusi. Emosionalitas yang membara mendahului kesadaran berpikirnya.
Bedanya, Jkw lebih kuasa mengendalikan semua instrument dan aparatus negara. PDIP sebagai partai berkuasa yang juga bagian dari rezim tirani hanya mampu mengendalikan di simpul-simpul kecil sumbu kekuasaannya. Permainan curang-kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi tersebut terkendala, tergenjal oleh kekuasaan Jkw sebagai rezim penguasa. Jkw, semua alat negara dan pejabat negara dibawah kendali kekuasaannya sebagai presiden.
Tetapi ada juga yang nekad. Ada Kepala Daerah yang terang-terangan lebih memilih menjadi petugas partai-loyalis Megawati-PDIP. Fakta konkretnya, Bupati Indramayu Nina Agustina memilih menjadi petugas partai-loyalis Megawati-PDIP. Terang-terangan melakukan upaya pemenangan untuk paslon 03 (Gama), karena Bupati Indramayu dari PDIP.
Keberanian dan kegagah-perkasaan Bupati Indramayu, tentu, tidak berdiri sendiri, karena punya link politik, back-up kuat di pusatnya. Jadi meski melawan kemauan Jkw, tetap aman-aman saja. Begitulah sistem kekuasaan-politik di negeri ini. Relasi kuasa sangat menentukan, sebagai ciri utama negara soak.
Melalui berbagai cara ditempuhnya, seperti melakukan sosialisasi Pilpres, di ruang terbuka untuk umum-memasang tenda, mengarahkan pilihannya ke paslon 03 sambil memperagakan kertas surat suara Pilpres 2024 yang harus dicoblos.
Bupati Indramayu membrangus netralitas, menjadi pemberitaan media seperti KOMPAS TV. Dilain waktu, Bupati Indramayu juga mendampingi kampanye paslon 03-Ganjar Pranowo mengunjungi lokasi nelayan di Karangsong Indramayu, dan menjadi pemberitaan media seperti INews TV.
Jadi apa yang dilakukan rezim tirani-Jkw tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan parpol penguasa-PDIP, menabrak netralitas, etika dan moral demokrasi-konstitusi. Hal-hal seperti itu, didefinisikan sebagai kecurangan-kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi yang TSM, karena hirarkis sifatnya dalam agenda Pilpres.
Apa yang dilakukan oleh Bupati Indramayu, mungkin hal yang sama juga dilakukan oleh Kepala Daerah lainnya untuk tidak netral atau berpihak ke paslon 03 jika Kepala Daerahnya adalah dari PDIP. Sekalipun yang mereka lakukan merayap dalam senyap, karena takut dengan kekuasaan rezim tirani-Jkw. Tidak seperti Bupati Indramayu yang gagah berani untuk melawan arus TSM Jkw untuk paslon 02, dengan melakukan TSM tandingan. Jadi tidak hanya ada demo tandingan saja.
Kementrian Agama juga terlibat TSM. Melalui jaringan birokrasi secara hirakis ke bawah hingga penyuluh lapangan. Penyuluh lapangan diminta melakukan operasi senyap untuk memenangkan paslon 02. Penyuluh diminta memberikan laporan tertulis kemampuan memberikan jaminan pemilih yang mau coblos ke paslon 02., minimal sekian orang, +/- 10 warga pemilih ke 02.
Apakah Cawapres paslon 01-Cak Imin tidak akan melakukan hal yang sama jika dirinya menjadi petahana dalam Pilpres? Jika kita melakukan bacaan politik zigzagnya Cak Imin, Itu pasti. Bisa dipastikan akan melakukan hal yang serupa seperti yang dilakukan 2 paslon petahana; Jkw dan PDIP. Akan mendalilkan hal yang sama pula seperti Jkw, mendalilkan legalitas UU Pemilu. Meski lergalitas UU tersebut soak untuk bangsa dan negara yang punya etika dan moral.
Di negeri ini, prilaku kekuasaan-rezim penguasa dari rezim ke rezim tak jauh berbeda. Menabrak netralitas sebagai pejabat negara atau pejabat publik. Menabrak moral, etika, demokrasi dan konstitusi. Tidak tahu diri, tidak tahu malu dan tidak punya kemaluan, segala cara ditempuh untuk mencapai tujuannya. Pilpres 2024 benar-benar jahanam, karena melampaui kebobrokan dan kebrutalan. Logika dan akal waras, jujur dan adil (jurdil) tidak punya tempat dan ruang di negeri ini, karena memang sudah soak. Pilpres 2004, tidak bermoral, tidak beretika dan tidak beradab sebagai bangsa dan negara yang bermoral, beretika dan beradab dalam peradaban. ***
Singaraja, 22 Maret 2024
Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com