Tapteng, Demokratis
Warga Kecamatan Sibabangun dan Kecamatan Lumut, Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), yang berada di tanah perantauan mendesak pengelola pabrik kelapa sawit tidak membuang sisa air proses ke sungai Sibabangun, yang merupakan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) dan zona kearifan lokal lubuk larangan
Julianus Pardede (52), putra kelahiran Sibabangun yang saat ini berdomisili di Kota Sumedang, Jawa Barat, menegaskan, sebagai Kawasan Konservasi Perairan serta sarana utama aktivitas mandi, cuci dan kakus (MCK), keasrian sungai Sibabangun harus tetap terjamin. Perilaku memanfaatkan sungai Sibabangun untuk mandi, cuci dan kakus merupakan perwujudan budaya turun temurun yang dilakukan oleh dua warga kelurahan bertetangga itu.
“Tidak boleh itu. Sejak jaman dulu sungai Sibabangun menjadi sarana utama warga untuk aktivitas mandi, cuci dan kakus,” kata Julianus Pardede (52), menyikapi aksi pembuangan limbah yang dilakukan pabrik kelapa sawit ke sungai Sibabangun, Senin (18/10/2021).
Dipaparkannya, air sungai merupakan sumber daya alam yang sangat penting untuk kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sungai Sibabangun yang dimanfaatkan sebagai sarana mandi, cuci dan kakus, harus memiliki kualitas yang baik. Di samping berimbas akan kegagalan budi daya ikan, air sungai yang tercemar akan berdampak terhadap kesehatan.
“Air sungai bukan termasuk sumber daya yang terbarukan, makanya warga Sibabangun dan Lumut melestarikan melalui kearifan lokal lubuk larangan. Jangan gara-gara kepentingan bisnis, keberlangsungan hayat hidup orang banyak terabaikan. Hentikan pembuangan limbah ke sungai Sibabangun. Jangan sampai kami anak rantau turun tangan,” tegas alumni SMPN 1 Lumut ini.
Terpisah, Alfonso Nadeak, putra kelahiran Lumut yang saat ini berdomisili di Kota Jakarta menilai, dumping (pembuangan) limbah yang dilakukan pabrik kelapa sawit di Kecamatan Sibabangun ke Kawasan Konservasi Perairan (KKP), merupakan kejahatan luar biasa, karena mencemari lingkungan dan merusak ekosistem alam.
Lebih spesifik Alfonso menuding ada unsur kesengajaan dalam tindakan tersebut. Tudingan ini bukan tanpa alasan. Salah satu pengelola pabrik kelapa sawit tidak pernah meminta restu kepada warga untuk membuang limbah ke sungai Sibabangun, yang nota benenya merupakan zona kearifan lokal lubuk larangan. Bahkan perusahaan tersebut tidak sekalipun menyertakan masyarakat dalam kegiatan uji laboratorium air sisa proses, yang seharusnya dilakukan enam bulan sekali. Kemungkinan juga, kewajiban ini tidak pernah dilakukan. Pemilik perusahaan merasa hebat karena di back-up oknum-oknum tertentu.
“Kita menduga air sisa proses yang disalurkan ke sungai Sibabangun tidak memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Jika benar-benar sesuai baku mutu, mereka tidak akan takut menyertakan masyarakat dalam tim terpadu,” cecarnya.
Lebih jauh dikatakan, dari fakta-fakta yang terungkap, pihak perusahaan juga tidak pernah melaksanakan sosialisasi terhadap warga terdampak. Padahal, sosialisasi merupakan hal mutlak yang harus dilakukan saat hendak melakukan sebuah kegiatan industri, sehingga warga mengetahui apa yang akan dibangun dan dampak dari adanya pembangunan kedepannya. Ia menuding ada unsur penyepelean dalam hal tersebut.
“Sosialisasi bagian dari rangkaian pembuatan dokumen Amdal, UKL-UPL. Dua dokumen itu akan melahirkan penerbitan Izin Usaha. Kita menduga ada yang tidak beres dengan kedua dokumen tersebut,” imbuhnya.
Sebagai anak rantau yang peduli kampung halaman, ayah dua anak ini meminta pihak pengelola menghentikan dumping limbah ke sungai Sibabangun. Alfonso mewanti-wanti, jika perusahaan membandel, ia bersama anak rantau lainnya akan melakukan somasi. Ia juga menyatakan kesiapan untuk menggelar aksi bersama warga terdampak.
“Jangan bandel. Jangan sampai ada aksi besar-besaran. Kepayahan mereka nanti,” pungkasnya. (MH)