Mendiang Soebandrio Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri era Orde Lama, pernah merasa dalam kebimbangan untuk mengungkap kebenaran sejarah menurut versinya. Ada keiklasan untuk melupakan masa lalu, namun di sisi lain banyak harapan agar ia menuliskan apa yang ia ketahui. Akhirnya, sebelum ia meninggal dunia pada 3 Juli 2004 akibat stroke, sebuah buku berjudul kesaksianku tentang G30S sudah ia tuntaskan. Buku itu menyebutkan sejarah versi Soeharto adalah dusta. Menurut Soebandrio, Soeharto terlibat dalam aksi berdarah G30S. “Soeharto secara matang merencanakan dan melakukan kudeta merangkak,” tulisnya. Soebandrio menegaskan, bukunya itu tidak dimaksudkan sebagai bentuk balas dendam.
Tentu tidak semua korban G30S bersikap seperti mendiang Soebandrio. Sebab, tragedi 56 tahun silam itu melibatkan jumlah manusia yang tidak sedikit. Sekitar tiga juta orang meninggal, belasan ribu dikirim ke pulau Buru, dan jutaan lainnya menerima perlakuan diskriminatif.
Orde Baru, yang dipimpin Soeharto, menciptakan perangkat hukum yang melegimitasi berbagai tindakan aniaya terhadap masyarakat dengan cap komunis pada waktu itu. Pengiriman ribuan orang ke pulau Buru, misalnya sebenarnya demi mengamankan rezim yang baru lahir agar menang dalam pemilihan umum pertama di era Orde Baru, pada tahun 1971. Seharusnya pemerintah sementara pengganti Soekarno menggelar pemilu pada tahun 1968, tapi karena Soeharto yang saat itu menjadi penanggung jawab keamanan-belum siap, hajatan demokrasi itu ditunda.
Mem-buru-kan ribuan orang itu, dengan kelasifikasi golongan “B”, disahkan dengan surat Panglima Komandan Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Nomor KEP 009/Kop-Kam/II/1969, yang ditanda tangani Maraden Panggabean atas nama Soeharto. Jaksa Agung yang bertanggungjawab kepada Pangkopkantib melengkapi aturan hukum lain untuk “melegalkan” penahanan di pulau buru pada tahun 1969-1979.
Ada pun golongan “C”, atau yang dianggap terpengaruh ideologi kiri, setelah ditahan mendapat “hukuman” dalam bermasyarakat, seperti dilarang menjadi pegawai negeri, menjadi anggota parlemen, bahkan ikut pemilihan umum. Pemerintah membakukan beberapa peraturan pembenaran diskriminasi itu, seperti Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 32/1981, yang melarang orang yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan G30S menjadi pagawai negeri, tentara, pendeta, guru.
Bersalahkah Soeharto dalam tragedi 1965? Memang, terutama setelah reformasi, para korban “gempa politik” itu melakukan beberapa upaya hukum menuntut pemerintah-bukan Soeharto langsung-agar bertanggungjawab, dengan cara merehabilitasi nama dan memberikan ganti rugi. Tapi semua tuntutan itu kandas.
Komite Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) pun membentuk tim untuk menyelidiki pengiriman paksa ribuan orang ke pulau Buru, sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia. Anggota Komnas HAM, MM Billah, membentuk tim dan membuat proposal. Tapi, ternyata, metodologi penyelidikan yang ditawarkan Billah tidak disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada pertengahan tahun 2004.
Menurut Billah, gugatan terhadap Soeharto untuk kasus pelanggaran hak asasi manusia di pulau Buru ini bisa dihidupkan kembali jika tujuh dari 20 anggota Komnas HAM menyetujuinya.
“Tapi, itu juga belum jaminan penyelidikan itu akan berlanjut, karena harus kembali minta persetujuan DPR,” kata Billah.
Dia mengakui, berat sekali mengangkat kasus pelanggaran berat hak asasi pulau Buru hingga ke pengadilan. “Masing-masing kepala punya kepentingan,” ia menambahkan, seperti bertamsil. Mungkin jawaban seperti itulah yang membuat orang seperti mendiang Soebandrio ada keiklasan melupakan masa lalu.
Menurut Soebandrio, tragedi G30S 1965 adalah kudeta merangkak Soeharto yang terdiri dari empat tahap. Tahap pertama, menyingkirkan pesaingnya di Angkatan Darat, seperti Jendral Yani dan yang lainnya. Tahap kedua, membubarkan PKI, yang merupakan rival terberat tentara sampai saat itu. Tahap ketiga, melemahkan kekuatan pendukung Bung Karno dengan menangkap 15 menteri yang loyal terhadap Soekarno, termasuk Soebandrio. Tahap keempat, mengambil alih kekuasaan dari persiden Soekarno (tahun 1967 sebagai pejabat presiden, dan tahun 1968 sebagai presiden). ***