Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Aksi Jaringan Mafia Tanah Dengan Korban Artis Nirina Zubir dan Wakil Menlu Dibahas MPR RI

Jakarta, Demokratis

Jaringan mafia tanah yang melakukan pemalsuan kepemilikan tanah akan berhadapan dengan negara dan konstitusi yang akan melindungi hak benda tanah perdata warga negara.

“Negara harus hadir untuk memberantas memutus mafia tanah itu. Yang mana korbannya mulai dari semua kalangan sampai menimpa Nirina Zubir dan ibu Dino Pati Jalal serta purnawirawan Polri,” tegas Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah di Jakarta, Selasa (14/12/2021).

Malah jaringan mafia tanah, katanya, sudah bergerak sampai melibatkan oknum Notaris/PPAT. Dari data Badan Pertanahan Nasional menyebutkan terdapat 242 kasus mafia tanah sejak tahun 2018 hingga 2021. Informasi tersebut ibarat fenomena puncak gunung es. Diduga masih banyak kasus mafia tanah yang tidak terdeteksi karena mafia tanah bekerja secara terstruktur dan terorganisir dengan rapi.

“Beberapa kasus yang viral terakhir ini adalah aksi mafia tanah yang menimpa keluarga artis Nirina Zubir, keluarga mantan Wakil Menteri Luar Negeri Dino Patti Djalal, ibu Dhewi Rumiasa, istri dari Ajun Komisaris Besar Polisi Moch. Made Rumiasa dan berbagai kasus mafia tanah lainnya,” jelasnya.

“Jika anggota masyarakat dari kalangan tokoh atau elite masyarakat tersebut saja bisa menjadi korban mafia tanah, bagaimana dengan nasib rakyat biasa yang tidak punya akses dan kemampuan berhadapan dengan mafia tanah,” katanya.

Dengan demikian, katanya, masalah kejahatan atas tanah adalah masalah yang akan terus aktual dan dapat menimpa siapa saja dan di mana saja. Oleh karena itu, diperlukan hadirnya peran negara untuk mengatasinya.

“Dalam teori pembentukan negara, Thomas Hobbes mengatakan, negara dibentuk dikarenakan manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, homo homini lupus, sehingga diperlukan kehadiran negara yang kuat untuk menegakkan ketertiban,” ujarnya.

Selain itu, tambahnya, para pendiri negara Indonesia telah mengamanatkan dalam pembukaan UUD Tahun 1945 agar membentuk suatu pemerintah negara Indonesia guna melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Negara harus memberi kepastian dan keadilan bagi warga negaranya agar tidak saling “memangsa” satu sama lain.

“Bahwa hak untuk mendapat perlindungan itu juga tertera dalam Pasal 28 G ayat (1) Konstitusi kita bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan,” katanya.

Dalam KUHP, jelasnya, beberapa delik pidana menjadi acuan pemidanaan dalam kejahatan tanah, antaranya Pasal 167 masuk dalam rumah, pekarangan secara melawan hukum, Pasal 263 membuat surat palsu yang dapat menimbulkan sesuatu hak, Pasal 266 memasukkan keterangan palsu dalam suatu akta otentik, Pasal 385 secara melawan hukum menjual, menukar atau membebani sesuatu hak tanah.

“Jadi, sebenarnya hukum positif kita sebenarnya telah mengatur perbuatan pidana menyangkut kejahatan tanah. Hanya saja, pasal-pasal tersebut tidak akan dapat dikenakan begitu saja dengan mudah karena pada kenyataannya, mafia tanah bersekongkol dengan oknum-oknum di lingkungan pemerintahan pusat dan daerah, oknum Notaris/PPAT hingga oknum aparat penegak hukum, hingga oknum di pengadilan,” tambahnya.

Lebih jauh dikatakan bahwa mafia tanah sudah merusak tataran hukum karena tidak hanya di tingkat penyidikan, tetapi juga ke ujung sistem peradilan, yaitu pengadilan.

“Sehingga kerap kali konflik antara mafia tanah dengan rakyat adalah pertarungan antara yang kuat dan yang lemah. Apalagi jika kita melihat banyaknya konflik agrarian di kawasan hutan dan perkebunan, kerap kali rakyat kecil/masyarakat adat harus berhadapan dengan korporasi besar dengan kekuatan kapital yang tidak terbatas,” tandasnya. (Erwin Kurai Bogori)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles