Perubahan adalah satu yang lazim. Sebab di atas dunia ini adalah fana sementara belaka. Yang baqa dan kekal hanyalah zat Allah Yang Maha Kuasa.
Ada wahyu dalam Al Quran: “Kullu faan wa yabqa zul jalalalill wal ikram.“ (Tiap sesuatu akan lenyap yang tetap adalah zat yang abadi). Ayat ini menegaskan tentang seuatu tidak ada yang kekal. Yang kekal atau baqa adalah zat yang Mahama Kuasa.
Maka antara alam semesta dengan kefanaannya dan zat Tuhan dengan kebaqaan. Inilah yang membedakan kebaqaan Tuhan dengan alam semesta. Dimana alam bersifat tak kekal.
Tentang ungkapan pada judul artkiel ini adalah sama. Tak ada kekekalan yang sama sekarang dan dulu. Itu maksudnya adalah kosistensi yaitu berlanjutnya sesuatu secara kosisten adalah prinsip.
Orisinilnya ungkapan di atas adalah lirik lagu. Mengindikasikan cinta kasih yang tak berubah. Kasih sayang yang tak lapuk oleh waktu dan masa.
Dendang atau lagu itu amat terkenal zaman tahun delapan puluhan. Hingga calon presiden Prabowo Subianto menyenangi lirik dan menganyikan lagu dimaksud. Sampai kini lirik lagu itu selain disenangi sebagai ungkapan nyanyian juga sebagai prinsip hidup
Mungkinkah itu? Jawabannya tidak mungkin, kalau hanya sebagai inspirasi, sebagai persepsi mungkin saja. Tetapi tidak mutlak adanya.
Sebagai inspirasi dan persepsi kita merujuk kepada ungkapan dulu boleh saja kini sudah lain.
Posisi sebagai presiden menurut undang-undang tak seperti demikian. Undang-undang menetapkan lain. Dapat berbeda dulu dan sekarang dan kini hak istimewa presiden.
Maka masalahnya apakah Prabowo Subianto setelah terpilih presiden tidak akan berubah. Tetap seperti yang dulu, kok rasanya mustahil adanya. Paling-paling hanya ada dalam dendang lagu belaka.
Simpulan ini berdasarkan alasan di atas tadi. Tidak ada yang tetap, semua berubah. Sekali air banjir sekali tepian berubah, kata ungkapan kuno. Prabowo Subianto presiden yang akan datang penampilannya masih tanda tanya.
Demikianlah pendapat kita. Penampilan presiden belum tahu apa bentuknya. Yang pasti aku seperti dulu hanya ada dalam istilah belaka. Kita lihat nanti.
Jakarta, 16 Maret 2024
*) Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta