Oleh O’ushj.dialambaqa*)
Episde 8. Bupati dan Politik Rasisme, sangat berbahaya jika bersemayam pada tabiat pemimpin dalam kepimpinannya. Politik rasisme yang digemakan dalam forum formal-kedinasan, dalam hal ini berelasi dengan kepentingan elektoral Bupati Nina 2 periode.
Untuk itu, perlu menjadi perbincangan serius sebelum menjalar menjadi tentakel kekuasaan yang membuat makin dungu dan stunting pada masyarakat-publik yang tak mau melek.
Sebelumnya telah kita perbincangkan episode 7. Bupati dan Kepalsuan Empati. Episode 6. Bupati, Buku (Bk) Cerita Bergambar (Cergam) Kebon Mangga Gedong Gincu Nina. Episode 5. Dirut PDAM TDA, Avonturir Ataukah Profesional? Episode 4. Bakul Banyu Reinkarnasi Dari Dirut PDAM, Bermain Politik Elektoral Bupati Nina 2 Periode.
Episode 3. Desa dan Kelurahan Menjadi Mesin Politik elektoral Bupati Nina 2 Periode. Episode 2. ASN Sebagai Mesin Politik Elektoral Bupati Nina 2 Periode dan episode 1. Bupati dan Bupati Asbun. Kita tetap berada dalam konstruk politik Machiavellian, politik Orwellian, politik Post-Truth, dan politik Pork Barrel (politik Gentong Babi).
Dua Premis Didalikan Bupati
Pada acara Pembinaan Penataran Penguatan dan Peningkatan Pilar-Pilar Sosial Tahun 2024 yang dihadiri peserta dari elemen pemerintahan tingkat desa dan kecamatan, menarik untuk kita perdebatkan atas statemen dan atau pandangan falsafi Bupati Hj. Nina Agustina Dai Bachtiar, S.H, M.H, C.R.A yang menstabilo pandangannya mengenai bibit-bebet-bobot dan turunannya, yang mendapat aplus atau koor serempak setuju dari para peserta yang hadir dalam acara resmi kedinasan tersebut.
Statemen konkretnya yaitu: Lihat Bibit-Bebet-Bobot Turanane (Lihat Bibit-Bebet-Bobot-keturuannya). Benar ga? Betul! Sangat kompak seperti pagelaran orchestra yang dipandu dirigen dalam lagu seriosa. Kita tidak tahu dan bahkan menjadi tidak paham, apakah koor tersebut ada diregennya ataukah hanya spontanitaan yang terlatih dan terdidik untuk ABS (Asal Bisa Senang) kepada atasannya, dalam hal ini untuk memenuhi selera Bupati Nina yang suka dengan ABS.
Tidak hanya itu, Bupati pun lantas menstabilo penjelasannya: Saya kadang menyayangkan masyarakat, buat pemertintah desa dan semuanya, kecamatan juga. Mungkin di sini, ada bapak-ibu guru RT-RW juga, sudah tidak usah berpolitik, yang ikut-ikutan jadi politik, yang jadinya akhirnya berantem. Benar ga? Benar. Kadang tidak ngerti beritanya apa, Bupatinya seperti apa.
Premis pertama dengan premis kedua seolah-olah menjadi paradoksal. Disadari atau tidak, keparadoksalan tersebut sesungguhnya dipahami betul oleh Bupati Nina, karena hal tersebut bagian dari ke-Machiavelli-an, di mana Post-Truth dan Orwellian bisa menjelaskannya dengan sederhana dan gamblang.
Statemen Bupati Nina sebagai pemimpin dalam kepemimpinannya mengedepankan dan atau mengajukan dua premis pokok yang dikedepankan sebagai dalil kepemimpinannya. Premis pertama, yaitu soal Bibit-Bebet-Bobot, dan keturtunan itu menjadi penting, sebagai status derajat sosial untuk memilih cabup/cawabup dalam Pilbup Nopember 2024 nanti, dan atau menjadi prasyarat sebagai pemimpin. Pandangan dan atau politik rasisme tersebut menjadi sangat berbahaya dan bencana bagi demokrasi, Pancasila dan atau konstitusi kita.
Premis kedua, adalah menyayangkan masyarakat, buat pemertintah desa dan semuanya, kecamatan juga. Mungkin di sini, ada bapak-ibu guru RT-RW juga, sudah tidak usah berpolitik, yang ikut-ikutan jadi politik, yang jadinya akhirnya berantem. Kadang tidak ngerti beritanya apa, Bupatinya seperti apa.
Pada premis kedua tersebut, sesungguhnya Bupati Nina tengah melakukan upaya Machiavellian dengan politik rasisme untuk menjadikan politik devite et impera pada peserta yang hadir dalam acara formal kebupatian terhadap para guru, RT-RW dan peserta lainnya yang hadir. Rasisme dalam devide et impera tersebut dikemas dalam kepalsuan pandangan kenegarawanan-sebagai pemimpin, dengan mengatakan, sudah tidak usah berpolitik, yang ikut-ikutan jadi politik, yang jadinya akhirnya berantem. Kadang tidak ngerti beritanya apa, Bupatinya seperti apa..
Fakta konkretnya dibalik persembunyian kepalsuan kenegarawanan tersebut adalah menyuntikkan racun politik rasisme, yaitu bibit-bebet-bobot dan keturunannya, agar pada saat Pilbup nanti, mereka yang hadir diharapkan-dipastikan bakal memilih Bupati Nina untuk kelanjutan kekuasannya, Bupati Nina 2 periode.
Apa yang mendasari politik rasisme tersebut digaungkan-disuntikkan dalam acara kedinasan tersebut? Bupati Nina merasa dirinya sebagai DNA bibit-bebet-bobot dari keturunan keluarga pejabat tinggi, yang harus dimaknai sebagai keturunan yang amat sangat terhormat, seperti halnya pandangan feodalisme terhadap keturunan Darah Biru. Yang awalnya hidup pada zaman dahulu kala, meski masih sangat banyak dan masih terasa hidup pandangan feodalistik di alam demokrasi-Pancasila sekarang ini.
Premis kedua tersebut juga merupakan bantahan atas kritik publik dan atau respon sikap publik dengan menstabilo klaimnya dirinya sebagai pemimpin sudah sangat peka terhadap situasi dan kondisi sosial masyarakatnya. Bupati Nina mempertegas bantahan tersebut dengan mendalilkan, kadang tidak ngerti, beritanya apa, bupatinya seperti apa. Saya kemarin turun, dadakan, ketemu sama anak dari kelas SD lumpuh. Sekarang kelas 6, apakah saya menutup telinga, menutup mata saya, menutup telinga saya. dzolim ga saya? Dzolim. Jelas tertulis dalam Al Qur’an bahwa seorang pemimpin kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Dan di situ mau tidak mau saya ambil (dok.vidio).
Artinya, Bupati Nina menganggap dirinya sudah jungkir balik untuk kepentingan rakyatnya. Padahal yang mengalami nasib serupa masih sangat banyak dari kasus seperti tersebut, lantas dipamerkanlah bahwa dirinya sudah jungkir balik untuk kepentingan rakyat. Padahal, baru satu kasus yang ditemuinya, karena menutup mata dan pendengarannya dalah hal kasus-kasus yang serupa.
Yang menarik lainnya adalah Bupati Nina mempertegas bahwa seolah-olah dirinya mempunyai kesadaran ma’rifat dengan mengatakan tertulis dalam Al Qur’an, bahwa seorang pemimpin kelak akan dimintai pertanggungjawabannya. Kesadaran ma’rifat keberagamaan tersebut saking terburu-burunya atau memang ada ayat tambahan (wahyu-firman terbaru) dalam Al Qur’an, di mana itu hadits (HR. Bukhari) dibilang Al Qur’an.
Semoga itu sekedar kekeliruan semata Bupati Nina, saking ma’rifatnya, sehingga tak bisa membedakan mana hadits dan mana firman Tuhan (Allah), karena sudah terbiasa, sudah terdidik, asal bunyi, asal nyeplos, asal nyeplak. Latah, adakadabra-negeri soak.
Hadits tersebut berbunyi: Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun an ra;iyyatihi (Sesungguhnya setiap orang itu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya sebagai pemimpin atas kepemimpinannya).
Hadits tersebut tidak bisa dipisahkan dari pemahaman dan atau memaknai Al Baqarah:30, di mana manusia diciptakan di muka bumi adalah sebagai Khalifatullah Fil Ardl (sebagai pemimpin di muka bumi), bukan untuk membuat kerusakan di muka bumi. Meski ada banyak fakta, sebagai pemimpin banyak membuat kerusakan di muka bumi. Untuk itulah dimintai pertanggungjawabannya sebagai pemimpin kelak dikemudian hari atas apa yang dipimpinnya, sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits HR. Bukhari tersebut..
Meski begitu, banyak yang kemaruk (bernafsu) untuk 2 periode atau 3-5 periode jika konsitusi-regulasi membolehkan. Inilah persoalan di negeri adakadabra-negeri soak, kekuasaan selalu saja ingin tanpa batas, jika perlu sampai mati.
Padahal begitu beratnya atas hisab pertanggungjawabannya sebagai pemimpin, apalagi suka membuat kerusakan di muka bumi. Politik devide et impera, Machiavellian, Orwellian, Post-Trut dan Getong Babi adalah makna dari pemimpin yang membuat kerusakan di muka bumi.
Mengertikah-Tak Pahamkah?
Raja Prancis Louis ke-XVI selalu mengatakan kepada rakyatnya bahwa Mahkota (Raja) di kepalanya adalah pemberian Tuhan, sehingga hanya Tuhanlah yang bisa mencopot Mahkota di kepalanya.
Raja Luis ke-XVI-lah yang mengklaim soal bibit-bebet-bobot dan keturunannya, dari mana ia lahir, dengan perkataan lain dari bibit-bebet-bobot dan keturunan itu haruslah terlahir dari ‘darah bangsawan’ atau ‘Darah Biru’, sebagai status sosial derajat yang terhormat, dan yang berhak atas tahta dan mahkota raja-kerajaan tersebut. Yang tidak berasal dari keturanan; bibit-bebet-bobot Darah Biru tidak berhak menjadi pemimpin, karena dianggap derajat sosialnya dari kasta sudra.
Sikap arogansi kekuasaan dan ketamakan kekuasaan tersebut membuat rakyat Prancis berujung menjadi kemarahan nasional. Meletuslah revolusi kebudayaan yang paling radikal dilakukan oleh kesadaran kolektif bangsa yang dituntun oleh maralitas dan etika sebagai bangsa dan negara beradab. Dipandu oleh kesetaraan derajat, harkat dan martabatnya sebagai manusia-warga negara-Prancis. Bibit-bebet-bobot adalah sebagai bentuk politik rasisme yang berbahaya bagi masa depan bangsa dan negara.
Revolusi kebudayaan dan moralitas tersebut, akhirnya menyeret sang Raja ke tiang Guillotine, dan akhirnya pisau guillotine memancung kepala Raja Louis ke-XVI, dan copotlah Mahkota Raja tersebut dan bahkan memisahkan kepala sang Raja dengan tubuhnya, untuk membuktikan bahwa Mahkota tersebut bukanlah dari Tuhan. Mahkota tersebut adalah milik rakyat, sehingga rakyatlah yang berhak mencopotnya atas kepongahan dan keangkuhan kekuasaan Raja Louis ke-VXI tersebut. Kedaulatan adalah di tangan rakyat; vox populy vox dei.
Raja Louis ke-XVI dan istrinya Marie Antoinette kepala dan mahkotanya dipisahkan oleh pisau guillotine. Raja Louis ke-XVI dieksekusi di depan umum pada 21 Januari 1793. Berakhirlah klaim bahwa mahkota tersebut adalah dari Tuhan dan yang berhak mencopot mahkota adalah Tuhan itu sendiri. Raja Louis ke-XVI tidak menyadari atas kekuasaan Tuhan di atas segalanya, dan Tuhan tidak menyukai-membenci manusia-manusia tamak bin rakus bin kejahanaman atas kekuasaan yang di pundaknya.
Revolusi kebudayaan yang dituntun moralitas dan etika publik tersebut melahirkan ‘vox populy vox dei’ (Demokrasi; Trias Politica). Suara Rakyat adalah suara Tuhan, yaitu suara rakyat yang mengandung kebenaran, karena Tuhan tidak pernah berbohong apalagi berkhianat. Tuhan tidak memproduksi kebohongan atau hoax seperti para pemimpin di negeri adakadabra-negeri soak.
Bupati Nina rupanya tidak mengenal sejarah panjang peradaban umat manusia-monarki-otokrasi, yang kemudian melahirkan sistem demokrasi, dengan filosofinya adalah ‘kesetaraan’ umat manusia yang terlepas dari persoalan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan), dan bukan pula politik rasisme untuk mencapai tujuan kekuasaannya.
Bupati Nina rupanya tidak mau belajar antropologi sejarah kekuasaan dan politik, bahkan mungkin sangat tidak mengerti apalagi mau paham soal vox populy vox dei, sehingga dalam idiologi dan atau pandangan politiknyta menjadi ‘Rasisme’ yang sangat berbahaya bagi demokrasi. Tidak hanya itu, tetapi sudah menyentuh pada problem sosial SARA yang bertentangan dengan peradaban kesetaraan umat manusia, demokrasi dan Pancasila.
Fakta konkret tersebut dilontarkan pada acara-arena resmi ‘Pembinaan Penataran Penguatan dan Peningkatan Pilar-Pilar Sosial Tahun 2024’ yang dibiayai APBD. Sebagai premis, pandangan atau idiologi seperti itu menjadi sangat berbahaya, dan menjadi bencana bagi bangsa dan negara.
Bibit-bebet-bobot dan turananya tersebut seolah-olah mengafirmasi dirinya lahir dari keluarga terhormat, terpandang, karena sebagai anak pejabat tinggi alias keluarga Jendral Polisi. Jika tidak punya status sosial dari turunan atau bibit-bebet-bobot keluarga terhormat-terpandang, jangan dipilih sebagai Bupati nanti. Lihat bibit-bebet-bobotnya-keturunannya siapa.
Secara tidak langsung mengatakan, tahu dirilah jika ingin menjadi Bupati atau ikut-ikutan Pilbup. Tak usah mencalonkan diri, dan bahkan secara langsung menggiring masyarakat dan opini publik untuk memilih dirinya kembali, karena yang paling terhormat adalah dirinya dibandingkan cabup/cawabup laninnya. Status sosial yang diklaimnya sebagai derajat sosial yang tinggi atau terhormat.
Politik rasisme; bibit-bebet-bobot dan turunannya juga makin ditegaskan secara gamblang pada saat Bupati Nina sudah dalam posisinya sebagai cabup saat mau mendaftarkan dirinya sebagai paslon cabup-cawabup di KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) pada Rabu, 28/6/2024.
Paslon cabup-cawabup Nina Agistina Dai Bachtiar-Tobroni, di mana Tobroni merepresentasikan persekutuan padangan politik rasismenya dengan tegas mengajak-mengatakan. masyarakat Indramayu untuk selektif dalam memilih pemimpin dengan melihat bibit-bebet, dan bobotnya (statusrakyat.com, 28/8/2024: Ribuan Masyarakat Indramayu kawal Pendaftaran Nina-Tobroni ke KPU Indramayu). Berita rilis tersebut juga dimuat beberapa media online lainnya.
Premis bibit-bebet-bobot dan tuturanannya tak bisa terbantahkan lagi, sehingga secara motif dan politik kekuasaan, ingin mempertegas dan mengatakannya, bahwa yang bukan dari bibit-bebet-bobot keluarga yang berpangkat atau bukan dari keluarga pejabat tinggi atau bukan dari keturunan keluarga terhormat dalam status sosialnya, tidak layak bahkan secara ektrim harus dikatakan tidak berhak menjadi pemimpin; Bupati.
Racun idiologi dan atau politik rasisme dan atau SARA tersebut yang disuntikan kepada masyarakat, tentu, menjadi bencana buat bangsa dan negara, khususnya buat Indramayu. Bagaimana Indramayu bisa menatap hari depen dan atau ke depan, jika idiologi-pandangan politiknya adalah rasisme.
Politik rasisme hanya akan melahirkan kepemimpinan yang otoritarian. Idiologi-pandangan politik rasisme hanya akan melahirkan penguasa yang hampa nurani-suasana abathin, tidak memiliki wisdom, dan sama sekali tidak-bukan melahirkan pemimpin dalam kepemimpinannya.
Dalam demokrasi, Pancasila dan konstitusi, siapapun, apakah dirinya berasal dari bibit-bebet-bobot dan keturunan dari buruh tani, tukang ngoyos-tandur, tukang batu, tukang becak dan seterusnya, bukan dari kelurga pejabat tinggi-keluarga Jendral, mempunyai hak konstitusi untuk dipilih dan memilih.
Meski, bukan pula dari status sosial dari derajat yang terhormat menurut masyarakat feodal dan atau yang mengklaim dirinya dari kelauraga terpandang, secara konstitusional hak konstitusinya dijamin penuh. Tentu, jika memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku,. Mereka berhak mencalonkan dirinya dan atau berhak untuk dicalonkan jika ada yang sepakat untuk mencalonkan dirinya sebagai pemimpin formal; menjadi cabup-cawabup.
Keturunan jelata-gembel tak terhalang oleh konstitusi, Pancasila dan demokrasi, hak konstitusionalnya melekat absolut selama konstitusi kita belum berubah menjadi negara fasis atau komunis atau monarki absolut. Negeri ini menganut demokrasi, Pancasila dan bukan negara machtaat.
Dalam demokrasi tidak mengenal SARA dan Rasisme. Itu yang tidak dimengerti dan atau tidak dipahami Bupati Nina, sehingga kengawuran dan kesoakannya terus dipelihara dalam pandangannya, mempertegas makna bibit-bebet-bobot dan keturunannya sebagai postulat yang didalilkannya.
Jika bangsa dan negara ini mau maju dan atau jika Indramayu mau merubah dirinya, mau maju dan sejahtera, tentu yang harus dipilih adalah pemimpin yang negarawanan. Pemimpin yang siddiq, amanah, tabligh dan fathonah. Pemimpin yang mempunyai since of crisis. Pempimpin yang mempunyai kapabilitas-kapabilitas intelektual akademik supaya tidak ngawur dan atau tidak menjadi soak.
Pemimpin yang tidak bersemayam jiwa penguasa, karena hanya memamerkan kearogansian kekuasaan dan ketamakan kekuasaan. Pemimpin yang bersemayam dalam kalbunya suasana kebathinan nestapaan sosial dan kemarahan sosial jika melihat ketidak-adilan, ketidak-sejahteraan, ketidak-merataan, ketidak-setaraan. Pempimpin yang mempunyai etikabilitas, intelektualitas, moral call dan ethical sensitivity.
Pemimpin yang tidak mengedepankan pencitraan, dan kerja-kerja yang manipulatif untuk mengejar segudang penghargaan dengan proposal yang merdu untuk mendapatkan penghargaan tersebut. Pemimpin yang tidak mempertontonkan fatamorgana dalam kepemimpinannya dan dalam pemerintahannya.
Itu yang bisa merubah kondisi sisial yang rusak-bobrok, karena perubahan tidak akan datang dengan hanya slogan, retorika dan jargon-jargon kemewahan kata-kata dengan memanipulasi kata dan makna kata itu sendiri. Perubahan tidak bisa diwujudkan dengan berita-berita rilis (media) yang fatamorganais yang disuguhkan di arena publik.
Rasisme dan politik rasisme tidak akan membawa perubahan takdir sosial yang meng-ada, karena merupakan produk kebudayaan feodalistik yang bobrok-soak dan atau peradaban darah biru-Monarki-Aristokrat yang mengkjlaim dirinya paling terhormat. Tahta kekuasaan dan atau kepemimpinan harus dari keluarga ningrat-kerajaan, di luar darah biru adalah haram menjadi pemimpin diberbagai tingkatan.
Para penganut idiologi-politik rasisme setelah berkuasa antara lain adalah Adolf Hitler, Idi Amin, Shah Muhammad Reza Pahlevi, Ferdinan Marcos, Kim Jong-Il, Simon Peres, Musi Dayan, Benjamin Netayahu, Fidel Castro. Saddam Hussein, Joseph Stalin, Pol Pot, Francisco Franco, Bloody Mary.
Idiologi-pandangan bibit-bebet-bobot-(ke)turunannya-rasisme yang masih sangat subur bersemayam di negeri ini, seperti halnya Bupati Nina, menjadi sangat berbahaya bagi kita semua (Indramayu), bangsa dan negara, bencana bagi demokrasi dan Pancasila.
Konstitusi kita tidak memberikan privilege dan atau hak monopoli untuk keturunan dari kaum berpangkat-anak pejabat tinggi, kalangan ningrat ataupun keturunan darah biru untuk menjadi Bupati, Walikota, Gubernur maupun Presiden.
Bagi siapapun, terutama yang sangat berambisi atau seorang ambisius, mustinya mengerti dan paham akan sejarah revolusi kebudayaan yang sangat amat radikal-peradaban moralitas suatu bangsa atas terpisahnya Mahkota Raja dan Kepala Raja Louis ke-XVI pada 1793 yang melahirkan keseteraan hak manusia dalam bernegara dan berbangsa, untuk bisa menjadi pemimpin sesuai dengan apa yang disebut dan atau yang dimaksudkan di kita dengan demokrasi dan Pancasila.
Bupati Nina rupanya tidak mengerti dan atau tidak paham, bahwa Mahkota Raja dan Kepala Raja Louis ke-XVI dipisahkan oleh pisau gelotin di tiang gelotin secara sadis adalah untuk mengakhiri politik rasisme. Untuk mengkahiri politik bibit-bebet-bobot. Untuk mengakhiri ketamakan dan kerakusan akan kekuasaan. Untuk mengakhiri absolutism kekuasaann dan kearogansian kekuasaan.
Mahkota Raja dan Kepala Raja Louis ke-XVI dipisahkan oleh pisau gelotin dan di tiang gelotin adalah untuk melahirkan kesetaraan umat manusia di muka. Untuk melahirkan vox populy vox dei (suara rakyat yang mengandung kebenaran). Untuk membawa peradaban umat manusia tanpa rasisme dalam berbangsa dan bernegara, dan dalam kepemimpinan. Untuk melahirkan kenegarawanan yang harus menjadi pemimpin, bukan seorang penguasa yang harus memimpin.
Jika pemimpin tidak mengerti dan tidak paham dengan sejarah radikal revolusi peradaban-moralitas politik dalam berpolitik kemudian menjadi Bupati dan seteusnya, itu semua bencana dan petaka bagi demokrasi dan Pancasila, bencana dan petaka bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Indramayu adalah desa kecil dari desa besar yang bernama Indonesia dan keindonesiaan, dan Indonesia adalah bagian dari warga dunia.
Sidik, amanah, fathonah dan tablig tidak akan bersemayam pada penguasa yang mengklaim sebagai pemimpin, sekalipun slogan, jargon dan retorika-retorika yang dibangun menggunakan postulat agama, karena agama sekedar menjadi permainan kata-kata yang hanya hidup dalam slogan, jargon dan retorika dari kata itu sendiri. Antara perkataan-ucapan-kata-kata dan perbuatan bagaikan langit dengan bumi.
Untuyk itu, apalagi, jika yang menjadi Bupati adalah penganut idiologi-pandangan politik rasisme; bibit-bebet-bobot. Adakadabra adakadabra adakadabra-negeri soak. Apa kata dunia. ***
Singaraja, 4.9.2024.
Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com