Rabu, Oktober 30, 2024

Pragmatisme Pada Budaya Jawa

Oleh Masud HMN *)

Jawa melahirkan cara tersendiri dari segala budaya. Namanya kearifan lokal. Berbeda dengan budaya yang lain, meski persoalan intinya sama saja.

Pragmatisme berasal dari kata pragmatis. Artinya perbuatan yang tepat guna (efektif) serta murah (efisien). Ini pengertian umum.

Sebagaimana ketahui bersama bahwa sejatinya terdapat dua pegertian dalam pragmatisme. Pertama adalah yang dilahirkan oleh Descartes yaitu berpikir cogito ergo sum dengan ungkapan “aku ada karena aku berpikir” kata Descartes orang Perancis ahli filsafat abad pertengahan Masehi. Maksudnya adalah filsafat berpikir.

Rene Descartes (53) lahir di Perancis Filosof terkenal tahun 1596-1650, meninggal dalam usia relatif muda. Ia meninggal karena sakit radang paru-paru.

Kontribusnya adalah lahirnya filsafat berpikir esistesialis. Sangat terkenal yang berpijak dari jiwa dan fisk serta jiwa. Pemikirannya berkembang di Eropa.

Oleh karena perkembangan zaman datang pula Hegel dan Immanuel Kant dengan filsafat teori nilai. Terkenal dengan teori “moral conduct”. Sesuatu kebenaran apakah ada nilainya untuk manusia. Kebenaaran itu adalah nilai.

Lalu kemudian ada filsafat sintesa dan antitesa. Filsafat yang melihat fungsinya kebenaran itu. Maka tekenallah “filsafat material “.

Dalam kaitan inilah kita datang dengan kesimpulan ada dua pokok. Yaitu induk filsafat berpikir Hegel dan filsafat material dari Immanuel Kant. Dengan fungsinya berpikir. Kedua itulah filsafat bekembang dengan segala variasinya.

Kegiatan politik agaknya menuruti perkembangan demikian. Tema pokoknya pragmatisme. Terus menyerobot kesegenap budaya sebab ada budaya pramatisme Jawa, Melayu, Minangkabau, dan lain-lain suku. Masing-masing beda penerapannya dalam praktek.

Bagaimana pengembangan pragmatisme dalam budaya Jawa kini? Kiranya dapat dilihat dengan misal pada kegiatan kepemimpin. Lazim disebut dalam ungkapan mikul dhuwur mendhem jero. Memegang rahasia aib pimpinan.

Menarik sekali azas kepemimpinan itu. Sebab di situ tekawallah pengkhianatan. Dilarang menyebarkan aib pimpinan.

Dengan pragmatisme, suku Jawa dapat menjaga kerahasian. Menjadi doktrin yang baik tentunya. Hanya perlu aib disembuyikan itu terbatas dalam yang mana dan hal apa saja.

Tujuannya kita tidak melestarikan yang buruk. Yang baik kita jaga. Sebaliknya yang buruk kita buang jauh-jauh.

Kita perlu mencari yang baik dalam budaya. Agar menjadikan bangsa Indonesia maju ke depan. Modern dan maju dalam budaya!

Jakarta, 9 Agustus 2024

*) Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles