Indramayu, Demokratis
Badan Pusat Statistik (BPS) Indramayu mencatat, bahwa persentase penduduk miskin di Jawa Barat pada Maret 2024 turun menjadi 7,46 persen. Persentase penduduk miskin pada Maret 2024 tersebut sebesar 7,46 persen, menurun 0,16 persen poin terhadap Maret 2023 dan turun sebesar 0,52 persen poin terhadap September 2022.
Kemudian, jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 3,89 juta orang kini menurun 39,93 ribu orang terhadap Maret 2023 dan turun 204,94 ribu orang terhadap September 2022. Sedangkan persentase penduduk miskin perkotaan pada Maret 2023 sebesar 7,19 persen, turun menjadi 7,07 persen pada Maret 2024. Sementara persentase penduduk miskin perdesaan pada Maret 2023 sebesar 9,30 persen, turun menjadi 9,07 persen pada Maret 2024.
“Kalau persentase turun 5 persen dari 2022 ke 2023. Tapi pembangun laju perekonomian tertinggi SE Jawa Barat. Namun itu ada catatan, catatannya itu tidak inklusif tapi ekslusif. Yaitu pertumbuhannya hanya di dorong oleh Balongan. Ada penambahan kapasitas produksi sehingga meningkatkan produksi,” ujar sumber di BPS ketika memberikan keterangan, Selasa (9/7/2024).
Pihaknya menambahkan, jika ingin melihat sektor lainnya khususnya pembangunan dapat disimpulkan dari data yang telah terpublikasi. Sebab, menurutnya bahwa peningkatan yang dimaksud hanya ada di kategori C.
“Jadi kalau diklaim suatu keberhasilan itu dipertanyakan. Ini kan hanya ekslusif tidak inklusif, semua. Jadi kalau pembangunan itu kalau ada investasi bisa menggerakkan di sektor lain. Jadi pertumbuhan tersebut hanya satu kasus saja. Setidaknya semua sektor bergerak. Sektor perdagangan dan sektor pertanian,” tambahnya.
Sehingga dari data yang diberikan tersebut secara global bahwa angka kemiskinan di Jawa Barat telah menurun. Akan tetapi, anomali dan paradoks terkait kemiskinan dan pembangunan yang ada di Kabupaten Indramayu. Pasalnya, kemiskinan di Indramayu justru bertambah. Hal tersebut diatas untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).
Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.
Untuk memahami itu, BPS memiliki konsep perhitungan dengan Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).
Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Sedangkan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari.
Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi. Seperti padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak dan lain-lain.
Fenomena dan fakta seputar kemiskinan dan pembangunan di Kabupaten Indramayu mendapatkan gayung bersambut oleh Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD), Oushj Dialambaqa. Ia mengatakan bahwa RPJMD dan APBD yang tidak dapat diakses oleh publik kemudian diklaim oleh Bupati telah transparan dan akuntabel kemudian terpublikasi ke publik dianggap hoax.
Karena menurutnya untuk dapat mengentaskan kemiskinan dan pembangunan, RPJMD dan APBD di Indramayu dianggap amburadul. Tidak menunjukkan konsep akademik sehingga APBD yang dimaksud tidak mengandung skala prioritas sesuai dengan undang-undang dan regulasi. Terlihat miris bahwa APBD dapat diacak-acak sesuai kehendak Bupati tanpa menempuh APBD-P terlebih dahulu.
“Apalagi soal kemiskinan, sama sekali tidak punya konsep, sekedar mengakal-akali anggaran untuk menjadi program proyek sosial, hasilnya naif, jika diklaim berhasil mengatasi kemiskinan itu namanya soak,” ujar Oo sapaan akrabnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa dengan klaim ketahanan pangan yang tidak memiliki konsep dan program yang terstruktur dan sistemik, sehingga tidak dapat mempengaruhi secara multiplier effect terhadap persoalan kemiskinan, ketahanan pangan dan persoalan pembangunan.
“Jadi konklusinya, semua sebatas klaim keberhasilan. Program untuk orang tidak bisa melek. Mana ada transparansi, yang ada sangat tidak transparan dan tidak akuntabel, amat tertutup data publik, tetapi yang dimuat media, kepemimpinan bupati dan pemerintahannya sudah sangat transparan dan akuntabel,” timpalnya.
Kemudian, menurut Oo, faktanya terbalik, sehingga pemerintah dianggap sangat naif soal kemiskinan, stunting dapat diatasi. Dan sangat naif pula perihal ketahanan pangan dapat terjaga, terlebih perihal pembangunan yang tidak kunjung beres mencakup Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
“Semuanya nyaris absurd, karena kebijakan karwek bupati, dan dewan berada di ketiak bupati, sehingga dewan tidak berperan dan berfungsi sebagai watchdog, sehingga APBD-nya menjadi absurd, kecuali hanya klaim-klaim saja demi pencitraan yang kemudian media lokal guyup menunggu berita rilis tanpa kekritisan, sehingga menjadi setali tiga koin uang. Publik jadi tersesat, tidak melek fakta konkret,” kata Oo memberikan penjelasan dan keteranganya. (RT)