Jakarta, Demokratis
Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Edhie Baskoro Yudhoyono yang biasa dipanggil Ibas dengan argumen penyelamatan nyawa warga negara dan kesehatan rakyat dari ancaman Covid-19 serta menyelamatkan atau memulihkan perekonomian nasional.
Fraksi Partai Demokrat menerima dan menyetujui Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Penegasan ini dikatakan Ibas dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR di Jakarta, Senin (4/5/ 2020). Dalam Rapat Kerja tersebut hadir Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan HAM, Gubernur BI, Ketua OJK, dan Ketua LPS dengan agenda Pengambilan Keputusan tingkat II atas RUU tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi Undang-undang.
Untuk diketahui, Perppu Nomor 1 tahun 2020 mengatur tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Sebaliknya dalam soal terkait dengan hukum, Ibas malah minta pemerintah perlu membuat aturan khusus sebagi dasar hukum darurat atau emergensi dengan tujuan agar tugas Pemerintah bukan hanya efektif tetapi juga sah secara hukum.
Namun demikian Demokrat menolak penerapan kekebalan hukum di dalam Perppu Nomor 1 tahun 2020 yang memiliki cakupan aturan yang luas dan materi yang tidak satu rumpun itu.
“Perppu tersebut menggabungkan dua aturan pembiayaan yakni penanganan dampak Covid-19 dengan aturan penanggulangan stabilitas sistem keuangan yang esensi aturannya berbeda paradigm,” ungkapnya.
Dikatakan justru dengan menerbitkan sebanyak 2 atau 3 Perppu akan lebih efektif lagi. “Bahkan FPD pernah merekomendasikan agar pemerintah mengajukan APBN Perubahan 2020 dalam bentuk Perpu,” jelas Edhie Baskoro Yudhoyono.
Kembali dengan terkait imunitas penyelenggara negara dalam menjalankan Perppu yang diatur dalam Pasal 27 ayat 2 yang dimintakan persetujuan pada DPR. Dikatakannya, FPD mengingatkan bahwa pada tanggal 18 Desember 2008 lalu, DPR pernah menolak Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang dinilai memberikan kekebalan hukum kepada penyelenggara negara.
“Apabila sekarang aturan tersebut diajukan kembali dan akan disetujui menjadi Undang-undang, maka nanti akan menimbulkan inkonsistensi. Justru yang perlu dikedepankan adalah pentingnya penyelenggara negara melakukan kewajibannya dengan tetap adil, amanah, jujur, menjunjung tinggi akuntabilitas dan menjalankan good governance,” kata Wakil Ketua Umum Partai Demokrat ini.
“Artinya FPD mengingatkan agar Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 bahwa kita adalah negara hukum,” tambahnya.
Sementara Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Ecky Awal Mucharam menyatakan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 mengenai Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan telah berdampak buruk pada sistem keuangan.
“Fraksi PKS menolak penetapan Perppu yang dikenal dengan nama Perppu Covid-19 tersebut menjadi Undang-undang karena Perppu itu telah membuka banyak ruang terbuka yang berbahaya bagi sistem keuangan kita. Dengan memberikan kekuasaan tak terbatas pada KKSK, termasuk kekebalan hukum atas dibukanya peluang kebijakan bail-out dan blanket guarante adalah sebagai contoh contoh kebijakan keuangan yang sangat berbahaya,” papar Ecky.
Ia mengatakn, Perpu Covid-19 malah membuka peluang terjadinya kebijakan bail-out atau penyelamatan sektor keuangan swasta dengan keuangan negara yang ini bersifat tak adil.
“Justru seharusnya skema penyelematan bank atau usaha swasta adalah melalui peran pemegang saham yang kepemilikannya oleh group konglomerasi secara bail-in. Sebagaimana ditetapkan pada UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang PPKSK,” ujar anggota Komisi XI DPR RI dari Dapil Kota Bogor-Cianjur.
“Norma ini yang seharusnya yang tetap digunakan dan diutamakan,” kata ekonom asal UI ini.
Apalagi, tambahnya, pemilik bank swasta merupakan konglomerat-konglomerat di negeri ini. Yang ladang bisnisnya banyak dan menjamur ke sektor-sektor lainnya.
“Jadi, tidak ada alasan untuk tidak mampu menggunakan skema bail-in seperti jual asset,” tegasnya.
Hal ini, katanya, berdasarkan pada pengalaman masa lalu, skema bail-out selalu berpotensi melahirkan skandal penyimpangan kekuasaan keuangan negara atas penanganan krisis keuangan, yang telah menimbulkan biaya yang besar dalam ingatan publik atas trauma krisis ekonomi 1997-1998.
“Penyimpangan tersebut telah membebani negara lebih dari Rp 650 triliun ditambah dengan beban bunganya sampai sekarang. Beban berat ini kemudian ditanggung oleh rakyat secara keseluruhan melalui beban wajib pajak dan inflasi yang berkelanjutan,” katanya.
”Yang sebelumnya lewat segelintir kelompok konglomerat saja. Mereka menikmati kebijakan yang tidak adil dari mulai fasilitas BI, BLBI dan Obligasi Rekap. Yang membuat mereka tetap menjadi penguasa kekayaan pasar uang setelah pasca reformasi,” bebernya.
“Jangan sampai mereka ini tetap memiliki privilege oligarki ekonomi dan modal yang sampai mempengaruhi lanskap ekonomi, sosial dan politik juga. Intinya FPKS menolak skema bail-out dari keuangan negara atas kerugian perusahaan swasta baik bank, lembaga keuangan, atau perusahaan lainnya,” tandas politisi berjenggot ini.
Yang lebih buruk lagi, Ecky mengungkapkan, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 akan memunculkan potensi lahirnya kebijakan penjaminan penuh, blanket guarante yang melukai keadilan dan berpotensi memunculkan moral hazard.
“Contohnya pada Pasal 20 disebutkan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana dan/atau peruntukkan simpanan serta besaran nilai yang dijamin bagi kelompok nasabah tersebut yang diatur dengan Peraturan Pemerintah,” urainya.
Begitu juga pada Pasal 22 ayat 1 ditegaskan, bahwa untuk mencegah krisis sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang mengenai LPS.
“Dengan penjaminan penuh, maka seluruh simpanan di perbankan seluruhnya dijamin oleh pemerintah. Tentu ini mencederai rasa keadilan rakyat. Selain berpotensi memunculkan moral hazard di tengah krisis sekarang,” pungkasnya. (Erwin Kurai)