Oleh DR Mas ud HMN
Mengenang Mutammimul Ula Sarjana Hukum seorang sahabat yang wafat 7 Mei 2020 terasa bersesuaian 13 Ramadhan 1441 Hijriah menyentakkan perasaan yang dalam. Kepergian yang bukan meninggalkan air mata kesedihan biasa. Bukan embun yang kering diterpa panas, tapi air mata dari langit persada kuasa, melintas buana duka dan cinta yang ikhlas.
Mutammimul Ula Sang Mujahid itu meningalkan kita dalam usianya yang ke-63. Meninggalkan anak-anak dan istri yang dicintainya serta iringan doa dari sahabatnya. Kita menyaksikan perjalanan hidupnya lalu ia pergi dengan tenang. Sahabat dan keluarga ikhlas melepasnya. Innalillahi wainna ilaihi rajiun.
Tidak ada keraguan padanya bahwa ia datang dengan sebaik kedatangan dan ia pergi dalam sebaik kepergian. Menjelang pertengahan Ramadhan bulan suci ini jadi saksi. Khusmul khatimah sebagai harapan orang yang beriman.
Saya mengenalnya karena sama-sama aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII). Usia saya yang senior dalam posisi organisasi PII di Pimpinan Pusat atau Pengurus Besar. Ia jadi PB PII jauh di belakang saya. Periode saya tahun 80-an. Ia periode setelah itu. Dari Ketua Wilayah PII Jawa Tengah hingga Ketua Umum PB Pelajar Islam Indonesia Jakarta . Ia sosok militans.
Dalam perjalanan waktu, saya sebagai wartawan dan kemudian menyelesaikan Doktor menjadikan saya berhubungan dengan almarhum berkelanjutan. Saya lanjut mengabdi sebagai Dosen, ia meniti karir sebagai politisi. Kemudian terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ia di DPR dua periode dan selama itu ia menjabat Ketua Komisi II yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri dengan mitra utamanya Menteri Dalam Negeri.
Saya satu waktu bercanda dengannya. “Anda sepantasnya jadi Menteri Dalam Negeri dengan kapasitas kemampun Anda”. Dia semula hanya tersenyum. “Kapan Anda jadi Menteri Dalam Negeri?” kata saya lagi. “Hahahaaa..,” dia ketawa.
Ia cerdas dan pekerja serius. Ada dalam jajaran Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dia yang saya kenang tak terlupakan saat saya pergi ke New Delhi undangan seminar. Dia bantu saya dengan mengontak Duta Besar Indonesia yang dulu anggota DPR sama-sama di Komisi II.
Ketika saya ketemu Dubes, dia menelpon langsung dari Jakarta mengabarkan saya ada di New Delhi. Kebetulan di hadapan saya Pak Dubes menyatakan bawa saya sedang berbicara dengan dia berada di hadapannya. “Ini saya sedang berhadapan dengan saudra Mas ud,” ujar Pak Dubes.
Waktu dia tak lagi di DPR, saya temui dia di rumahnya di kawasan Bogor. Ia sakit, tapi mulai baik. “Ya nampaknya abang sehat. Saya sakit karena dulu terlalu banyak duduk tanpa olahraga,” katanya.
Ia menyatakan fisiknya tidak bermasalah maka bisa aktif mengurus masjid di dekat rumahnya. Saya tanya keluhannya, ia jawab memori atau daya ingatnya sering lupa atau keliru. Maka dibantu anak dan istrinya.
Itulah simpulan ringkas bicara tentang Mutammimul Ula. Dalam perspektif waktu bagi anak manusia berkolerasi dengan kepastian. Yaitu ada masa datang dan ada masa pergi. Menselaraskan waktu dengan kehidupan manusia.
Dr Hamka seorang cendekiawan terkenal membentangkan menjadi tiga momentum sejarah manusia yang amat penting dan menggembirakan. Hanya banyak juga orang tidak menyadarinya. Apa itu?
Pertama momentum saat kelahiran manusia. Saat luar biasa lahir dari kandungan ibu. Kedua nyata, dia aman sebelumnya dalam kandungan. Bayi lahir dengan kecemasan dan kehawatiran bagaimana hidup di alam bebas yang amat berbeda sebelumnya hidup dalam kandungan yang relatif tenang dan surgawi.
Menghadapi itu sang bayi menangis. Takut dan kahawatir pada era baru dunia. Berangsur-angsur menyusu pada ibunya. Ada panas, ada dingin, ada lapar. Namun masa berjalan ia menjadi anak manusia yang menerima kenyataan hidup. Ia menjadi dewasa ia mulai senang, tertawa dan betah. Tersenyum dalam kebahagaian. Kondisi yang ini diterima. Ia berbahagia.
Momentum kedua adalah memasuki rumah tangga berkeluarga. Tak jarang orang menjadi khawatir nagaimana nanti. Bagaimana hidup bertanggung jawab, mencari dan memenuhi kebutuhan hidup. Tapi tidak lama, masa takut dan khawatir hilang. Orang menemukan hidupnya. Menjadi berbahagia. Hidup bersama keluarga. Ketakutan dan kekhawatiran hilang.
Momentum ketiga adalah kematian. Semua khawatir dan takut pada kematian. Sementara kematian itu pasti. Tiap waktu kita menyaksikan kematian. Tapi tetap saja orang takut mati.
Di sinilah lemahnya manusia. Ketakutan pada datangnya maut menjemput tidak pernah hilang. Mestinya belajar pada dua momentum di atas tadi yakni, masa lahir, masa berumah tangga dan masa kematian ada persamaannya. Yakni masa meninggalkan dunia adalah momentum yang penting dan sesuatu yang menjajikan akan lebih baik.
Sari pati inilah yang dibentangkan Buya Hamka. Sepatutnya manusia belajar tuntas dengan pengalamannya. Yakni semua akan terjadi kecuali wafat waktu kecil. Selain itu akan menghadapi tiga momentum kehidupan manusia. Semula dengan tangis, kesedihan dan ketakutan, namun akhirnya berbahagia. Itulah khusnul khatimah.
Mungkin menghadapi maut suatu momentum yang spesifik dibanding lainnya. Karena belum ada empirik manusia bisa menjelaskannya. Tapi ajaran agama menerangkan demikian, yaitu akhirat atau kematian itu lebih baik dari dunia.
Akhirnya, bagi kita yang tinggal pembelajaran terhadap tiga momentum lain atas perjalanan anak manusia yang dikemukakan Buya Hamka sepantasnya kita ambil pegangan hidup untuk diejawantahkan. Untuk sahabat kita Mutammimul Ula semoga mendapatkan tempat yang terbaik di sisi-Nya. Amiin.
Jakarta, 9 Mei 2020