Selasa, September 16, 2025

KPK Telusuri Peran Eks Direktur LPEI Bachrul Chairi di Skandal Kredit Fiktif

Jakarta, Demokratis

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mencecar mantan Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), Bachrul Chairi, terkait tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) selama menjabat, dalam kaitannya dengan sejumlah pembiayaan atau kredit yang belakangan dinilai bermasalah.

“Saksi didalami terkait tupoksinya dan pengetahuannya tentang pembiayaan yang bermasalah di LPEI,” kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Jakarta, Sabtu (12/4/2025).

Bachrul merampungkan pemeriksaan tim penyidik pada Jumat (11/4/2025). Sementara itu, mantan Direktur LPEI lainnya, Susiwijono Moegiarso—yang kini menjabat Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian—tidak menghadiri pemeriksaan yang dijadwalkan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.

Menurut Tessa, Susiwijono telah mengajukan permintaan penjadwalan ulang pemeriksaan pada Senin (21/4/2025). Namun, hingga kini belum diketahui alasan ketidakhadirannya. “Minta penjadwalan ulang tanggal 21 April 2025. Alasan tidak disampaikan penyidik ke saya,” ujarnya.

Sekadar informasi, Susiwijono baru-baru ini menghadiri Turki–Indonesia CEO Roundtable Meeting bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Turki. Belum ada informasi pasti apakah ia masih berada di luar negeri atau telah kembali ke Indonesia.

Diketahui, KPK mengungkap adanya dugaan praktik korupsi dalam pencairan kredit fiktif di LPEI. Praktik ini dikenal dengan istilah “uang zakat.” Pelaksana Harian (Plh) Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo Wibowo, menjelaskan bahwa istilah tersebut mengacu pada dugaan pemberian komisi oleh para debitur kepada jajaran direksi LPEI, dengan kisaran 2,5 hingga 5 persen dari nilai kredit yang dicairkan.

“Dari keterangan yang kami peroleh dari para saksi menyatakan bahwa memang ada namanya uang zakat ya, yang diberikan oleh para debitur ini kepada direksi yang bertanggung jawab terhadap penandatanganan pemberian kredit tersebut,” ujar Budi kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (3/3/2025).

Ia menambahkan, praktik tersebut diperkuat dengan barang bukti elektronik (BBE) yang telah disita oleh penyidik. “Hal ini memang diterima oleh para direksi LPEI yang memberikan tanda tangan terkait dengan pengusulan kredit tersebut. Kurang lebihnya seperti itu, besarannya antara 2,5 sampai 5 persen dari kredit yang diberikan, kembali lagi kepada para direksi di LPEI,” tutur Budi.

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka. Mereka adalah Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT Petro Energy (PE), Jimmy Masrin (JM); Direktur Keuangan PT PE, Susy Mira Dewi Sugiarta (SMD); dan Direktur Utama PT PE, Newin Nugroho (NN), yang telah ditahan sejak Maret 2025.

Dua tersangka lainnya, yakni Direktur Pelaksana I LPEI, Dwi Wahyudi (DW), dan Direktur Pelaksana IV LPEI, Arif Setiawan (AS), hingga kini belum ditahan.

Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa dalam konstruksi perkara tersebut terdapat dugaan konflik kepentingan antara Direksi LPEI dan debitur PT Petro Energy. Sejak awal, diduga telah terjadi kesepakatan untuk mempermudah proses pemberian kredit.

Direksi LPEI disebut tidak menjalankan pengawasan terhadap penggunaan kredit sesuai dengan ketentuan Manajemen Aset dan Piutang (MAP), bahkan memerintahkan bawahannya untuk tetap mencairkan kredit meski tidak layak diberikan.

PT PE juga diduga memalsukan dokumen purchase order dan invoice sebagai dasar pencairan kredit, yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Selain itu, perusahaan tersebut melakukan manipulasi (window dressing) terhadap laporan keuangan.

Dana kredit yang diterima PT PE tidak digunakan sebagaimana mestinya, dan menyimpang dari tujuan serta peruntukan yang telah disepakati dalam perjanjian dengan LPEI.

KPK mencatat, pemberian fasilitas kredit fiktif oleh LPEI kepada PT PE telah menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp846.956.205.027 (Rp846,9 miliar).

Selain PT PE, terdapat 10 debitur lainnya yang juga diduga terlibat dalam peminjaman kredit fiktif, namun belum ditetapkan sebagai tersangka. KPK memperkirakan total kerugian negara akibat kredit fiktif dari 11 debitur tersebut mencapai Rp11,7 triliun. (Dasuki)

Related Articles

Latest Articles