Selasa, November 26, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Kampus Panik, Kritik Dibungkam dan Berujung Pengancaman

Indramayu, Demokratis

Bagi kalangan mahasiswa, kampus adalah miniatur negara yang secara bentuk memiliki teritorial khusus. Di dalamnya, layaknya sebuah negara sesungguhnya, dengan beragam dinamika dan juga ruang-ruang demokrasi.

Sebagaimana yang termaktub di dalam Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mendefinisikan bahwa pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Peserta didik atau kalangan mahasiswa menilai bahwa hal tersebut justru bertolak dari pandangan. Bahwa pendidikan yang seharusnya berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pendidikan berupaya memberikan bantuan untuk membebaskan manusia di dalam kehidupan objektif dari penindasan yang mencekik mahasiswa.

Situasi dan kondisi yang bertolak pandangan tersebut dialami oleh kalangan mahasiswa di Universitas Wiralodra (Unwir) Indramayu, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, yang dinilai bahwa kampus menjadi panik saat datangnya kritik.

Menindaklanjuti surat edaran yang bernomor 523/UW/IV/Q.2020, Perihal Pedoman Pelaksanaan Perkuliahan, Secara Daring di Universitas Wiralodra, yang dibuat serta dikeluarkan oleh pihak kampus pada tanggal 13 April 2020.

Dalam isi Surat Edaran Rektor tersebut yang bernomor 005/SE/R.UW/IV/2020 tentang Perpanjangan Penyelenggaraan Pembelajaran Secara Daring dan Bekerja dari Rumah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Virus Corona di Universitas Wiralodra.

Kemudian surat edaran Nomor 006/SE/R.UW IV/2020 tentang subsidi kuota internet bagi mahasiswa untuk penyelenggaraan pembelajaran secara daring dalam rangka pencegahan penyebaran virus corona di Universitas Wiralodra yang ditanda tangani serta cap stempel oleh Dr Ujang Suratno SH MSi.

Atas isi surat edaran tersebut, melalui Presiden Mahasiswa (Presma), Ervan Aldani (16/04) menjelaskan bahwa sebagian pihak mahasiswa tidak sepakat dengan adanya kebijakan dari pihak kampus terkait sistem pembelajaran yang dirubah.

“Jelas tidak efektif alasannya adalah pertama, kita untuk mengakses, kita membutuhkan kuota internet atau android, sedangkan tidak semua mahasiswa mempunyai android atau android yang memadai. Kemudian jadwal yang tidak sesuai dengan yang sudah ditetapkan oleh kampus,” ujar Ervan saat dikonfirmasi oleh Demokratis melalui pesan elektronik.

Selain berupaya dengan melakukan tuntutan terkait subsidi dan pembayaran DPP, kemudian kalangan mahasiswa pun masih meragukan terkait metode pembelajaran e-learning yang kurang efektif, karena masih ada dosen yang melakukan KBM di jam malam.

“Seluruh elemen mahasiswa tidak sepakat dengan adanya kebijakan dari pihak kampus terkait subsidi pendemi Corona ini sebesar 50K untuk memfasilitasi kuliah online. Karena tidak relevan pada lapangan dan kehidupan sehari-hari, apalagi hari ini dosen mengharuskan mahasiswa untuk melakukan kegiatan perkuliahan,” tambahnya.

Masih menurutnya, bahwa selama ini pihak kampus belum mengetahui sepenuhnya apa yang dirasakan mahasiswa dari dampak Covid-19. Seharusnya pihak kampus memberikan kebijakan lebih agar sistem perkuliahan dirasakan dengan nyaman oleh mahasiswa dan pihak kampus pun jangan memutuskan kebijakan tanpa ada persetujuan bersama oleh seluruh kalangan mahasiswa.

Pada hari Kamis (16/04), dari hasil audiensi menunjukan bahwa pihak kampus tidak memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk berdialog, khususnya pimpinan kampus tidak berada di tempat.

“Pihak kampus tidak memberikan kesempatan untuk berdialog dengan elemen mahasiswa khususnya pimpinan kampus tidak ada di situ. Hasil dari audiensi atau tanggapan dari pihak kampus menghasilkan keputusan yang tidak disepakati oleh mahasiswa dan tidak sesuai dari tuntutan awal,” tegasnya.

Pada pekan selanjutnya, hari Kamis (23/04) dari hasil konsolidasi dan kesepakatan di berbagai Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas, Mahasiswa Unwir kemudian melakukan aksi dengan memasang spanduk penolakan yang berisi tuntutan mahasiswa di depan gedung.

Mahasiswa masih bertahan dengan duduk di bahu jalan depan gerbang kampus. Tuntutan tidak membuahkan hasil, pihak kampus memberi perintah kepada satpam agar menurunkan spanduk yang berisikan tuntutan tersebut.

“Iya katanya tidak pantas kalau dipasang di depan terus tidak enak kalau banyak yang lihat. Serta kan surat sudah direspon,” penjelasan dari salah satu mahasiswa yang mengikuti jalannya aksi.

 

Ancaman Untuk Mahasiswa

Sebelumnya, pihak mahasiswa sudah merasakan kejanggalan dengan datangnya surat edaran terkait subsidi kuota dan metode pembelajaran yang dirubah di tengah wabah yang menjadi isu global.

Keterangan dan informasi dari narasumber, bahwa ada oknum pejabat di kampus yang mengancam melalui aplikasi WhatsApp Grup, terkait dengan kegaduhan dan provokator yang dibuat oleh mahasiswa khususnya kepada mahasiswa yang mendapatkan beasiswa Bidikmisi.

Pihak kampus tidak segan-segan untuk mencabut beasiswa Bidikmisi yang telah diterima oleh peserta didik. Selain mencabut beasiswa, oknum pejabat tersebut pun memerintahkan kepada salah staf untuk meminta daftar nama mahasiswa Bidikmisi yang dirasa menjadi biang kegaduhan dan memberi kritikan kepada kampus.

Hal di atas saat dikonfirmasi Demokratis kepada Rektor Dr Ujang Suratno (23/04) menjelaskan bahwa terkait pengancaman tersebut tidak ada instruksi dari oknum dosen. Sebab dosen tidak ada keterkaitan dengan pemberian beasiswa.

“Iya mungkin saja, tapi saya tidak memerintahkan staf sperti itu. Sepengetahuan saya berkaitan dengan beasiswa ini, orang dicabut haknya kalau nilainya (IPK) kurang dari 3. Sementara beasiswa keuangan langsung ke rekening mahasiswa. Namun ada kasus itu dapat beasiswa tapi uangnya engga dipakai untuk biaya pendidikan, sehingga anak ini mandeg tidak bisa ikut proses skripsi, karena beasiswa tidak mengcover biaya skripsi (proposal, bimbingan dan ujian),” jelas Ujang memberikan keterangan melalui pesan tertulis.

Selanjutnya, masih keterangan dari rektor, pihaknya berdalih bahwa ia sama sekali tidak memberikan instruksi kepada oknum staf dengan penjelasan yang tidak berkenan dan tidak seharusnya dikeluarkan khususnya dalam dunia pendidikan.

“Saya lihat itu kekesalan di bagian kemahasiswaan, memang bidik misi ini dari ketika mereka awal masuk. Jadi sebenarnya seleksinya bukan prestasi dulu tapi ketidakmampuan. Namun di persyaratan nanti IPK haru min 3 dan di fakta integritas harus digunakan untuk pendidikan. Engga lah, masa gara-gara demo dikeluarkan, kita ini negara demokrasi,” tutupnya melalui pesan singkat. (RT)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles