Jakarta, Demokratis
UUD hasil amandemen adalah konstitusi remang-remang atau campur aduk yang melahirkan praktek yang remang-remang juga karena pembagian kewenangannya tidak sederhana masuk dalam rumpun eksekutif, legislatif atau yudikatif.
“Dalam pikiran saya, awal konstruksi lahirnya DPD akan menciptakan sistem bikameral. Dimana posisi MPR jadi forum pada saat pelantikan Presiden asalkan pada saat pelantikan presiden tetap dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan serta tempatnya bisa boleh dimana saja,” kata guru besar tata negara Bagir Manan saat menjadi pembicara dalam diskusi di Gedung MPR Jakarta terkait dengan peringatan Hari Konstitusi pada tanggal 18 Agustus 2019 lalu.
Dengan sistem bikameral DPD, katanya, awalnya diharapkan akan menjadi lembaga legislatif sama dengan kuasa DPR sebagai pembuat Undang-undang.
Pada kenyataannya kewenangan DPD bukan sebagai pembuat Undang-undang, hampir sama dengan Senator dalam UUD RIS pada tahun 1949 yang cuma hanya komplementer.
“Wajar saja anggota DPD ngomel-ngomel cuma dijadikan lembaga komplementer dalam pembuatan UU untuk DPR. Adapun bila kemudian DPD disebut sebagai Senator. Itu hanya untuk kompromi walau kewenangannya bukan sebagai Senator yang membuat Undang-undang,” tegas Bagir mantan Ketua Mahkamah Agung yang pernah menempuh pendidikan di Amerika Serikat.
Untuk diketahui, katanya lagi, MPR mulanya sebagai pusat kekuasaan yang bisa membuat TAP MPR yang mengatur dan memutuskan.
Namun sejak amandemen kewenangan MPR telah dikurangi seperti wewenang dalam memilih presiden sudah dihapuskan.
“Lalu kemudian wewenang Presiden dalam membuat Undang-undang juga bergeser kepada DPR. Selain lahirnya pasal baru dalam UUD yang membatasi jabatan presiden. Muncul juga pasal yang baru sama sekali dalam UUD hasil amandemen yakni dengan memasukan pasal baru tentang hal-hal baru seperti HAM,” ungkap Bagir.
Soal tentang mengenai kebebasan, dikatakan, di luar negeri kebebasan dan pembatasan diatur dalam Undang-undang.
“Ini boleh saja. Malah di negara barat ada UU Ketertiban Umum seperti di Inggris yang melarang warga negara pakai baju uniform tentara. Kita malah banyak ormas bebas pakai uniform mirip baju tentara,” paparnya.
Menyinggung arah amandemen ke 5. “Secara ide dan apa bisa kembali kepada UUD 1945. Ya bisa. Tetapi juga tergantung pada realitasnya. Dan realita politik, apa bisa nggak,” ujarnya.
Sama seperti halnya mau menghidupkan GBHN. Kalau jadi ada GBHN lantas isinya seperti apa. Alirannya GBHN apa semisalnya dalam mengatur pasal 33 UUD 1945.
“Mengingat UUD amandemen adalah UUD baru, karena 2/3 isinya telah berubah,” kata Bagir.
John Pieris guru besar tata negara yang juga anggota DPD mengatakan, MPR bisa merubah UUD walau tanpa dibentuk Konstituante.
Selama ini, usulan amandemen oleh DPD selalu terbentur di DPR yang berisi perwakilan partai politik.
Pada tahun 2004-2009 sejumlah partai telah setuju akan perubahan UUD. Tetapi pada akhirnya menarik dukungan seperti Partai Demokrat yang saat itu sedang memimpin pemerintahan.
Walau meski DPD tidak punya original power dalam membuat Undang-undang, kecuali dengan mengusulkan RUU kepada DPR termasuk RUU yang terkait dengan daerah.
“Apabila dalam amandemen nanti akan memberikan kewenangan pada DPD untuk membuat UU. Saya setuju dan minta agar dibatasi pada Undang-undang yang terkait dengan daerah atau tidak semua UU bisa diusulkan oleh DPD,” katanya.
Berdasar jejak media sejak amandeman UUD pada tahun 2002 hingga kini telah melahirkan 7 Mazhab UUD.
Yaitu mazhab 2002 yang diisi arsitek amandemen 1945. Mazhab politisi 2002 yang menolak amandemen 1945 kecuali dengan adendum.
Mazhab kembali ke UUD 1945 asli tapi menikmati berlakunya UUD 2002.
Sejak lima tahun lalu atau tahun 2014 muncul Mazhab amandemen terbatas. Terakhir muncul Mazhab aliran UUD remang-remang.
Kemudian di DPD lahir Mazhab DPD Proporsional yang menyetujui pemberian kewenangan pada DPD dalam membuat Undang-undang yang hanya terbatas tentang daerah.
Dan Mazhab DPD yang menyetarakan sebagai lembaga legislatif pembuat Undang Undang sejajar dengan DPR, dengan memberikan hak veto kepada Presiden. (Erwin Kurai)