Senin, Agustus 4, 2025

Kembalikan Kerugian Negara, Koruptor Lepas dari Jerat Hukum?

Jakarta, Demokratis

Polemik koruptor yang lepas dari jerat hukum jika telah mengembalikan kerugian negara, menjadi perbincangan hangat. Pro kontra terhadap kebijakan tersebut menghiasi jagat maya maupun seminar hukum.

Wakil Sekretaris Jenderal DPN Peradi Bidang Hukum & Perundang-Undangan, Mohammad Mara Muda Herman Sitompul mengatakan, demi keadilan, peraturan tersebut di cabut dan Undang-Undang Tipikor harus diterapkan.

“Seharusnya tetap diproses, karena itu sifatnya kejahatan,” ujar Herman, Kamis (27/2/2025), di Jakarta.

Advokat yang akrab disapa dengan panggilan Hersit ini melihat, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2017, bertentangan dengan Undang-Undang Tipikor. Para kepala desa (kades) yang korupsi dan memulangkan kerugian negara, proses hukumnya tidak dilanjutkan. Padahal Undang-Undang Tipikor menegaskan, pemulangan kerugian negara tidak menghapus tindak pidanya.

Herman juga membandingkan kerugian negara akibat permainan oknum kepala desa di Tapanuli Tengah, terkait pengadaan lampu solar cell pada tahun 2019 dimana pemulangan kerugian negara para kades lepas dari jeratan hukum. “Padahal seandainya itu dugaan KKN tidak dilaporkan oleh para aktivis pegiat korupsi uang itu tidak akan dikembalikan,” kesal Herman.

“Menurut saya, mestinya mengacu pada Undang-Undang Tipikor. Karena objek perbuatannya adalah tindak pidana korupsi. Walaupun kerugian negara dikembalikan, proses hukum harus tetap berjalan. Kerugian negara yang telah dikembalikan itu sifatnya meringankan,” tutur Herman.

Disebutkannya, Inspektorat Daerah yang berfungsi sebagai APIP, semestinya tidak di bawah naungan Bupati atau Gubernur. APIP itu harus garis vertikal sehingga intervensi oleh Bupati dan Gubernur tidak ada.

“Harus vertikal itu, sehingga independensi dan obyektifitas terkontrol dengan baik. Sehingga uang negara dapat diselamatkan,” timpal pakar hukum acara pidana dan kriminologi dari FHS Universitas Mathla’ul Anwar Banten ini.

Dosen Terbang Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang sudah mengajar di 50 PTN/PTS se-Indonesia ini menuturkan, banyak perundang-undangan yang dibuat eksekutif dan legislatif tumpang tindih. Aturan yang dibuat kurang mengacu pada kajian akademis yang mempunyai nilai pilosofi, tapi terkesan hanya kajian politis semata.

“Kadang juga menimbulkan masalah. Mestinya tidak demikian,” tutupnya. (MH)

Related Articles

Latest Articles