Bandung, Demokratis
Aparat penegak hukum tingkat pusat baik Kejaksaan Agung, Bareskrim Mabes Polri maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta segera menangani dugaan korupsi di BBWS Citarum pada proyek Embung Gumpitan Wanadesa di Desa Cimanggu, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Sukabumi tahun anggaran 2019.
“Proyek pusat APBN Kementerian PUPR tersebut lebih baik ditangani aparat pusat. Masalahnya dugaan korupsi tersebut di Jabar terkesan didiamkan dan tidak tersentuh oleh hukum,” ungkap David tokoh masyarakat Jabar yang juga pemerhati keuangan negara kepada Demokratis, belum lama ini.
Artinya, kata David, aparat penegak hukum dari pusat harus segera cepat tanggap dengan segera memeriksa pihak terkait, baik aparat BBWS Citarum maupun pengusaha. Khusus untuk pihak APH sebaiknya dugaan korupsi tersebut segera diselidiki tanpa harus menanti atau menerima pengaduan dari masayarakat terlebih dahulu.
“Sebab, kasusnya sudah terang benderang. Semisal telah menyalahi bestek dalam kontrak, seperti menggunakan material batu pasang dari lokasi proyek, yang jelas-jelas melanggar dan terindikasi sudah terjadi korupsi,” tegas David.
Sementara berdasarkan hasil investigasi Demokratis, Embung Gumpitan dikerjakan dalam tahun anggaran 2019 oleh CV Angger Eman dengan nilai kontrak Rp 11.091.635.000, dari pagu kontrak keseluruhan Rp 14.250.000.000.
Sedangkan untuk supervisi kontruksi dikerjakan oleh PT Padika Pranataputra dengan nilai kontrak konsultan senilai Rp 595.391.500, dari nilai pagu semula Rp 750.000.000. Kini yang jadi tanda tanya besar publik adalah kemana sisa kontrak senilai Rp 3 miliar tersebut?
Sehingga aparat penegak hukum sebaiknya terjun langsung ke lokasi proyek. Dengan demikian akan terungkap berbagai dugaan kebokbrokan para oknum baik dari oknum ASN maupun oknum kontrakator dan oknum pengawas konsultan karena diduga kuat sudah terjadi permainan dan kongkalikong sesama oknum untuk korupsi berjamaah dan pemeriksaan Inspektorat Kementerian PUPR dan hasil audit BPK pun harus dipertanyakan apabila Embung Gumpitan dinyatakan proyek yang baik dan sesuai prosedur. Masalahnya, berdasarkan hasil investigasi, proyeknya sarat aroma KKN.
Demokratis pun telah berkirim surat konfirmasi kepada Dirjen SDA Kementrian PUPR, di antaranya mempertanyakan adanya dugaan KKN, seperti penggunaan material di lokasi proyek yang diduga melanggar kontrak serta izin pengeboman dan dinamit batu pasang dll. Namun hingga berita ini diturunkan belum diperoleh jawaban surat konfirmasi tersebut.
Kemudian yang jadi pertanyaan besar dan mengundang tanya adalah tentang konfirmasi Demokratis, sudah satu tahun sejak 2019 tidak dijawab pihak BBWS Citarum. Baik Kepala BBWS Citarum Bob Arthur Lambogia dan Kepala Satker PJSA BBWS Citarum Jaya Sampurna serta PPK Embung Galumpit Wanadesa Andri Farhan, sangat terkesan tertutup sekali. Seolah-olah tutup mata dan tutup telinga, tidak mau menjawab surat konfirmasi Demokratis tertanggal 3 Desember 2019 lalu.
Sebaiknya mantan Kepala BBWS Citarum Bob Artur yang kini jadi Direktur Sungai Kementerian PUPR ikut bertanggung jawab untuk mengklarifikasi kasus tersebut. Demikian pula Kepala BBWS Citarum yang baru Anang, harus ikut bertanggumg jawab untuk meminta pertanggung jawaban Satker dan PPK Embung Gumpitan.
Seperti diberitakan sebelumnya, proyek Embung Gumpitan Wanadesa yang didanai APBN tahun 2019 di BBWS Citarum-Kementrian PUPR tersebut, berdasarkan hasil investigasi Demokratis di lokasi proyek, tergambar dengan jelas bahwa dugaan KKN tersebut sangat nyata dan semakin terkuak dalam hal sbb:
Kejanggalan pertama dalam hal perusahaan pemenang tender Embung Gumpitan terutama dalam badan hukumnya, apakah dalam bentuk perseroan terbatas (PT) Angger Eman atau CV. Sedangkan pemantauan di lapangan, di papan nama proyek tertulis CV Angger Eman. Timbul pertanyaan, mengapa badan hukum CV memenangkan tender lebih dari Rp 10 miliar. Ini melanggar Keppres pengadaan barang dan jasa.
Bukan itu saja, di lapangan ada dugaan kuat bahwa CV Angger Eman sebenarnya tidak mengerjakan Embung Gumpitan melainkan perusahaannya dipinjam oleh oknum pengusaha yang bekerja sama dengan oknum orang dalam pihak BBWS Citarum atau disubkonkan ke orang dalam oknum BBWS Citarum. Sayang seribu sayang, surat konfirmasi Demokratis tentang hal ini tidak direspon pejabat BBWS Citarum.
Kejanggalan kedua adanya dugaan KKN yang sangat kental sekali, bisa dilihat dari penggunaan batu pasang hampir seluruhnya diambil secara langsung di lapangan/bukan membeli material dari luar.
“Lantas siapa yang diduga terlibat langsung dalam proyek beraroma korupsi tersebut? Dugaan kuat telah terjadi KKN berjamaah yang mengarah kepada PPK Embung Sungai dan Danau BBWS Citarum dan Satker PJSA BBWS Citarum serta Kepala BBWS Citarum, dan yang terakhir pihak perusahaan kontraktor termasuk ada dugaan keterlibatan seorang raja/atau pengusaha kakap yang diduga kuat seorang pengusaha yang biasa ngatur proyek yang dari mulai tender sampai menentukan pemenang,” kata sumber Demokratis seraya menandaskan, oknum pengusaha tersebut terkenal dengan sebutan “Bos Cukong” yang diduga jago mengatur tender di BBWS Citarum.
Kesimpulamnya, aparat penegak hukum harus segera ke lapangan, bukti korupsinya sangat nyata dan proyek tersebut terkesan kurang berfaedah dan fisiknya dipertanyakan antara kontrak bestek dengan fisik di lapangan jauh berbeda dan sangat kental bau pidananya. (IS)