Sebelum membacakan sajak, Prabowo Subianto mengatakan, sajak saya adalah berjudul: ASAL: SANTUN. Jadi sajak ASAL SANTUN adalah sajak yang ditulisnya sendiri dan dibacakannya di hadapan hadirin. Lengkapnya seperti berikut di bawah ini. Sajaknya terlihat hanya satu bait saja.
ASAL SANTUN
Karya PRABOWO SUBIANTO
BOLEH BOHONG
ASAL SANTUN
BOLEH NIPU
ASAL SANTUN
BOLEH CURI
ASAL SANTUN
BOLEH KORUPSI
ASAL SANTUN
BOLEH KHIANAT
ASAL SANTUN
BOLEH INGKAR JANJI
ASAL SANTUN
BOLEH JUAL NEGERI
ASAL SANTUN
SAUDARA-SAUDARA SEKALIAN/
BOLEH MENYERAHKAN
KEDAULATAN BANGSA
KEPADA ORANG ASING
ASAL SANTUN
Sajak di atas ditulis dengan hurup kapital semua. Sengaja kita salin sesuai dengan teks yang tersedia dalam video. Susunan kata ataupun kalimat yang terangkai sesuai dengan teks yang tersedia dalam video pembacaan, dan sesuai dengan intonasi dan jeda si penyairnya saat membaca sajaknya.
Apakah sajak tersebut itu sudah lengkap atau hanya sepenggal saja? Kelihatannya memang lengkap, tidak sepenggal, karena setelah itu ada aplus dari hadirin yang hadir dalam acara penyair Prabowo Subianto baca sajak. Kita sebut saja, Prabowo Subianto sebagai penyair pemula. Semoga tidak menjadi ‘Penyair Salon’.
Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bahcri menstabilo: Menyair adalah suatu pekerjaan yang serius, “yang tertusuk padamu yang berdarah padaku” (sajak: Satu). Saya menyair dan karena itu saya menemukan bahasa saya. Meskipun saya yakin dan sadar, “walau huruf habislah sudah/alifbataku belum sebatas allah” (sajak: Walau). Ini maklumat keras buat sang penyair ASAL SANTUN.
Jika kita melihat penyairnya baca sajak yang ditulisnya sendiri itu, amat sangat menjiwai. Ekspresinya sangat bagus. Saking menjiwaninya, tangannya menghentak-hentak, turut serta menegaskan apa yang dimaksud dalam kandungan, isi sajaknya. Bahkan suaranyanya bergetar sangat ekspresif. Sebagai tontonan cukup lumayan bagus, bahkan boleh dikatakan bagus betul alias pas dengan ruh sajaknya.
Hadirin yang menyimak pembacaan sajak oleh Prabowo Subianto larut dan hanyut. Hal itu ditandai dengan aplus-tepuk tangan yang riuh. Menarik sekali. lantas kita bertanya, kok sajak soak bisa meriuhkan hadirin yang mendengarkannya ya?
Pertama, mungkin lucu. Mungkin juga menggelikan. Kedua, jangan-jangan hadirin yang datang dan yang mendengarkan dalam pembacaan sajak tersebut adalah kumpulan massa yang soak juga, sama dengan penyairnya yang soak saat menulis sajak. Sajaknya tengah melegitimasi politisi yang jahat, yang tidak memiliki sence of crisis dan tidak bernurani, kemanusiaan yang lenyap.
Dalam memperbincangkan sajak di atas, kita tidak tahu apa benar itu ditulis Prabowo Subianto dan dibacakannya sendiri? Apa Prabowo Subianto yang menulis sajak dan yang membacakannya sendiri adalah Prabowo Subianto yang menjadi capres paslon 02? Atau Prabowo Subianto yang lainnya? Tidak penting, mau Prabowo Subianto yang manapun juga, atau dua-duanya juga boleh. Daripada pening dan habis ditelan waktu.
Kita tidak tahu, tetapi dari pembacaan sajaknya yang divideokan itu, terlihat seperti Prabowo Subianto yang nyapres di Pilpres 2024 dengan si anak haram kontistusi, si anak haram demokrasi-Gibran sang anak Presiden Jkw. Sosoknya persis sama. Suaranya sama dan penampilannya sama sang penyair soak Prabowo Subianto dengan sang Prabowo Subianto yang capres paslon 02.
Akan tetapi, dalam memperbincangkan persoalan sajak tersebut, kita tidak berelasi dengan yang namanya Prabowo yang capres paslon 02. Kita hanya akan memperbincangkan Prabowo sebagai penyair pemula yang menulis sajak: ASAL SANTUN, sehingga tidak punya korelasi dan relasi apalagi kepentingan perut atau politis dengan yang namanya Prabowo Subianto.
Hal ini sangat amat penting kita jelaskan terlebih dahulu, supaya tidak dipolitisasi atau tidak menjadi sentiment kotor politik, yang dikait-kaitan lantaran Prabowo Subianto sebagai capres atau presiden nanti, yang Pilpresnya telah usai pada 14/2/2024, dan telah diumumkan dan ditetapkan KPU (Komisi Pemilihan Umum), Rabu, 20/3/2024.
Perbincangan kita adalah sajak sebagai karya sastra, tentu, kepentingannya adalah dalam konteks mutu karya sastra, dan sastra itu sendiri. Sebagai penikmat sastra pun, kita berangkat dari pertanyaan, apakah sajak itu bermutu atau tidak? Apakah sajak tersebut adalah sajak yang serius atau hanya sekedar sajak-sajakan? Atau memang ada genre baru yang lahir dalam perkembangan sastra kita? Itu menjadi penting kita sebagai penyair maupun kita sebagai publik sastra.
Sajak ASAL SANTUN ditulis penyair pemula Prabowo Subianto sangat menarik untuk kita perbincangkan sebagai karya sastra. Prabowo sebagai penyair, selama ini dalam dunia sastra atau kepenyairan di republik negeri ini tidak dikenal namanya. Itu yang menjadi cacatan pertama.
Prabowo Subianto sebagai penyair, kita sebut sebagai penyair pemula yang baru pertama melahirkan karya, sehingga belum pernah tercatat sebagai penyair yang sajaknya (pernah) dimuat di media massa seperti koran, majalah, bulletin atau lembaran sastra. Atau sajaknya dibicarakan oleh kalangan kritikus sastra, penyair maupun pembaca sastra itu sendiri. Itu yang menjadi catatan kedua.
Kepenyairannya tidak tercatat dalam sejarah kepenyairan. Jika kita tidak percaya, bisa dilacak membongkar semua media massa; koran, majalah, buletin hingga lembaran-lembaran sastra yang hidup dalam komunitas sastra di negeri ini. Sejak Prabowo Subianto sudah bisa baca tulis hingga kini.
Di Maret 2024 ini, kita baru mendengar kehadiran penyair baru, yaitu penyair (pemula) Prabowo Subianto, tidak melalui media massa yang memuat sajaknya tersebut, melainkan melalui video yang beredar, Prabowo Subianto membacakan sajaknya sendiri.
Kita yang punya empirik kepenyairan atau yang menjalani dunia kepenyairan-dunia sastra, dan atau yang masih sebagai penyair, tentu, sangat bangga jika di negeri ini masih lahir penyair-penyair baru. Karya-karya sastra yang masih terus ditulis, meski ruang sastra saat ini terutama koran dan majalah nyaris semua lenyap, tidak lagi membuka ruang untuk lahirnya karya sastra.
Barangkali tinggal satu dua koran saja yang masih ada seperti KOMPAS, Pikiran Rakyat, selebihnya lembaran sastra telah menemui ajalnya. Majalah Sastra Horison sudah lama tidak terbit lagi yang pernah dianggap sebagai barometer mutu sastra di negeri ini.
Ruang sastra di media massa kini hanya sebagai pelengkap penderita saja, karena mungkin tidak menguntungkan dalam orientasi bisnis yang kapitalistik tulen. Karena pembacanya juga terbatas atau sedikit, sehingga yang membeli koran, majalah dari pembaca sastra pun tidak menguntungkan bisnis medianya.
Kita sebagai penyair yang jika masih ada pembabakan angkatan seperti yang dilakukan alm HB. Jasin, barangkali masuk pada angkatan 80an-90-an, dimana koran, majalah, buletin sastra dan lembaran-lembaran sastra masih sangat amat ketat untuk bisa ditembus-dimuat, karena ruang sastra dijaga ketat sang penyair-sastrawan yang sudah ‘menjadi’ (established) sebagai redaktur sastranya.
Sajak ASAL SANTUN dari penyair Prabowo, jika hidup pada era ‘80-an-’99-nan, dikirim, misalnya, ke Majalah Sastra Horison ada Mochtar Lubis, HB. Jasin, Taufiq Ismail, Hamsad Rangkuti, Sutardji Calzoum Bachri, Agus R. Sarjono dan Jamal D. Rahman. Berita Buana ada Abdul Hadi WM. KR Jogja ada Linus Suryadi AG, apakah sajak ASAL SANTUN bisa dimuat? Tentu akan terlempar dari ruang sastra.
Suara Merdeka Semarang ada Darmanto Jatman. Bali Pos ada Umbu Landu Paranggi. Suara Karya ada Piek Ardijanto Suprijadi. Pandji Masyarakat ada Hamka. Republika ada Ahmadun Yosi Herfanda. Sinar Harapan-Suara Pembaruan ada Poppy Donggo. Media Indonesia ada Djadjat Sudradjat. KOMPAS ada Sutardji Calzoum Bachri, dan media lainnya, seperti Bernas Jogja, Jawa Pos, Surabaya Pos, apakah sajak tersebut bisa tembus nangkring di ruang sastra media massa tersebut? Tentu, hanya akan masuk sebagai catatan pinggir redakturnya saja, untuk melihat keseriusan karya berikutnya, karena sajak tersebut sama sekali tidak layak muat, buruk.
Begitu juga dengan media lainnya yang belum kita sebutkan, yang dijaga ketat para sastrawan yang sudah ‘menjadi’ (established), sehingga benar-benar terjaga mutu, kualitas kepenyairan yang karyanya bisa lolos saringan redaktur sastra, apakah sajak ASAL SANTUN bisa atau layak dimuat? Tentu akan menjadi naif alias tidak bakal dimuat. Tapi, untuk sekarang era digital, ada medsos dan seterusnya, sehingga siapapun bisa menjadi penyair, penulis dan apa saja.
Sajak ASAL SANTUN, kita harus yakin untuk bisa memastikan, lagi-lagi, atas dasar empirime kita sebagai penyair pemula atau yang sudah ‘menjadi’; bahwa sajak tersebut tidak akan bisa dimuat di media manapun. Mengapa? Karena sajak tersebut sangat jelek-buruk, tidak bermutu untuk bisa dikatakan sebagai karya sastra yang memenuhi kriteria dan atau parameter sastra (literer) bahkan jika kriterianya sangat amat dilonggarkan sekalipun.
Sajak ASAL SANTUN tidak bisa juga dikatakan sebagai sajak atau puisi mebling, sehingga jika dikirim ke Majalah Aktuil-‘73-an yang dijaga penyair mbeling Remy Silado, bisa dipastikan tidak akan dimuat. Karena, puisi mebeling adalah puisi guyonan yang nakal dan cerdas, nyleneh tapi cerdas. Kredo Remy Silado dengan meblingnya, (berarti) harus cerdas.
Sajak ASAL SNTUN, di dalamnya hanya berisi kumpulan vampir-vampir yang bergentayangan, sehingga hanya merupakan sajak Soak. Sajak yang soak, tentu, ditulis oleh penyair yang soak pula. Jika penyairnya waras, dalam keadaan ekstase pun tidak akan melahirkan sajak (yang) soak seperti penyair Jalaluddin Rumi yang menyebut pertemuannya dengan Tuhan ketika dalam kondisi ekstase dalam puisi-puisinya, yang disebut dengan puisi sufistik. Jika penulisnya tidak soak, tidaklah mungkin sajaknya akan soak, menjadi soak.
Sajak ASAL SANTUN Prabowo Subianto, benar-benar soak, karena memanipulasi, megkesploitir, mempolitisisi kata ‘boleh’ untuk melegitimasi kejahatan, yang dikunci dengan kata ‘santun’ pada setiap baris dalam sajaknya.
Kata ‘boleh’ dan kata ‘santun’ tercerabur dari akar keluhuran makna kata tersebut. Dua kata tersebut diperbudak untuk sekedar terkesan eupimisme. Posisnya bukan sebagai metafor-metafor atau idiomatik dalam sajak, untuk menjinakan, menaklukan keliaran kata-dan imaji-imaji liar yang harus ditaklukannya oleh sang poenyair.
Kesoakan sajak ASAL SANTUN tersebut menggunakan kata yang netral pada awalnya, yaitu kata “boleh”. Kata “boleh” memposisikan dirinya netral, tidak berpihak, mau diletakan di mana saja sebagai sebuah kata. Karena dalam kredo kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri, kata adalah kata itu sendiri. Kata bukan alat untuk menyampaikan pengertian. Kata harus dibebaskan dari jajahan makna dan moral.
Akan tetapi, ketika kata “boleh” untuk memperkuat makna dari kata ‘bohong, nipu, curi, korupsi, khianat, ikar janji, jual-negeri, menyerahkan kedaulatan bangsa kepada orang asing’, akhirnya kata yang dipasangkan tersebut menjadi soak. Meski disambungkan lagi dengan kata ‘asal santun’ sebagai upaya penyelundupan kata, sehingga kata ‘santun’ pun ikut menjadi soak maknanya.
Kata ‘asal santun’ tidak bisa menolong derajat kata ‘boleh’ yang harus didudukkan pada pengertian luhur dari kata itu sendiri, menjadi kata yang harus ‘mulia’ derajat atau martabat kata itu, karena akan diakhiri dengan kata “asal santun”.
Kesoakan itu menjadi potret kejahatan, menjadi tidak bermoral, tidak beradab, karena kata itu menjadi satu makna yang menghalalkan, melegalkan kejahatan, yaitu, boleh bohong, boleh nipu, boleh curi, boleh korupsi, boleh khianat, boleh ingkar janji, boleh jual negeri, boleh menyerahkan kedaulatan bangsa kepada bangsa asing asal santun.
Kata ‘asal’ dan ‘santun’ dipakai oleh penyairnya yang soak untuk memperalat keluhuran kata untuk menjadikan topeng kejahatan, sehingga makna kata tersebut dimanipulatif untuk tidak menjadi sangar atau bengis sebagai sebuah kejahatan yang diekspresikannya. Bencananya lagi oleh peyairnya dikatakan sebagai sebuah sajak. Padahal itu hanya sekedar tumpukan kata yang disusun menyerupai tipologi sajak/puisi-sastra.
Sajaki, drama, novel, roman, cerpen atau apa pun namanya karya sastra, senantiasa atau akan bicara soal kegelisahan kultural, sosial dan politik pada masanya secara hitam putih. Bahkan hubungan dengan Tuhannya pun diangkat dari kedalamannya untuk menuju hakiki cahayanya.
Kegelapan disandingkan, diperhadapkan secara paralel atau terbalik dengan cahaya, seperti kebenaran yang hilang, penindasan, kekejaman, kemanusian yang terkubur dalam segala bentuk, keterasingan, kengerian, penderitan dan kegelisahan sosial politik tanpa batas, lintas kultural, bangsa, negara dan SARA untuk menembus batas ruang tanpa batas, dan seterusnya, hingga hubungan privasi dengan Tuhannya dipertentangkan, Tuhan pun dibicarakan, dijungkirbalikan agar sampai pada Tuhan itu sendiri.
Meski begitu, sajak atau sastra tidak bisa melepaskan diri dari persoalan estetik yang harus dijaganya agar imaji-imaji liar bisa dijinakan, agar kata-kata yang liar bisa taklukan. Itu semua adalah eksistensi kepenyairan atau kesastrawanan dalam menghasilkan karya yang bernilai, bernas, sehingga tidak lekang dimakan sejarah, zaman dan waktu.
Oleh sebab itu, karya sastra bisa menjadi rujukan sejarah, soasiologi, atropologi, politik, sosial, psikologi dan lainnya pada zamannya, karena sastra bicara hitam putih atau potret zaman pada sejarahnya. Sastra juga dipakai sebagai peralatan kritis intelektual akademik untuk membedah, membongkar berbagai manipulasi yang tersamarkan; antara kebenaran dan kejahatan yang tersamarkan, agar kita tidak tersesat atau dalam kesesatan.
Karya sastra dijadikan sebagai pisau bedah untuk disertasi dan atau karya ilmiah pengukuhan Guru Besar dalam disiplin ilmu-ilmu sosial, politik, psikologi, filsafat dan teologi dan lainnya. Karya sastra bisa menjadi pelatan akademik untuk menghasilkan intelektual akademik yang bisa dipertanggungjawabkan.
Sastra membuka dialektika intelektual, intelektual akademik, kerena steril dari kepentingan politis atau perut kekuasaan. Sastra bicara persoalan velue manusia dalam peradaban umat manusia. Semua karya sastra bicara soal kegelapan dan kecayahaan hingga pada persoalan paling menusuk ke dalam untuk membongkar ruang hampa dan kebekuan dalam kehidupan.
Sastra yang menjadi fakta rujukan sosiologi, sejarah dan sosial politik pada masanya untuk membongkar kegelapan atau kebekuan, bisa kita baca pada karya sastra antara lain, novel-roman Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Harimau Harimau, Merahnya Merah, Koong, Pabrik, Telegram, dan lainnya dalam bentuk roman-novel. Kecoa, Panembahan Reso, Sumur Tanpa Dasarn dan lainnya dalam bentuk drama.
Potret Pembangunan dalam Puisi, Catatan Harian Sang Koruptor, Benteng dan Tirani, Rindu Dendam, Sajak Ladang Jagung, Nikah Ilalang, Abad yang Berlari, Blues Untuk Bone, Balada Orang-Orang Tercinta, Sajak Sepatu Tua, dan seterusnya dalam bentuk puisi. Godlove, Orang-Orang Terasing, Robohnya Surau Kami, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, Orang-Orang Bloominton dan seterusnya dalam bentuk cerpen.
Jika mau ingin memahami potret sosial politik dan budaya, kita bisa membaca dan menelisiknya melalui upaya sungguh-sungguh HB. Jasin dalam pembabakan karya sastra, yaitu, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Poejangga Baroe, Angkatan ’45, Angkatan ’66, Angkatan ’70, dan setelahnya tidak tersejarahkan berdasarkan pembabakan sastra.
Kita juga bisa membaca karya sastra dari sastrawan berbagai belahan dunia, antara lain, Perempuan di Titik Nol, Musyawarag Brung, Menunggu Godot, Hamlet, Pintu Tertutup, Sampar, dan seterusnya.
Di era digitalisasi, sastra tumbuh di mana-mana, yang paling subur di dunia maya-medsos, meski tidak semuanya menjadi perkembangan yang baik, karena mutu sastra menjadi tidak terkontrol. Siapapun bisa menjadi sastrawan atau menjadi penyair seperti Prabowo Subianto dengan sajak soaknya yang berjudul ASAL SANTUN.
Itulah fakta konkret kelebihan dan kekurangannya, yang membuat para pemula kadang tidak percaya diri bahwa karyanya memenuhi bobot literer. Yang lebih cekala lagi adalah para pemula yang menganggap karyanya melampaui bobot literer sastra pada zaman koran, majalah, bulletin dan lembaran-lembaran sastra yang dijaga para sastyrawan yang sudah ‘menjadi’, established.
Sajak ASAL SANTUN yang ditulis Prabowo Subianto masih belum sempurna betul untuk mencuci otak bangsa dan negara untuk menjadi penjahat, soak. Untuk itu, harus disempurnakan, sehingga ruh kejahatannya dalam sajak soak itu makin mengkristal, tidak melenyap bagaikan mebun. Sajak tersebut harus disempurnakan dengan tambahan kata:
Boleh menculik,
membunuh para aktivis, pengkritik,
siapapun yang tak disuka dan yang bersebrangan
asal santun.
Jika sajak ASAL SANTUN menjadi kredo bagi penulisnya nanti jika menjadi presiden atas penetapan KPU yang tidak gugur oleh putusan MK, maka ini akan menjadi bencana dan petaka besar bagi bangsa dan negara, jika kelak kita berpangku tangan, berdiam diri dan asyik atau nyaman dengan diri kita sendiri sendiri sebagai bangsa dan negara.
Sungguh akan celaka dan bencana nanti, setiap saat akan datang dan mengancam bangsa dan negara, karena asal santun, boleh menyerahkan kedaulatan bangsa kepada orang asing, boleh korupsi, boleh nipu, boleh curi, boleh berkhianat, boleh berbohong, boleh ingkar janji, dan boleh menculik dan membunuh siapapun yang tak disuka dan yang dianggap bersebrangan dengan kekuasaan.
Sungguh, betapa sangat amat mengerikan dan memedihkan takdir sosial bangsa dan negara ini, jika itu menjadi realitas sosial. Kita yang waras tidak mampu membayangkannya apa yang bakal terjadi kelak dikemudian hari menjadi kenyataan yang nyata, bukan mimpi di siang bolong, adakadabra. Adakadabra. Adakadabra. Adakadabra!
Prabowo dalam sajaknya menggarisbawahi dan menegaskan dengan kata-kata kunci untuk menutup sajaknya dengan: SAUDARA-SAUDARA SEKALIAN/BOLEH MENYERAHKAN/KEDAULATAN BANGSA/KEPADA ORANG ASING/ASAL SANTUN.
Sungguh luar bisa, sungguh tegas dan konkret betul sajak tersebut. Sungguh pula mengerikan, membahayakan, petaka dan bencana, karena itu sebagai sinyal sekaligus alarem bencana yang akan menimpa bangsa dan negara. Negeri ini ada, tapi kadabra. Kadabra. Kadabra! ADAKADABRA! ADAKADABRA1 ADAKADABRA! Akankah menjadi takdir sosial negeri-republik ini? Adakadabra. Negeri adakadabra.
Sempurna betul kesoakannya, yang dengan jujur dan lugas disampaikannya, sebelum sang penyair pemula Prabowo Subianto dilantik menjadi, jika sajak ASAL SANTUN dijadikan kredo bagi dirinya setalah dilantik menjadi presiden hasil Pilpres 2024.
Sajak ASAL SANTUN adalah refleksi kejujuran bawah sadarnya, dan itulah yang sesungguhnya yang meng-ada sebagai pribadi dan karakternya jika dalam tinjauan semotika dan hermetika sastra dalam politik dan psikoanalisis sosial budaya.
Pertanyaannnya, apakah sastrawan bisa-mampu mengelola negara? Jika tidak soak, waras, tentu bisa, mampu mengelola negara dengan baik, demokratis. Hal tersebut kita bisa melihat fakta konkretnya. Tapi sayangnya tidak terjadi di negeri adakadra.
Vaclav Havel seorang drarmawan-novelis (sastrawan), dikenal sebagai pembangkang pada rezim totaliter komunis di Cekoslowakia (1989-1992). Havel pulalah pada 1993 yang bisa menghentikan rezim totaliter komunis tanpa ceceran darah mengalir. Havel kemudian menjadi presiden Cekoslowakia ke-10 dalam masa transisi.
Cekoslowakia kemudian menjadi dua negara, yaitu Republik Slowakia dan Republik Ceko. Keduanya memilih demokrasi. Kapok dengan sistem komunisme-totaliter. Havel menjadi presiden pertama di Republik Ceko melalui proses Pemilu-Demokrasi hingga tahun 2003, dua kali masa jabatan, dan meninggal pada 18 Des. 2011. Havel pun harus hidup dalam penjara atas pembangkangnya melawan rezim totaliter komunis selama 4 tahun (1979-1983).
Salah satu karyanya, yang pada akhirnya menjadi realitas sosial politik. Vyrozument, 1965 (Memorandum), drama yang paling terkenal. Havel sebagai sastrawan, menulis cukup banyak novel dan drama. Havel menjadi terkenal secara internasional karena karyanya pada Manifesto Hak Azasi Manusia, Piagam 77, disamping sebagai tokoh utama demonstran di barisan depan menentang dan menumbangkan rezim totaliter komunis, dengan basis intelektualnya dan kesastrawanannya.
Maklumat sastra profetik menegaskan: “Keinginan saya dengan sastra ialah sastra sebagai ibadah dan sastra yang murni. Sastra ibadah adalah ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agama, dan sastra murni adalah ekspresi dari tangkapan atas realitas, “obyektif’ dan universal. Sastra profetik sebagai bagian dari collective intelligence, yang diharapkan menjadi arus intelektual terhormat, seehingga prilaku manusia harus berdasarkan akal sehat, nilai dan norma”. (Kuntowijoyo: Maklumat sastra Profetik).
Lantas bagaimanakah dengan Prabowo Subianto, sang penyair sajak ASAL SANTUN buat negeri ini? Adakadabra! Adakadabra! Adakadabra! Sajak (yang) soak, hanya (akan) hidup di negara (yang) soak di atas bangsa (yang) soak., yang diproduksi sang penyair soak. Adakadabra. Adakadabra. Adakadabra! ***
Singaraja, 28 Maret 2024
Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com