Oleh Andri Wikono
Kita, saya, barangkali tak pernah takut pada virus ini. Kita tak pernah takut pada kematian. Rasa sakit menghadapi maut mungkin tak seberapa. Muhammad telah menanggung sebagian besar kesakitan luar biasa itu. Pada detik-detik pelolosan ruhnya, sang Manusia Agung malah memikirkan kita dengan segenap rasa khawatir, juga rindu yang menggetarkan.
Bukan. Bukan maut yang kita takutkan, tetapi kita takut hanya karena apakah kematian kita diterima di sisi-Nya yang mulia. Kita begitu berdosa. Kita tak puas-puasnya menumpuk dosa.
Di atas bumi inilah kita, Homo Sapiens, makhluk yang paling muda di antara makhluk-makhluk tua yang sudah lebih dahulu diciptakan Tuhan, hidup dan memikirkan segalanya. Di sini, renungan filsafat, ideologi, agama, seni, sastra, norma, dan tata hukum tumbuh berkembang. Wajah kita menengadah, ke arah langit yang berkeredapan oleh gugusan bintang, dan kita sampai mampu melahirkan hal-hal menakjubkan. Dengan akal, kita mampu “mengetahui” awal penciptaan dan memprediksikan seperti apa ia akan berakhir.
Sebaliknya, di bumi ini pula kita melahirkan hal-hal mengerikan. Kita menumpahkan darah di sini. Kita berperang. Kita saling bunuh. Kita saling membenci. Kita buat kemiskinan dan penderitaan jadi ladang peruntungan kita. Kita rakus. Kita menimbun dan tak pernah berbagi.
Semula nenek moyang kita takut sekaligus terpesona pada alam. Lantaran keindahan dan kebesarannya, mereka jadikan alam sebagai dewa atau tuhan. Terhadap alam, mereka gentar. Namun, akal kita terus beranjak. Hingga akhirnya tibalah kita pada suatu babak peradaban yang memosisikan diri kita sebagai subjek yang superior. Kita pun tak lagi menganggap alam sebagai sesuatu yang transendental, sesuatu yang mengandung kelebat wajah Tuhan. Kita, kini, menganggap alam sebagai objek. Subjek-objek bukanlah kerjasama. Manusia dan alam tak lagi menjalin persahabatan.
Waktu-keheningan bagi bumi pun surut. Keheningan mengalami erosi. Bumi begerak lebih cepat dari hari ke hari. Di luar atmosfer, planet-planet yang berjarak tahunan cahaya dari kita itu mendengar betapa berisiknya bumi: produksi-produksi-produksi, konsumsi-konsumsi-konsumsi. Gedung-gedung dibangun dan diruntuhkan, dibangun dan diruntuhkan. Jalan-jalan diperlebar dan dipersilangkan. Pohon-pohon, mahluk yang secara sains banyak mengandung elemen yang sama dengan manusia, telah lenyap. Lautan keruh. Tongkang-tongkang menabrak karang. Udara kotor beraroma karat besi. Dan langit telah cemar oleh merkuri, silau. Bulan yang kesepian dari pandangan syahdu kita, telah lumer dalam kesendirian.
Bumi telah berusia sangat tua: 4000-an miliar tahun. Matahari pun telah menyinari bumi selama miliaran tahun lamanya. Barangkali, inilah saatnya bumi mengambil jeda, kembali jadi petapa. Ia telah amat lelah memangku kita; memberikan segalanya. World Health Organization (WHO) telah menetapkan penyebaran virus corona sebagai pandemi global. Beberapa negara-negara seperti Italia, China, Denmark, Filipina, dan Irlandia menerapkan lockdown. Beberapa kota di dunia menyepi. Inilah saatnya bumi kita ingin mengambil waktu-keheningan miliknya yang telah direnggut oleh peradaban modern manusia. Inilah saat bumi membersihkan daki-daki di tubuhnya bagaikan seekor burung yang berkebas membersihkan debu di sepasang sayapnya.
Kita sungguh tak tahu, seperti apa wajah corona dan sedang berada di mana ia saat ini, sebab yang kita hadapi adalah kesenyapan—seperti melawan ketiadaan. Andai sepasang mata kita adalah dua mikroskop yang mampu melihat gerak-gerik mahkluk tak kasat mata, mungkin kita tak seresah ini saat menghadapi corona.
Akan tetapi, kita masygul. Ongkos riset ilmu pengetahun begitu minim. Jika tidak karena rasa cinta terhadap ilmu pengetahuan, para ilmuan lebih memilih terjun ke dunia politik. Dunia lebih suka mengongkosi pembuatan senjata bagi militer. Angaran-anggaran di wilayah pertahanan jauh lebih besar daripada anggaran yang dimiliki lembaga penelitian. Hingga saatnya tiba untuk kita tahu bahwa perkiraan kita meleset: musuh itu tidak berada di ufuk sana, tidak mencuat dari gigir bukit, tidak melayang turun dari langit. Musuh kita kali ini mampu menyerang kita walau kita dalam keadaan terjaga dan sedang mengokang senjata—dan kita tak bisa berkelit apalagi membalasnya.
Kita, saya, boleh takut. Ketakutan tak harus tanda kelemahan iman. Ketakutan juga bisa berangkat dari kerendahan hati, dari kesadaran bahwa kita: manusia, hanya makhluk kecil. Berendah-hatilah kita. Tanggalkan sejenak mimpi-mimpi muluk kita. Saat ini, kita hanya perlu dan sebetulnya hanya butuh, kebahagian-kebahagian kecil. Kita hanya perlu melakukan upaya pertahanan, semampu kita. Juga berdoa: semoga para ahli mampu bekerja semaksimal mungkin dalam menghadapi virus ini.
Akan tetapi kita tahu apakah doa masih dapat merayu? Apakah doa masih mampu menyentuh langit, atau ia hanya jadi buih yang kembali terhempas ke daratan. Pun kita tak tahu apakah ikhtiar-ikhtiar kita saat ini masih berarti. Suatu peradaban yang berdaya destruktif tinggi terhadap hukum alam dan berdiri dengan wajah dingin dalam penindasan juga penghisapan orang-orang kecil, telah berjalan bertahun-tahun lamanya tanpa sekalipun menoleh dan mendengar para filsuf dan orang-orang bijaksana—-setelah ketulian ini, masihkan Tuhan mau mengampuni dan memberi sekali lagi peluang bagi kita untuk menata kembali nilai-nilai baru yang lebih baik dalam hidup ini? Sebagian kita hanya berkedip dan ragu. Sebagian lagi optimis dengan argumen tak meyakinkan. Sebab kitab-kitab sebagian agama kita telah bercerita tentang peradaban-peradaban yang dihancurkan Tuhan, mala demi mala telah melenyapkan mereka, dan mereka tak bisa menunda mati.
Saya tak sedang menakut-nakuti, tetapi sebagian kita masih mampu melihat, mungkin dari atas ranjang isolasi: kubus hitam yang suci (Ka’bah) telah sepi; jalan-jalan besar dihampir seluruh kota di dunia telah mangkrak; akses transportasi seperti stasiun, pelabuhan, bandara, telah lumpuh; hotel-hotel hanya menyisakan seorang resepsionis yang melamun; lalulintas perdagangan mendadak anjlog; pasar-pasar tak lagi berfungsi. Singkat kata, keramaian yang telah mengisi hajat hidup modernitas dan globalitas, telah sunyi dalam kecemasan tak tepermanai. Itu bukan berarti kekalahan bagi kapitalisme. Kapitalisme sebagai suatu konsep-konkret, hanya jatuh sakit, tetapi belum mati, meskipun bukan berarti tak bisa kita ganti. Tapi ada kapitalisme yang tak nyaris tak bisa mati: ia adalah kapitalisme primordial, libidinal. Suatu nafs yang bersarang dalam hasrat alami manusia. Ia bisa hancur ketika manusia jadi bangkai.
Kemenangan yang datang bersama corona, sekali lagi, belum tentu kekalahan bagi kapitalisme. Corona membawa kemenangan ekologis—penegakan panji utopia bagi bumi. Tapi bukan bagi manusia. Manusia tersapu karena lalainya. Lewat corona, manusia telah digiring pada kamarnya masing-masing, pada ruang batinnya masing-masing, pada kesendiriannya, seakan Tuhan memaksa manusia untuk uzlah dan merasakan getirnya kesunyian seperti halnya para nabi, para rahib, para brahmin, para filsuf, atau para budha. Hari ini, kita bagaikan ulat yang melata di atas bumi yang sedang bergejolak, menggeliat, dan berusaha meremajakan diri. Bumi dan seluruh isinya telah berada pada titik jungkirbaliknya. Sayangnya, kita sendirian di atas sini. Belum ada pemimpin yang paling tahu tentang virus ini. Sains tampak kewalahan.
Bermula dari Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei, Cina, virus ini dengan cepat, dalam waktu yang sangat singkat, telah menyebar ke seluruh penjuru bumi. Corona yang dalam bahasa Latin bermakna “mahkota” dan dalam bahasa Yunani berarti “lingkaran cahaya”, sudah menewaskan ribuan orang. Dan hingga saat tulisan ini selesai, ia masih mengintai nyawa umat manusia. Saya pesimis, mungkinkah tulisan kecil ini juga hanya berakhir dalam keheningan pula. Saat ini, maut seperti senantiasa bertengger di tengkuk kita, sedemikian jeli mengawasi lengah dan lalainya kita, dan jika saat itu tiba, kita tak lagi di sana atau di sini. Kenangan berlepasan dari buku harian. Yang tersisa kemudian, hanya latar tanpa lakon:
Kalau datang nanti topan ajaib
Menggulingkan gundu, memutar gasing
Memacu kuda-kudaan, menghembus kapal-kapalan
Aku sudah lebih dahulu kaku.
(Chairil, 1948)
Penulis adalah pegiat di Senja Sastra (Sentra).