Indramayu, Demokratis
Di tengah sulitnya perekonomian yang membelit warga Desa Kedungwungu, Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat, peserta program sertifikat massal Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), akibat terdampak musim paceklik berkepanjangan, sehingga keseharian hidupnnya kini semakin kesusahan.
Namun konidisi ini tak menjadi penghalang bagi Kepala Desa (Kades) Kedungwungu, Bahar, membebani warganya dengan biaya pembuatan sertifikat PTSL antara Rp250 ribu hingga Rp400 ribuan/bidangnya.
Masyarakat pun mengeluh dan merasa keberatan atas pungutan biaya yang dikenakan panitia dan Pemdes setempat.
Praktek culas Kades tersebut dituding warga sebagai pencuri, lantaran diduga mengutip biaya pembuatan sertifikat massal di luar ketentuan alias pungutan liar (pungli). Sementara pungli sendiri bagian tindak pidana korupsi.
“Saya ikut menjadi peserta program pembuatan sertifikat (PTSL), biayanya Rp400 ribu untuk sebidang tanah darat,” ujar salah seorang warga yang tidak bersedia disebut namanya dan diamini peserta program lainnya ketika dihubungi awak media, Minggu (16/3/2025).
Menurut mereka, biaya sebesar itu diklaim hasil rapat dan sosialisasi dengan pihak panitia desa. Namun ironisnya, biaya sebesar itu sudah ditentukan sebelumnya oleh panitia.
“Jadi penentuan biaya bukan hasil musyawarah, besarannya sudah ditentukan pihak panitia desa. Padahal biaya sebesar itu bagi warga yang tidak mampu dirasa memberatkan,” ungkapnya.

Lebih ironisnya lagi, salah seorang peserta program sebut saja Khaerudin (bukan nama sebenarnya) saat diwawancarai Demokratis mengaku sudah membayar Rp400 ribu tapi malah dikenakan lagi biaya lainnya. “Setelah selesai pembuatan sertifikatnya malah diminta biaya tebusan (baca: tambahan) Rp100 ribu lagi,” ujarnya mengeluh.
Kepala Desa Kedungwungu Bahar saat dikonfirmasi, Selasa (10/3/2025) via sambungan selulernya, membenarkan bahwa Desa Kedungwungu pada tahun 2023 dan 2024 mendapatkan program PTSL dari BPN, namun menurutnya hingga kini belum seluruhnya selesai/jadi karena masih dalam proses penandatanganan.
Disinggung mengenai biaya PTSL, Bahar mengaku biayanya normal, tapi dia tidak menyebut secara eksplisit nominalnya berapa, mungkin maksudnya hanya mengutip Rp150.000/bidang sesuai ketentuan, tapi dirinya tidak menampik bila ada warga yang membayar lebih, katanya sebagai uang pembayaran pajak PBB. “Iya, biaya ini normal yang membuat mahal adalah pajak yang belum dibayarkan,” katanya singkat.
Menanggapi hal ini, pentolan LSM Kaliber Indonesia Bersatu, Yadi.S.Fil, saat dihubungi awak media di kantornya, Senin (17/3/2025) memaparkan, jika mengacu kepada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Mendagri, Mendes PDTT No. 25/SKB/V/2017; No. 590-3167A Tahun 2017 dan No. 34 Tahun 2017, biayanya Rp150.000/bidang.
Sementara programnya sendiri sudah dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah bersumber dari APBN alias gratis seperti tertuang dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) di Kantor BPN.
Peruntukkan anggaran tersebut meliputi biaya pengukuran dan pemetaan bidang tanah, penyuluhan, pengumpulan dan pengolahan data yiridis, sidang panitia, pembukuan hak dan penerbitan sertifikat.
“Sedangkan kewajiban masyarakat (peserta program) cukup menyerahkan bukti-bukti kepemilikan tanah (data yuridis) dan dokumen yang diperlukan, pengadaan patok 3 buah dan penyediaan materai sedikitnya 4 lembar,” ujarnya.
Masih kata Yadi, bila benar ada pungutan biaya itu melebihi ketentuan tergolong pungli dan setiap pungli adalah bagian tindak pidana korupsi.
“Setiap pengutan tanpa dilandasi undang-undang adalah pungli. Apapun dalihnya kebijakan yang dibuat pemerintah desa dipandang kontradiski dengan regulasi pemerintah atasnya, sehingga batal demi hukum,” tegasnya.
Sehingga menurutnya, sudah selayaknya oknum kades dan panitia yang terlibat seharusnya segera dicokok oleh aparat penegak hukum.
Yadi menegaskan dalam konteks ini aparat penegak hukum tidak usah menunggu adanya pengaduan dari masyarakat. “Kasus ini bukan delik aduan, melainkan laporan peristiwa pidana,” tandasnya.
Pihaknya juga berjanji, bila data-data yuridis sudah diperoleh secara lengkap akan melaporkan kepada aparat penegak hukum.
Labih jauh Yadi memaparkan, definisi laporan dengan pengaduan jelas berbeda, dalam ketentuan umum Pasal 1 poin 24 dan 25 KUHP dijelaskan, bahwa laporan peristiwa pidana adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang, karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang, tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
“Sedangkan pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum terhadap seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya,” tandasnya. (Abh)