Minggu, November 24, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Amukan Gunung Tambora yang Musnahkan Dua Kerajaan

Baru sehari masuk bulan Jumadilawal. Subuh tak kunjung benderang tatkala petaka menyembur dari dalam Tanah Bima. Seakan meriam perang tengah diletuskan. Batuan dan hujan abu seperti dituang. Tiga hari dua malam tak berkesudahan.

Ketika tiba terang, tampaklah rumah dan tanaman rusak seperti diterjang perang. Gunung Tambora telah membawa tamat bagi dua negeri: Tambora dan Pekat.

Dari penuturan naskah Bo’ Sangaji Kai itu bisa dibayangkan letusan Gunung Tambora seakan kiamat khususnya bagi Kerajaan Tambora dan Pekat. Penyebabnya, menurut naskah itu akibat tindakan jahat Sultan Tambora, Abdul Gafur. Malapetaka baru berakhir berkat orang bersembahyang. Namun, kemelaratan, kelaparan, dan penyakit tak bisa tertolong.

Orang mati bergeletakan di jalan. Mereka tidak dikubur, tidak pula disembahyangkan. Mayatnya menjadi santapan burung, babi, dan anjing.

Andai tidak datang pedagang dari luar, penduduknya pasti habis, mati kelaparan. Para pedagang datang dari pulau-pulau sekitar. Mereka ada orang Arab, Tionghoa, dan Belanda. Beras, gula, susu, jagung, kacang kedelai yang mereka bawa ditukar dengan piring, mangkok, kain tenun, senjata, barang emas dan perak, sereh, gambir, serta budak.

Penelitian membuktikan amukan Gunung Tambora terjadi pada April 1815. Igan Sutawidjaja, peneliti dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia menjelaskan, terjangan awan panas yang menggempur hampir sekeliling Gunung Tambora pertama kali terjadi pada 10 April 1815.

Dampak terdahsyat dirasakan mereka yang bermukim di barat, selatan, dan utara gunung. Selain Tambora dan Pekat, Kerajaan Sanggar juga lebur diterjang awan panas mencapai 800°C.

“Ke timur, ke arah Sanggar tidak begitu besar. Jadi, raja Sanggar masih bisa menyelamatkan diri dan pindah ke Sanggar sekarang,” kata Igan dalam diskusi daring berjudul “Jejak-jejak Peradaban Tambora: Secercah Harapan di Balik Bencana” yang diselenggarakan Balai Arkeologi Bali.

Sebelum musnah, kerajaan-kerajaan di wilayah Semenanjung Sanggar itu sempat mengalami kemakmuran. Menurut I Made Geria, kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), dalam Menyingkap Misteri Terkuburnya Peradaban Tambora, penelitian arkeologi memunculkan dugaan bahwa warga kerajaan-kerajaan itu telah membangun peradaban yang tinggi.

“Peristiwa itu bisa dibayangkan sebagai sebuah peristiwa kiamat di wilayah Tambora sendiri dan penelitian juga sudah membuktikan bahwa wilayah Tambora luluh lantak,” tulis I Made Geria.

 

Pengaruh Majapahit dan Gowa-Tallo

Pada pertengahan abad ke-17, sumber lontara Makassar menyebut Tambora dan Pekat memiliki kedudukan khusus dalam pemerintahan negeri-negeri Pulau Sumbawa.

Sonny C. Wibisono, peneliti Puslit Arkenas, dalam Bencana & Peradaban Tambora 1815, menunjukkan peta tahun 1659 koleksi KITLV yang memuat gambaran wilayah Tambora dan Pekat. Peta ini termasuk salah satu dokumen Barat awal tentang wilayah itu.

Bila mundur lagi ke masa lampau, sejumlah kerajaan di wilayah Sumbawa sudah dikenal sejak Raja Hayam Wuruk memerintah Majapahit. Dalam naskah Negarakertagama disebutkan negeri Dompo, Sang Hyang Api, dan Bima.

Menurut I Made Geria, kemungkinan ketiga kerajaan itu terkena pengaruh Majapahit. Kendati dalam catatan sejarah hanya Dompo yang ditaklukkan Majapahit di bawah komando Mpu Nala.

Ketika Majapahit jatuh, kerajaan-kerajaan di Sumbawa menjadi negeri-negeri mandiri yang selanjutnya berada di bawah pengaruh Kesultanan Gowa-Tallo di Makassar pada abad ke-17.

“Negeri ini berada di bawah penguasaan Makassar, khususnya dipimpin oleh para pangeran,” tulis Sonny.

Sejak itu, Tambora diwajibkan membayar upeti dan menyediakan 40 budak. Demikian pula Pekat, pelabuhan yang sebelumnya di bawah Dompu.

“Ketika Raja Rigaukanna atau Ala’uddin dari Goa menundukkan Sumbawa, Pekat diserahkan kepada Karaeng Maroanging. Rajanya selain harus memasok 20 budak ke Makassar, juga membayar upeti dengan tenun kain yang mereka buat,” tulis Sonny.

 

Tempat Persinggahan

Hubungan perdagangan dengan Pulau Jawa dan kawasan barat Nusantara terus berlangsung meskipun Majapahit tak lagi berpengaruh. Pelaut Portugis, Tome Pires dalam Suma Oriental, menyebut kapal-kapal dari Malaka dan Jawa yang berlayar ke Maluku untuk mencari rempah-rempah singgah di Bima. Mereka berdagang, mengambil air minum dan bahan makanan.

Hubungan pelayaran-perdagangan itu menjadikan Bima salah satu bandar terpenting di kawasan Nusa Tenggara, kendati sudah terjadi sejak era Majapahit. Lokasi bandarnya di Teluk Sape dan Teluk Bima. Pada masa berikutnya, Bima berkembang menjadi pusat penyiaran Islam berkat letak geografisnya yang merupakan jalur lintas perdagangan.

Keadaan itu juga membawa keberuntungan bagi Tambora, Pekat, dan Sanggar. Suplai komoditas dari kerajaan-kerajaan kecil itu ke Bima semakin lancar.

“Ketiga kerajaan kecil ini mempunyai akses ke jalur lintas laut yang selalu dilalui para pedagang dari luar apabila menuju bandar Bima,” tulis I Made Geria. “Kerajaan di sekitar Bima memiliki peran strategis yang mendukung perdagangan Bima.”

Kerajaan Tambora bahkan berdagang langsung dengan Kerajaan Makassar. Hubungan kedua kerajaan itu dibuktikan oleh surat-menyurat.

Selain kaya sumber daya alam, wilayah Tambora juga strategis. Peta tahun 1659 koleksi KITLV menunjukkan wilayah raja (koningrijk) Tambora berada di bagian utara, wilayah yang lebih besar, di Semenanjung Sanggar. Sementara itu, bagian selatan Semenanjung Sanggar merupakan wilayah raja (koningrijk) Pekat.

Lokasi Tambora berdekatan dengan Labuhan Kenanga dan Teluk Saleh. Karenanya ia termasuk jalur lintas perdagangan yang ramai disinggahi kapal asing.

“Karena ramainya jalur pelayaran di wilayah sekitarnya seperti pantai Kore, Sanggar, sering terjadi peristiwa serangan bajak laut,” tulis I Made Geria.

Potensi Tambora yang kaya sumber daya alam dan signifikan dalam perdagangan juga tak luput dari penguasaan bangsa Belanda, dari awal abad ke-17 sampai awal abad ke-19.

“Pertimbangan Belanda untuk melakukan penguasaan terhadap kerajaan kecil karena dianggap lebih mudah ditundukkan sehingga potensi alam penyangga perdagangan Bima akan lebih mudah dikuasai,” tulis I Made Geria.

Ternyata, Tambora dan kerajaan lainnya tak mudah ditundukkan. Digunakanlah politik adu domba dengan Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Isinya di antaranya, Kerajaan Gowa dilarang mengirim bantuan ke Bima dan diperintahkan untuk menangkap raja-raja di kerajaan kecil. Perintah itu tidak dilaksanakan oleh Kerajaan Gowa.

Namun, alam berkehendak lain. Tambora dan kerajaan lainnya mendapatkan pukulan dahsyat setelah Gunung Tambora meletus.

I Made Geria mengutip catatan residen Tobias yang mendata: sebelum letusan, Tambora berpenduduk sekira 40.000 jiwa pada 1808. Setelah letusan dahsyat itu, 30.000 jiwa lebih penduduk tewas. Pada 1816, sisa penduduk yang masih hidup tewas semua karena diterjang banjir bandang dan banjir lahar.

“Selanjutnya bekas Kerajaan Tambora yang sudah habis ditelan ganasnya alam tersebut digabungkan dengan wilayah Kerajaan Dompu,” catat I Made Geria.

Setelah bencana terjadi, Tambora tetap masyhur. Banyak pedagang datang untuk menukar dagangannya dengan barang berharga, sebagaimana dikisahkan syair Bo’ Sangaji Kai.

Penduduk kembali ramai meninggali kawasan Tambora pada 1907.

I Putu Yuda Haribuana, peneliti Balai Arkeologi Denpasar, menyebut ada peninggalan bangunan Belanda di sekitar situs Tambora, salah satunya bekas pabrik kopi.

Menurut I Made Geria, temuan berbagai artefak disertai rangka manusia juga komponen sisa bangunan membuktikan bahwa Situs Tambora telah dihuni oleh sekelompok masyarakat yang memiliki peradaban cukup tinggi, jauh sebelum letusan Tambora 1815. (Hst/Dem)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles