Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Bupati dan Kepalsuan Empati

Oleh O’ushj.dialambaqa*)

Episode 7. Bupati dan Kepalsuan Empati, menjadi penting kita perbincangkan, lantaran berelasi denbgan politik electoral di dalam fakta konkret politik Gentong Babi. Sebelumnya telah kita perbincangkan; Episode 6. Bupati, Buku (Bk) Cerita Bergambar (Cergam) Kebon Mangga Gedong Gincu Nina. Episode 5. Dirut PDAM TDA, Avonturir Ataukah Profesional?

Episode 4. Bakul Banyu Reinkarnasi Dari Dirut PDAM, Bermain Politik Elektoral Bupati Nina 2 Periode. Episode 3. Desa dan Kelurahan Menjadi Mesin Politik elektoral Bupati Nina 2 Periode. Episode 2. ASN Sebagai Mesin Politik Elektoral Bupati Nina 2 Periode dan episode 1. Bupati dan Bupati Asbun. Kita tetap berada dalam konstruk politik Machiavellian, politik Orwellian, politik Post-Truth, dan politik Pork Barrel (politik Gentong Babi.

Historisnya, kata Gentong Babi dimulai dari tahun 1700-san, yaitu realitas sosial politik perbudakan di Amerika Serikat. Tom Wakeford and Jasber Singh  menulis Towards Empowered Participation: Stories and Reflections, yaitu berkisah tentang politik Gentong Babi (Pork Barrel Politics). Budak-perdudakan dipelihara dalam sistem kekuasaan politik dan atau politik kekuasaan untuk bisa melanggengkan yang berkuasa-kekuasaan, dalam konteks politik.

Dalam konteks kontruks sosial masa itu, sang tuan-majikan, harus tetap memelihara kemiskinan kasta budak, sehingga perbudakan bisa terus berlangsung dan bisa dikendalikan untuk tidak memberontak, dengan cara politik Gentong Babi, yaitu sang tuan memberinya daging babi yang dimasak (setengah matang) dan disimpan dalam wadah yang berbentuk gentong.

Gentong yang berisi daging babi tersebut bertahan untuk jangka waktu yang relatif lama. Daging Babi yang berada dalam gentong itulah yang diberikan kepada para budak ketika lapar. Politik Gentong Babi adalah politik untuk mengendalikan perut lapar supaya tidak memberontak.

Politik Gentong Babi adalah untuk menciptakan ketergantungan perut lapar para budak kepada sang tuian-majikannya. Dalam konteks politik juga sama, untuk menciptakan ketergantungan masyarakat yang bobrok mentalitasnya kepada sang penguasa, sehingga tidak berani melawan atau melakukan pemberontakan sosial pada strata sosial menengah ke bawah. Celakanya pada strata sosial papan atas-elit pun serupa saja.

Pada level elit (politik), Politik Gentong Babi juga menciptakan ketegantungan kepada penguasa, sehingga menjadi penghamba kekuasaan, pemuja kekuasaan, dengan jalan penguasa memberikan jabatan Menteri, Komisaris, Dirjen dan atau setara kepala lembaga negara, free village semacan free village, termasuk memberikan ruang terbuka tak tersentuh hukum untuk melakukan korupsi-bersama-sama. Terjadi juga hal yang sama di daerah.

Politik Gentong Bagi sangat disukai dan atau dipakai oleh para politisi busuk, sebagai politik kepalsuam empati dan atau kepalsuan kepedulian. Motifnya konkret dan gamblang, yang oleh Orwellian dikatakan untuk menggonta-ganti catatan dalam narasi rilisnya untuk publik.

Politik kepalsuan empati itu oleh Post-Truth adalah untuk melakukan pembiasan politik busuknya seolah-olah yang dilakukannya adalah sebuah empati, seolah-olah sebuah kepedulian yang sangat amat peduli dengan urusan masyarakat akar rumput-publik atau masalah sosial lainnya. Yang sebelumnya cuek bebek ketika saat berkuasa ditahun-tahun pertama, kedua dan seterusnya, tetapi menjelang Pilkada, untuk kepentingan elektoralnya semua diada-adakan jika masih mungkin bisa diada-adakan kegiatannya.

Hoax diporoduksi oleh pusat kekuasaan-penguasa dan atau oleh tentakel-tentakel kekuasaan yang menggurita, baik yang merayap dalam senyap maupun yang merayap dalam langit terang benderang. Kendatipun itu hoax tapi penguasa dan tentakel-tentakel kekuasaan tidak pernah tersentuh pidana-delik UU ITE. Sebaliknya, korban berjatuhan lantaran diakal-akali sebagai penyebaran hoax jika dilakukan oleh rakyat-publik.

Politik Gentong Babi secara TSM (Terstruktur, Sistemik dan Masif) dilakukan oleh Presiden Jkw untuk mencapai tujuan politik kekuasannya, dan itu sangat sukses dalam Pilpres 2024, sehingga Gibran-anak haram konstitusi-anak haram demokrasi bisa melanggengkan kekuasaan bapaknya, sebagai politik dinasti-dinasti politik kekuasaan dengan politik Gentong Babinya.

Politik Gentong Babi juga dilakukan oleh Bupati Nina untuk kepentingan elektoral 2 periode agar bisa mencapai tujuannya untuk berkuasa kembali sebagai penguasa. Politik Gentong Babi dilakukan Bupati Nina tidak ansich, Machiavellian dipergunakannya.

Dalam Machiavellian, Politik Gentong Babi merupakan molekul yang menggerakkan energy moral hasad untuk bisa mencapai tujuan. Lagi-lagi, dengan menghalalkan segala cara. Moral, etika dan agama merupakan sampah yang tak berguna untuk mencapai tujuan politik kekuasaan. Untuk itu harus disingkirkan dari esensi maupun eksistensinya, karena sebagai penghalang untuk mencapai tujuan.

Machiavellian, politik Gentong Babi, politik Post Truth dan Orwellian bisa kita katakan  sudah cukup sempurna dilakukan Bupati Nina untuk kepentingan eleketoral Bupati Nina 2 periode. Bupati seolah-olah menjadi Dewi penolong, punya rasa empati yang luar biasa melihat kemiskinan, pendidikan, anak-anak sekolah, anak-anak bergizi buruk dan stunting, dan seterusnya di mana situasi dan kondisi (sikon) sosial yang nestapa, sekaligus juga menggeramkan dan menjengkelkan bagi kita yang masih punya logika dan akal waras dalam kemelekan sikon sosial yang meng-ada.

Realitas politik yang menjadi fakta konkretnya yang tak bisa terbantahkan adalah seolah-olah Bupati Nina dengan amat sangat empati yang luar biasa dalam banyak hal menjelang pesta politik-politisi busuk dengan segala macam bentuk dan kegiatan, tidak hanya blusukan ke sekolah-sekolah, senam sehat bermatabat, dan momen agustusan menjadi kambing hitam untuk menggelar semua kegiatan, yang seolah-olah semua itu sangat amat mendesak. Bahkan ruang religiositas pun digarapnya dengan amat sangat cerdik dan licin, sehingga dianggap sebagai kepedulian terhadap umat Islam dan atau kaum beragama. Tiada kegiatan apapun tanpa ada gambar Bupati Nina.

Agar menjadi obyektif, tidak hoax dan tidak fitnah, kita berikan fakta-fakta konkret, supaya kita semua melek sikon atas realitas sosial politik di buminya sendiri, agar kaki kita menapak di bumi, bukan napak di awan yang gelap.

Agar kita semua bisa membangun kembali kesadaran sosial kolektif yang ambruk dan tenggelam, yang mungkin masih ada yang tidur nyenyak dan pulas. Sementra realitas sosial yang membuat takdir sosial kita begitu buruk dan nestapa, tak terbantahkan, makin rusak, karena penguasa memproduksi kepalsuan empati.

Fakta konkret itu antara lain adalah membagikan sepatu kepada para siswa yang tidak mampu beli sepatu. Seolah-olah Bupati Nina sangat amat empati terhadap kaum papa yang anaknya tidak bisa beli sepatu untuk pergi kesekolah. Luar biasa, bukan?

Kita yang awam, tidak mampu melakukan pembacaan mengenai panorama peristiwa fatamorganais tersebut, apa yang dilakukan Bupati adalah hadir sebagai pemimpin bukan sebagai penguasa. Kita yang awam tak bisa lagi membedakan antara pemimpin dengan penguasa.

Ternyata jika kesimpulannya seperti itu, kita akhirnya menjadi stunting, karena pemberian sepatu kepada para siswa miskin tersebut yang dilakukan Bupati, bukan dari kocek pribadi Bupati dan atau dari anggaran taktis operasional Bupati dan atau bukan dari anggaran rumah tangga Bupati yang telah disediakan APBD.

Fakta konkretnya, ternyata berasal dari adanya instruksi Bupati, di mana para ASN/PNS  yang menduduki eselon 2, 3 dan 4 wajib menyetor dan atau membelikan sepatu. Sepatu tersebut setelah terkumpul, baru Bupati Nina yang memdistribusikan langsung ke sekolah, untuk dibagikan kepada siswa yang tak mampu beli sepatu.

Berdasarkan pengakuan para ASN tersebut, jika untuk tingkat kecamatan, mulai dari jabatan Sekmat, Kasi, Kasubag Umpeg, Kasubag Keuangan dan PJ Kuwu yang berjumlah 167, diwajibkan setor sepatu. Sepatu tersebut kemudian oleh Bupati dibagikan ke siswa yang tak mampu.

Qurban PDAM (Perumda TDA) yang dibagikan, dikemas dengan besek dan ditempeli stiker gambar Bupati Nina. Bupati Nina mengatasnamakan sebagai KPM (Kuasa Pemilik Modal) dari PDAM.  Yang menjadi persoalan tidak sekedar stiker Bupati Nina yang menempel di besek daging qurban. Lebih dari itu.

Idul Adha 1445 H, PDAM membagi-bagikan daging qurban, bagaimana persoalan sar’inya. Beli hewan qurbannya bukan uang pribadi Bupati,  dari anggaran dana PDAMkah atau dari patungan karyawan PDAM? Jika dari dana PDAM bagaimana hukumnya, karena PDAM sahamnya milik rakyat Indramayu yang berjumlah 2 jutaan jiwa, bukan milik Bupati, tapi Bupati ikut nimbrung dengan stikernya dan mengatakan sebagai KPM.

Jika hewan qurbannya dibeli atas patungan karyawan PDAM, lebih celaka lagi dengan stiker Bupati yang mengatasnamakan KPM. Jika ada yang melakukan pembenaran, itu berarti dalil yang pakai adalah kitab gorong-gorong. Politisasi agama, dan agama menjadi mainan politik elektoral. Bagi Machiavellian tidak menjadi masalah, karena untuk mencapai tujuan semua jalan menjadi halal. Benar-benar Machiavellian.

Bupati ke puskesmas-puskesmas membagikan makanan tambahan yang konon makan bergizi untuk balita. Seolah-oilah Bupati amat sangat empati terhadap anak-anak stunting. Padahal dalam faktanya, lagi-lagi bukan dari Bupati, melainkan ASN sebagai orang tua asuh atas stunting.

Bupati membagi-bagikan sekandek sembako dengan stiker Bupati Nina kepada kaum duafa-masyarakat melarat-miskin. Seolah-olah amat sangat empati. Lagi-lagi bukan dari uang pribadi. Sebagai poltik Gentong bagi, Post-Trut dan Orwellian memang sukses dan berhasil.

Kepalsuan empati juga dipertontonkan dalam bentuk lain, siswa sekolah dengan menggelar spanduk bertulisan: Terimakasih. Agenda Bupati Indramayu Hj. Nina Agustina Bupati. Blusukan ke sekolah dalam progam yang digelar DKPP.

Kepalsuan kepedulian juga dipertontonkan Bupati dengan Rangkaian Kegiatan Perlombaan Memperingati Hari Kemerdekaan RI  ke-74 tahun 2024  di tingkat Kecamatan Sliyeg, Kamis 9/8/2024 di Lapangan Sepak Bola Desa Sleman Lor; Lomba Baris Berbaris antar Perangkat Desa dan Instansi. Olahraga Rekreasi Masyarakat antar Desa, Instansi dan Guru SD/SLTP/SLTA. Jalan Santai Bermartabat, Kamis, 15/8/2024, pkl. 07.00 s/d Selesai. Halaman Kecamatan Patrol. Berhadiah total 2 Sepeda Gunung, Kipas Angin, Blender dan Majicom.

Ucapan terima kasih Ibu Nina Agustina pada acara jalan santai Kecamatan Indramayu, Nusantara Baru Indonesia Maju. Berhadiah. Diikuti ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak bersama ibunya. Kamis, 15/8/2024, tempat kegiatan di depan Gedung Juang-depan Kantor Bupati. Disambung Kamis malam, 15/8/2024 kegiatan di Pendopo mengumpulkan RT/RW dan BPD. Agustusan menjadi momen dan apologi untuk dijadikan kambing hitam atas kepentingan elektoral Bupati Nina 2 periode.

Pembuatan KTP, KK dan Akte Kelahiran kilat pun dipertontonkan sebagai kepalsuan empatai-kepalsuan kepedulian. Disdukcapil konon setiap Sabtu Petang di Taman Alun-Alun Puspawangi (TAPW) mempertontonkannya.

Lantas dilansir ke media lengkap dengan gambar yang bersangkutan, di mana masyarakat yang terlayani saat itu kemudian mengucapkan kata-kata yang amat sangat merdu: terima kasih Ibu Bupati Nina. Padahal itu semua adalah setingan atau scenario drama politik kepalsuan empati-kepalsuan kepedulian. Karena itu setingan dan atau skenario untuk mengucapkan terima kasih Ibu Bupati Nina, menjadikan ucapan tersebut merupakan kepalsuan belaka.

Fakta konkretnya yang terjadi dan tak bisa terbantahkan adalah dalam pembuatan KTP, KK dan Akte Kelahiran tidak bisa dalam hitungan menit seperti yang dipertontonkan Disdukcapil di TAPW tersebut. Pembuatan KTP, KK dan Akta Kelahiran jika tidak melalui jalan tol, bisa berbulan-bulan tidak selesai. Bahkan sekedar melegalisir Akta Kelahiran saja tidak bisa sehari.

Kepalsuan empati-kepalsuan kepedulian juga dipertontonkan Dirut PDAM, di mana keluhan konsumen ditindaklanjuti dengan cepat (gercap-URC) kemudian dividiokan dan unggah ke medsos, di mana konsumen dari Kec. Sindang, Kec. Jatibarang dan Kecamatan lainnya mengucapkan: terima kasih Ibu Bupati Nina atas pelayanan PDAM yang cepat tanggap.

Tahun-tahun sebelumnya tidak melakukan hal yang seperti sekarang. Sehinga, menjadi sangat gamblang kepentingan elektoralnya, karena nyaris konsumen yang awam tak pernah tahu soal PDAM yang kaitannya dengan kinerja Bupati Nina sebagai KPM.

Sekali lagi, itu pun merupakan kepalsuan ucapan terima kasih, karena itu sebuah setingan dan atau skenario yang dipertontonkan Dirut PDAM sebagai Tukang Semir-Penjilat, penghamba kekuasaan-pemuja kekuasaan demi memuluskan kepentingan elektoral Bupati Nina 2 periode.

Kepalsuan empati-kepalsuan kepdulian pun dipertontonkan Bupati yang dengan gercap mendengarkan keluhan warga atas kerusakan jalan-transpotasi ekenomi disemua wilayah. Jalan-jalan yang rusak segera diperbaiki, kemudian setingan dan skenario ucapan terima kasih warga atas kepadulain Bupati Nina  pun dibuat, disediakan rilis dan medianya.

Lantas warga dengan merdu mengucapkan: terima kasih Ibu Bupati Nina atas kepedulian atas keluhan warganya. Lagi-lagi, itu merupakan ucapan kepalsuan dari warga, dan merupakan kepalsuan sensivitas Bupati Nina.  Warga tak perlu harus mengucapkan terima kasih, karena itu merupakan kewajiban dari seorang Bupati untuk menjalankan amanat APBD.

Yang menarik adalah semua kepedulian dan atau keempatian itu dipertontonkan menjelang elektoral Bupati Nina 2 periode. Tahun-tahun sebelumnya, proyek-proyek perbaikan dan atau pemeliharaan transportasi ekonomi tersebut di-cuek-bebek-an, sehingga Silpa APBD cukup besar, karena belanja modal-belanja publiknya tidak terserap, tidak terealisasi dalam tahun pelaksanaan anggaran.

Belanja publik-belanja modal tidak rasional dalam postur APBD, karena Bupati tidak mengerti dan atau tidak paham lagi mana skala prioritas yang strategis harus diperbuat. Kebijakannya lebih mempertontonkan, lebih mendramatisir kebijakan tik tok semata, kebijakan yang hura-huraisme yang dipertontonkan dengan Tong Kosong Nyaring Bunyinya, sehingga tetap tiarap, tidak bisa menggeliat, tidak berbanding lurus dengan klaim atas segudang piagam penghagaan yang didapatnya.

Klaim omong kosongnya, Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) sebesar 9,76% ditahun 2023 (demokratis.co.id; 17/8/2024: HUT Kemerdekaan RI Ke-79, Bupati Nina Agustina:Jadi Momentum untuk Bertransformasi Pembangunan di Segala Bidang).  LPE di tangan Bupati Nina melampaui negara-negara maju, Amerika Serikat hanya 3,3%, Belanda hanya sebesar 0,1%, dan atau melampaui pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya sebesar 5,05% (yoy).

Dahsyat luar biasa. Meski begitu, anehnya menjadi daerah termiskin se-Jawa Barat. Angka kemiskinannya sebesar 12,13%. Yang waras logika dan akal warasnya akhirnya menjadi dungu, stunting untuk bisa melogikakan laju pertumbuhan ekonomi bisa sebesar 9,76% tersebut. Masyarakat penerima bansosnya masih 40%. Apa hendak dikata, jika bulan bisa ngomong, akan bicara lain.

Perburuan piagam penghargaan lebih menjadi prioritas, di mana para pemberi penghargaan dalam mata gelap, telah menjadi gerhana matanya dalam melihat fatamorgana, semua menjadi hal politis yang absurd.  Celaka dan bencana bangsa ini, negeri adakadabra-negeri soak, jika mentalitas pemimpinnya dan mentalitas masyarakatnya bobrok seperti sekarang ini yang meng-ada.

Machiavellian pun dipakai untuk menjadikan Politik Gentong Babi bersyarat diberlakukan. RT-RW se-kabupaten dijanjikan akan diberi motor untuk kepentingan tugasnya sebagai RT-RW. Penjelasan Kuwu-Kuwu membenarkan soal janji Bupati akan memberikan motor pada RT-RW dengan syarat jika nanti terpilih kembali menjadi Bupati.

Pemberian janji motor kepada RT-RW jika terpilih kembali menjadi Bupati, mengkonkretkan fakta bahwa hal itu merupakan kepentingan elektoral Bupati Nina 2 periode menggunakan fasilitas negara dengan berbagai cara dan menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuan kekuasaannya.

Momen agustusan dijadikan kambing hitam untuk apologi dan alibinya dalam menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan elkctoral Bupati Nina 2 periode yang dikemas dengan berbagai kegaiatan agustusan sebagai Hari Memperingati Kemerdekaan RI.

Kepalsuan empati dan atau kepalsuan kepedulian juga dipertontokan Bupati dibanyak kegiatan, di mana kegiatan tersebut juga pada dasarnya tak lebih dari kegiatan tik tok dan atau yang hura-hura(is), lebih keintertainment. Hal ini bencana dan atau celaka bagi APBD.

Kepalsuan empati dan atau kepalsuan kepedulian yang disertai tiada hari tanpa gambar Bupati dalam setiap kegaiatan apapun adalah merupakan Narcissiscistic Personality Disorder, sehingga menjadi mythomania; menganggap dirinya sendiri  sangat penting dan harus dikagumi. Yang dalam episode 6, kita katakan lebih cenderung model kepemimpinan seperti di Korea Utara-Negara Komunis, di mana harus selalu memasang gambar pemimpinya.

Secara psikologi itu merupakan ganguan kepribadian-narsistik. Jika harus dikatakan sebagai  Compassion Fatigue menjadi absurd, jika kita bersandar pada pembacaan semiotika dan hermenetika yang menjelaskan rangkaian atau mata rantai dari tanda sebagai penanda dan atau penanda sebagai tanda.

Fakta-fakta konkret Macviavellian, Politik Post Truth, Politik Orwellian dan Politik Pork Barrel masih sederet fakta konkret yang panjang, yang belum bisa kita beberkan di sini, karena keterbatasan ruang.

Fakta konkretnya yang tak bisa terbantahkan sebagai realitas sosial politik masih lebih banyak lagi, melampaui  perolehan segudang penghargaan yang telah dicapainya, di mana penghargaan-penghargaan tersebut hanya menandai pencitraan sebagai prestise politik dalam pemerintahan yang fatamorgana di negeri adakadabra-negeri soak.

Machiavellian Politics, Post-Truth Politics, Orwellian Politics, Pork Barrel Politics dan Otoritarianism akan menguat-menga-ada, jika moral hasad makin membara, jika civil society lemah-melemah atau bisa dilemahkan-dilumpuhkan, pilar ke-4 demokrasi menjadi ’lame-duck’, intelektual salon dan intelektual buzzer makin subur, pelacuran intelektual akademik makin marak, dan kampus-kampus menjadi alat produksi kaleng-kaleng; glombrangan, nyaring bunyinya.

Politik Machiavellian, politik Orwellian, politik Post-Truth, dan politik Getong Babi amat sangat disukai oleh para politisi busuk, penguasa yang berjubah pemimpin, dan para penghamba dan atau pemuja kekuasaan.

Kepalsuan empati dan atau kepalsuan kepedulian, pasti dikemas dengan Politik Machiavellian, politik Orwellian, politik Post-Truth, dan politik Getong Babi. Padahal, takdir sosial tidak (akan) sekonyong-konyong datang dari langit apalagi hanya ‘Waiting for Godot’. Sejarah dan waktu yang akan bicara. ***

Singaraja, 17.8.2024.

Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles