Selasa, September 2, 2025

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Oleh Tundra Meliala

KAWAN-KAWAN, kita semua tahu, Kongres Persatuan di Cikarang, akhir Agustus kemarin, menjadi titik balik bagi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Setelah setahun lebih dihantui dualisme, akhirnya terpilih satu nakhoda: Akhmad Munir, Direktur Utama Perum LKBN Antara.

Apa yang istimewa? Bukan sekadar soal siapa yang menang, tapi karena semua pihak sepakat: kubu-kubuan sudah selesai. Tidak ada lagi dua PWI. Yang ada hanya satu rumah besar wartawan. Dan Munir, dengan suara rendah dan sikapnya yang santun, tampil sebagai simbol rekonsiliasi itu.

Kawan, kita tahu betapa capeknya tubuh ini kalau terus diaduk konflik. Wartawan itu mestinya mengurus publik, bukan terus mengurus perselisihan internal. Karena itu, kemenangan Munir bisa kita baca sebagai pesan jelas dari akar rumput: kami butuh ketenangan, bukany pertikaian.

Namun mari kita jujur. Menyatukan PWI yang terbelah bukan perkara gampang. Luka yang menganga setahun ini tidak akan sembuh hanya dengan jabat tangan atau foto bersama. Munir akan butuh energi, kesabaran, bahkan kecerdikan politik untuk merangkul semua faksi. Tugas pertamanya memang itu: memastikan rumah besar ini benar-benar satu atap.

Tugas keduanya, tak kalah berat: menguatkan eksistensi PWI di tengah disrupsi media. Kawan semua tahu, dunia pers sedang berada di persimpangan jalan. Model bisnis lama runtuh, iklan tersedot Google dan Meta, sementara publik lebih banyak membaca berita di gawai ketimbang koran ataupun televisi dan radio. Kalau PWI hanya sibuk dengan urusan internal, jangan salahkan anggota makin merasa tidak dilayani.

Munir sendiri sudah bilang, PWI harus membangun ekosistem media yang kuat dan sehat –baik dari sisi konten, ruh jurnalisme, maupun bisnis. Nah, ini kalimat yang indah. Tetapi, kawan, indah saja tidak cukup. Kita sudah terlalu sering mendengar pengurus PWI baru berjanji soal peningkatan kualitas jurnalisme, menghadapi tantangan digital, dan memperjuangkan kesejahteraan wartawan. Tiga lagu lama itu nyaris selalu diputar lima tahun sekali.

Pertanyaannya: bisakah Munir membuat lagu lama ini terdengar segar dan –lebih penting lagi– berbuah nyata?

Saya kira kuncinya ada di langkah konkret. Misalnya, soal kualitas wartawan. Pelatihan tidak bisa sekadar seremoni. Sertifikasi jangan jadi proyek administratif, tapi betul-betul meningkatkan kompetensi.

Soal kesejahteraan, ini yang nyaris dianggap tabu. Padahal, wartawan lapar sulit menulis jernih. Media anggota PWI butuh model bisnis baru. Kenapa tidak bicara soal diversifikasi pendapatan? Kenapa tidak berani masuk ke wilayah digital, kolaborasi e-commerce, atau bahkan membangun aplikasi berita yang dikelola bersama?

Dan jangan lupa, sinergi. Dunia pers tidak bisa lagi jalan sendiri. Munir, dengan posisi dan jejaringnya di Antara, punya peluang untuk menjalin kerja sama dengan pemerintah maupun swasta. Jika digarap serius, inilah pintu masuk bagi media untuk bertahan hidup, bahkan berkembang.

Kawan-kawan, kita paham tantangan ini tidak kecil. Tapi justru karena berat, langkah-langkah kecil yang berbuah nyata akan terasa luar biasa. Apa yang dulu dianggap klise bisa berubah jadi istimewa kalau kali ini hasilnya berbeda.

Maka, mari kita titipkan harapan kepada Munir. Selamat bekerja, nakhoda baru rumah besar wartawan. Semoga PWI benar-benar kembali jadi tempat kita semua berteduh, dan bukan lagi arena pertikaian yang melelahkan. ***

Penulis adalah Ketua Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat

Related Articles

Latest Articles