Oleh O’ushj.dialambaqa*)
Kita akan perbincangkan episode 4. Bakul Banyu Reinkarnasi Dari Dirut PDAM, Bermain Politik Elektoral Bupati Nina 2 Periode Selumnya telah kita perbincangkan episode 1. Bupati dan Bupati Asbun, episode 2. ASN Sebagai Mesin Politik Elektoral Bupati Nina 2 Periode dan episode 3. Desa dan Kelurahan Menjadi Mesin Politik elektoral Bupati Nina 2 Periode. Perbincangan kita tentu dalam konstruk politik Machiavellian, politik Orwellian, politik Post-Truth, dan politik Pork Barrel (Politik Gentong Babi).
Mulai terlihat bertebaran sejak Rabu, 3/7/2024 spanduk bertulisan: KANG ADY SETIAWAN BAKUL BAYU MENGABDI UNTUK INDRAMAYU, Dr, Dr, Ir, H. Ady Setiawan SH., MH., MM., MT. DIREKTUR UTAMA PDAM INDRAMAUU. PAKDE AIR. Ady Setiawan, PAKDE AIR. PAKDEAIR02.
Selang beberapa minggu muncul baliho baru dengan tambahan gelar IPM Asean Eng, seperti tertera dalam baliho terbarunya, dan yang terbaru selang beberapa minggu, kini bertebaran pula baliho yang bertulisan NADI (Nina Agustina-Ady Setiawan, Nina-Adi).
Dirut PDAM yang suka memajang atau pamer gelar seperti rentengan bledogan pesta hura-hura, spanduknya dipasang bertebaran, nyaris di semua wilayah atau jalan-jalan yang strategis lalu lang orang atau kendaraan. Sebagian publik, bertanya-tanya, apa maksudnya, dan apa maunya Dirut PDAM yang kini menamakan dirinya Bakul Bayu, dan apa maknanya yang dimaksudkan dalam balihonya,Mengambi Untuk Indramayu?
Untuk memulai apa yang dimaui Dirut, dan apa yang ada dibalik teks spanduk dan baliho itu, kita harus bicara dari gelar akademiknya yang dipamerkan, karena itu penting sekali buat kita. Bukan berarti, meyoal urusan privat, tetapi untuk memahami dan memaknai secara konprehensif dibalik teks tersebut dengan berbagai apologi dan alibinya.
Gelar yang dipmerkan, kita perlu untuk melakukan pembacaan, sejauhmana intelektualitas akademiknya dipertaruhkan, dan sejauhmana intelektual akademiknya dalam logika dan akal waras, yang relasinya terhadap klaim mersusuarnya sebagai seorang professional, dan mengabi untuk Indramayu. Itu soalnya.
Untuk itu, yang kita bicarakan dalam konteks dan teks spanduk dan baliho adalah yang relasinya dengan status sosial dan jabatan, ambisiusnya dalam kekuasaan dengan mengemas keterselubungan, kemunafikkan, yang fakta konkretnya berelasi dengan elektoral. Yang oleh Filsuf Jerman Frederick Nietzsche dalam The Will To Power disebut sebagai hasrat kehendak untuk berkuasa yang bersemayam dan membara dalam nuraninya.
Pertanyaan sederhana yang foundamental adalah apakah gelar yang dipamerkan seperti rentengan bledogan pesta hura-hura tersebut diperoleh dengan prosedural atau dengan adakadabra? Hal yang demikian penting untuk menjawab pertanyaan? Sudah seburuk itukah kualitas pendidikan tinggi kita, di negeri adakadabra ini?
Semua itu, akan terbaca dalam membangun logika dan argumentasi akademiknya dan atau saat berargumentasi untuk mempertahankan pendapat dan keyakinannya yang harus dipertahankan secara metodologis. Apakah bisa diterima logika dan akal waras akademik-ilmiah.
Hal yang beririsan atau berelasi, karena status jabatannya sebagai Dirut PDAM, Ady Setiawan megklaim sebagai profesional dengan klaim manajemen profesionalnya. Mseki fakta konkretnya adalah ‘Manajemen Sampah’, karena PDAM-BUMD berada di ketiak rezim penguasa, dan tak lebih dari sekedar ‘Tong Sampah’ semata. Yang kemudian diperburuk dengan ‘Manajemen Sampah’ seorang Dirut yang suka memamerkan gelarnya yang bagaikan rentengan bledogan pesta hura-hura.
Makanya, jika PDAM bisa survival dan bisa sehat secara manajemen adalah hal yang muskil. Untuk bisa bertahan hidup, paling senjata pamungkasnya adalah menaikkan tarip. Kenaikkan tarip dengan berbagai apolologi ‘sampah’ yang dikedepankannya sebagai argumentasi.
Jika saja gelar yang dipamerkan seperti bledogan pesta hura-hura itu sebagai gelar akademik yang merepresentasikan kualitas berpikir, logika dan akal waras akademik, tentu tidak akan melakukan reinkarnasi menjadi ‘BAKUL BAYU’ dalam berkegiatan politik elektoral. Apalagi dengan diembel-embeli kata: Mengabdi Untuk Indramayu. Kemunafikkan kata dalam kalimat tersebut bisa dibongkar dengan Dekontruksi Jacques Derrida, yang akan kita perbincangkan dalam tulisan: Bakul Bayu-Dirut PDAM Ady Setiawan, Profesional Atau Ovonturir?
Meski, kita harus mencoba meyakinkan diri, bahwa gelar yang dipemerkan tersebut diperoleh secara procedural, mengikuti perkuliahan yang benar sesuai aturan dan prinsip-prinsip akademik atau perguruan tinggi.
Anggap saja benar, karena memang pintar dan hebat sewaktu kuliah.
Akan tetapi, karena sebab argumentasi yang dibangun seperti itu, menjadi gugur konklusinya secara metodologis akademik, ketika kita mencoba percaya. Bukan berarti meragukan ijazah dan gelar yang disandangnya.
Atau memang, persoalan atau problem utamanya adalah pada mentalitas bobrok dari orang yang hebat dan pintar. Jika kita berbasis argumentasi-rujukan metodologisnya adalah berbasis teologi, moral dan etika, konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada di negeri adakadabra ini, harus kita katakan gelar akademik yang dipajang bagaikan rentengan bledogan pesta hura-hura secara intelektual akademik menjadi gugur. Tidak merepresentasikan argumentasi kawah candradimuka, di mana dunia pendidikan itu menggodoknya.
Mari kita konkretkan dengan fakta yang menjadi realitas kongkret yang ada dan yang meng-ada. Seharusnya tahu betul bahwa hal tersebut ‘terlarang’ atau ‘dilarang’, dan seharusnya Ady Setiawan paham dan mengerti dengan-soal status sosial dan kedudukannya sebagai Dirut PDAM dan atau sekaligus sebagai karyawan BUMD, di mana PDAM termasuk PT. BW (Bumi Wiralodra Indramayu) menurut PP No. 54 Tahun 2017 adalah sebagai BUMD.
Lagi-lagi, ini perkara mentali(tas) yang faktanya memang tidak berelasi dengan gelar yang disandangnya dan atau meski sudah puluhan kali ber-haji. Gelar sebagai simbol intelektual akademik, dan jika pun berhaji sebagai simbolistik agama dalam keberagamaan yang sakral, tidak merepresentasikan logika dan akal waras dalam prilaku sosial politiknya yang menjadi fakta konkret. Streotipe orang-orang hebat dan pintar semacam itu berserakkan di mana-mana, sehinga membuat atmosfir negeri ini makin adakadabra dan makin soak.
Jika saja Ady Setiawan status sosialnya sebagai ‘bakul bayu’ atau sebagai wira-usahawan atau entrepreneur atau lainnya non pemerintah-BUMD/BUMN, artinya bukan sebagai Dirut atau pegawai PDAM, tentu boleh-boleh saja. Hak konsitusional yang dijamin konstitusi, UU, demokrasi, Pancasila dan HAM.
Ady Setiawan mempunyai hak konstitusional untuk dipilih atau memilih apakah mau menjadi Cabup atau Cawabup dalam Pilkada Nop. 2024 nanti. Ady Setiawan boleh dan berhak dipilih oleh parpol mana saja yang memang suka atau cocok sebagai pengusungnya, jika tidak melalui jalur independen.
Parpol manapun berhak dan boleh meminangnya dan atau Ady Setiawan berhak dan atau boleh melamar ke parpol mana saja untuk menyalurkan hak konstitusionalnya, karena konstitusi, demokrasi, Pancasila dan HAM menjamin jika mau diambil haknya oleh yang bersangkutan.
Akan tetapi, harus mengundurkan diri dulu dari status sebagai Dirut dan atau karyawan PDAM. Peraturan perundang-undangannya bicara dan mengatakan begitu, ketentuannya mengatur begitu.
Bukan seenak udelnya sendiri, bermain politik elektoral Bupati Nina 2 periode dengan memanipulasi kata-kata: megabdi untuk Indramayu. Buat apa sekolah jika hanya untuk memajang gelarnya yang bagaikan rentengan bledogan pesta hura-hura, tetapi otaknya ditaruh di dengkul seperti orang tak makan bangku sekolah-kuliah. Jika otaknya di dengkul, itu namanya Machiavellian, karena bukan orang yang bodoh. Machiavellian hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang hebat dan pintar, bukan orang-orang yang bodoh.
Bukan memasang atau menyebarkan spanduk atau baliho dulu, lantas, tatkala tidak satu parpol pun mau mengusungnya dan atau petahana-Bupati Nina juga tidak menolehnya, kemudian bersilat lidah dan berapologi dungu, bahwa dirinya tidak bermasalah, kerena belum ditetapkan dan atau belum resmi dicalonkan oleh parpol pengusung.
Itu yang kita katakan bahwa gelarnya yang bagaikan rentengan bledogan pesta hura-hura, tidak merepresentasikan intelektual akademik, dan tidak terbaca pantulan sebagai seorang profesional yang diklaimnya. Sebagai Dirut PDAM yang kemudian mengatasnamakan dirinya sebagai bakul bayu, itu sudah mencerminkan bukan sebagai orang profesional, melainkan cermin sebagai seorang pecundang, karena hanya untuk memanipulasi permainan dalam politik busuk.
Jangankan bakul bayu, karena bakul bayu bukanlah status sosial yang rendah martabatnya. Status sosialnya yang dianggap jauh lebih rendah seperti seorang turunan gembel pun mempunyai hak konstitusial yang dijamin hak konstitusinya untuk ikut atau turut serta berkegiatan politik atau berpolitik seperti mencalonkan diri dan atau dicalonkan, asalkan statusnya bukan sebagai ASN-PNS, ASN-TNI/Polri atau bukan sebagai karyawan BUMD/BUMN apalagi posisi jabatannya sebagai seorangn Dirut.
Yang dilarang atau terlarang adalah orang status sosialnya sebagai ‘Orang Gila’, tetapi jika ‘Gila-gila-an’ masih tidak bermasalah dengan segala peraturan perundang-undangan. Gila-gilaan dan atau kegilaan, tidak diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Voice atau noisenya menjadi jelas. Bukan bermain dalam siluet.
Sebagai seorang profesional, dan jika masih punya etika dan moral (publik), seharusnya sejak mencetak spanduk dan dipasang bertebaran di mana-mana dan atau sejak membuat dan memasang baliho ‘Dukung Bupati Kita 2 Periode’, Ady Setiawan seharusnya mundur dari PDAM, lantas fokus komunikasi dengan parpol-parpol yang mau mengusungnya.
Tidak hanya itu, supaya fokus juga membicarakan hasratnya dengan Bupati Nina, karena di mata Dirut PDAM masih bau harum, sehingga peluangnya untuk terpilih kembali seperti melihat angka lotre di tembok kaca perjudian.
Untuk itu, jika kita melakukan pembacaannya pada spanduk dan baliho yang diproduksi Dirut PDAM, hasrat berkuasaanya hanya mau dengan Bupati Nina. Basis logika dan argumentasinya yang dibangun adalah Machiavellian, antara lain, ASN telah menjadi mesin politik elektoral Bupati Nina.
Bupati Nina bisa mengendalikan semuanya, karena memang fakta konkretnya seperti itu, sehingga tidaklah salah jika Dirut PDAM Ady Setiawan berargumentasinya seperti itu. Benar adanya, jika Bupati Nina bisa mengendalikan semuanya, karena Ady Setiawan sebagai Dirut PDAM tidak mendapat teguran dan atau sanksi dari Dewas (Dewan Pengawas) PDAM. Teguran dari KPM (Kuasa Pemilik Modal, sangatlah muskkil, karena KPM adalah Bupati Nina itu sendiri, justru diuntungkan untuk kepentingan elektoralnya.
Tidak ada teguran dari Inspektorat, tidak ada teguran dari Dewan, dan tidak menjadi temuan dari BPK, di mana spanduk-baliho yang diproduksinya untuk kepentingan elektoral yang dibungkus dengan kata-kata Dirut PDAM-Bakul Bayu mengabdi untuk Indramayu, dan berkeliling wara wiri mengatasnamakan PDAM melakukan bersih-bersih masjid-mushola dan mengunjungi komunitas baca buku di Haurgeulis, membuat video ucapan terima kasih kepada Bupati Nina, karena PDAM responnya gerak cepat atas pengaduan konsumen, dan seterusnya, adalah tentu menggunakan dana-kas PDAM atas nama kegiatan dan atau program PDAM.
Fakta konkretnya, Ady Setiawan hingga sekarang, tidak mundur, sehingga jelas bukan seorang profesional, melainkan derajatnya hanya sebatas sebagai ovonturir-sang petualang di negeri adakadabra-negeri soak, sebagai seorang spekulan, membuat skenario drama politik dalam media massa-online sebagai sosok figure yang harmonis mendampingi Bupati Nina untuk menjadi Cawabup dan atau mendapingi Bupati Nina periode ke-2 untuk melanjutkan memimpin Indramayu.
Tokoh-tokoh ovonturir dan para buzzer yang terorganisir, termobilisasi kemudian melakukan penguatan dan pembenaran yang sama untuk membangun persepsi publik dengan berita rilisnya, dan menggiring opini yang telah diskenariokan untuk bisa mencapai tujuan politik kekuasan-kekuasaan politik.
Oleh sebab itu, konyol betul ketoprak politiknya, di mana publik dengan hal-hal skenario politis seperti itu sudah sangat paham, dan akhirnya mudah terbaca ambisi(us)nya. Drama-drama politik seperti para tokoh angkat bicara di media, sudah sangat usang dalam era digital yang telah melampaui era postmo(dernism) dan post-truth.
Cukupkah, jika Ady Setiawan berapalogi, bahwa apa yang dilakukannya itu adalah hak personal, jadi boleh-boleh saja. Jika argumentasinya seperti itu yang dibangun, sudah harus kita katakan-disebut sebagai Narcistic Personality Disorder’, yang diterangkan Sigmund Freud.
Ady Setiawan sebagai Dirut PDAM, pada awalnya dianggap sebagai seorang profesional atau dianggap sebagai intelektual, dan bisa diharpkan membenahi PDAM yang rusak-sakit, dikarenakan pembacaan publik bacaannya terbelenggu oleh gelarnyanya yang dipamerkan bagaikan rentengan bledogan pesta hura-hura.
Ternyata, fakta konkretnya. gelar yang dipajang tersebut tidak berelasi dengan apa yang kita sebut sebagai seorang profesional, dan sebagai seorang terdidik-terpelajar-intelektual-akademik. PDAM tetap sebagai Tong Sampah, dan diperburuk dengan Manajemen Sampah di tangan otoritas Dirut PDAM Ady Setiawan dan Bupati Nina sebagai KPM, dan Dewas yang boneka-robot.
Masyarakat sebagai pemegang saham dan pemegang kedaulatan akan nasibnya PDAM bagaikan keledai-keledai dan atau bagaikan sapi betina yang tengah melahirkan-melenguh, hanya bisa mendesah dan berkeluh kesah soal naiknya tarip, mutu air yang buruk dan pelayanan yang buruk.
Dirut PDAM Ady Setiawan, boleh saja tidak ingin mau tahu dan atau tidak mau ingin mengerti dan mamahami konstitusi dan peraturan perundang-undangan, karena itu menjadi penghalang baginya untuk mewujudkan hasrat berkuasa-moral hasadnya, sehingga harus melakukan Machiavellian; menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 15 Tahun 2023, pasal 72 ayat (4), secara tegas dan gamblang ada hal yang terlarang atau dilarang melakukan kegiatan politik elektoral-kampanye. Yang terlarang dan atau yang dilarang adalah:
- Ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung (MA) dan hakim pada semua peradilan di bawah MA, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi (MK);
- Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
- Gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;
- Direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah;
- Pejabat negara bukan anggota parpol yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstructural;
- Aparatur Sipil Negara (ASN);
- Anggota Tentara nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara RI (Polri);
- Kepala desa;
- Perangkat desa;
- Anggota badan permusyarawatan desa (BPD);
- Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.
UU lainnya adalah UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan PP No. 54 Tahun 2017 tentang BUMD, PDAM adalah statusnya BUMD. Artinya, PDAM Tirta Darma Ayu adalah entitas dari Pemda Indramayu, termasuk BWI yang mati suri (tidak waras) dan BPR KR yang bangkrut di tangan Bupati Nina.
UU No. 7 Tahun 2017 jo UU No. 7 Tahun 2023 tentang Pemilu, ada azas Netralitas, yang artinya diberlakukan untuk semua aparatus negara (ASN, TNI/POLRI), tanpa kecuali pegawai BUMD/, BUMN. Pasal 280 ayat 2, soal larangan.
PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, pasal 4 ayat 15 dengan tegas dan gamblang melarang Pegawai BUMD berkegiatan politik elektoral. Peraturan Badan Pengawas Pemilu No. 6 Tahun 2018 tentang Pengawasan Netralitas, ASN, Anggota TNI/POLRI, yang juga mengatur pelaksanaan netralitas ASN, Pegawai BUMD/BUMN, Kepala Desa dan Perangkat Desa, dilarang berkegiatan dukung mendukung, ikut berkampanye dan seterusnya.
Tidak bermasalah, jika Ady Setiawan status sosialnya sebagai pengusaha, wira-usahawan, pegawai non pemerintah, non BUMD/BUMN, tentu boleh saja melakukan kegiatan politik elektoral, karena demokrasi, Pancasila, HAM dan konstitusi memberi jaminan soal itu.
Itupun jika pihak perusahaan membolehkannya dalam peraturan internal perusahaan (SOP) tempat bekerjanya. Sehingga, jika Dirut PDAM ngotot itu hak personal atau pribadi bukan atas nama PDAM bukan sebagai pegawai PDAM, sungguh memalukan, memilukan, dan apa kata dunia! Negeri adakadabra, memang negeri soak.
Etika dan moral publik yang dituntun oleh moralitas absolut, tentu sama sekali tidak bisa melakukan pembenaran, manakala hal tersebut keluar dari relnya, meskipun dicarikan pembenaran-pembenarannya, karena logika dan akal waras yang menuntunnya tidak bisa membenarkannya. Terkecuali yang meng-akal-akali akal bulus, yang menjung-kirbalikan logika dan akal waras, sehingga menjadi ketidakwarasan.
Akhirnya sampai pada pertanyaan, benarkah-bisakah spanduk Dirut PDAM yang dipasang di mana-mana tersebut tidak ada relasinya dengan kepentingan elektoral dirinya dan atau kepentingan electoral Bupati Nina 2 periode, karena mengatasnamakan si ‘Bakul Bayu Mengabdi Untuk Indramayu? Tentu, yang mengatakan boleh-boleh saja, itu harus kita katakan sudah ‘gila-gilaan’, sudah keblinger dalam kedunguan, sehingga menjadi stunting.
Mari kita periksa teks dalam spanduk tersebut dengan semiotika dan hermetika untuk membongkar atau membedah dibalik teks tersebut. Pada bagian bawah tertulis: @PAKDEAIR02. Apa interpretasi dan pemaknaannya? PAKDEAIR02, 02 sebagai simbol dan menjadi tanda dan penanda yang tegas untuk menunjukkan dan atau mengafirmasi kebenaran bahwa Dirut PDAM berambisi dan atau moral hasadnya ingin menjadi Cawabup, dengan siapa?
Kita tarik benang merah dan relasi kuasanya pada baliho Dirut yang dipasang di mana-mana dengan teks: Dukung Bupati Kita 2 Periode Hj. Nina Agustina. Konklusinya menjadi fakta yang konkret betul, bahwa spanduk-baliho Dirut PDAM Ady Setiawan menjadi Bakul Banyu adalah karena relasi kuasa. Bakul Bayu merupakan reinkarnasi dari Ady Setiawan sebagai Dirut PDAM, dengan tujuan bisa memanipulasi pembacaan dan bacaan publik.
Baliho Dirut PDAM-Dukung Bupati Kita 2 Periode, tidak bisa terbantahkan lagi bahwa itu merupakan bentuk kegiatan politik elektoral yang oleh peraturan perundang-undangan, hal tersebut dilarang, terlarang dan atau tidak diperbolehkan sama sekali. Relasi teks ‘Bakul Banyu’ dengan Dukung Bupati Kita 2 periode menjadi bagian yang tak bisa kita pisahkan sebagai fakta konkret empiris dalam relasi kuasa.
Spanduk-baliho Dirut PDAM yang mereinkarnasikan dirinya menjadi si ‘Bakul Bayu’ adalah bentuk metamorfosis politik terselubung dan atau kemunafikkan logika dan akal waras. Akan tetapi, oleh semiotika dan hermetika, keterselubungan, kamuflase kemanipulatifan dan kemunafikan tersebut bisa dibongkarnya dengan konkret, yang secara metodologis akademik bisa dipertanggung jawabkan adanya kebenaran tersebut, bukan sebagai pembenaran sebagaimana yang dijelaskan dalam Post-Truth Politics dan Orwellian Politics.
Hal tersebut juga diafirmnasikan oleh media yang melansir sebagai isu politik manipulatif, bahwa Bupati Nina akan memilih nama Setiawan sebagai Cawabupnya. Yang berama Setiawan, konon ada dua, yaitu Ady Setiawan Dirut PDAM Indramayu dan Yoga Setiawan anggota DPRD Cirebon (RINGSATU.ID, 4/7/2024: Nama Setiawan Sebagai Bacabup Dampingi Nina Agustina Mulai Menguak Ke Sosok Figur?. SIGNA.CO.ID, 5/7/3024: 19:30 AIB: Sejumlah Tokoh Masyarakat Dukung Ady Setiawan Dampingi Nina Agustina pada Pilkada 2024).
Sesungguhnya, sebagai fakta yang konkret, sudah sejak jauh-jauh hari sebelumnya, Dirut PDAM berambisi-sangat ambisius untuk menjadi Wakil Bupati mendapingi Bupati Nina, sejak Wabup Lucky Hakim mengundurkan diri, konflik di persimpangan jalan.
Upaya ambisiusnya, dibuktikan dengan mendatangi partai NasDem, meminta dukungan dan rekomendasi politik untuk bisa diajukan sebagai Wabup pengganti antarwaktu oleh DPRD. Upaya tersebut sukses, mengantongi rekomendasi partai. Sekali lagi, itu hal yang oleh peraturan perundang-undangan terlarang, karena itu merupukan kegiatan berpolitik elektoral.
Waktu itu, Ketua partai NasDem memberikan rekomendasi untuk dukungan menjadi Wakil Bupati mendampingi Bupati Nina, karena Lucky Hakim mundur. Rekomendasi NasDem No. 83/DPD/NasDem.Idr/V/2023 ditandatangani Ketua NasDem H. Yosep Husein Ibrahim, Sekretaris M. Suhari (Liputan 6.com, 23/5/2023.12:53 WIB: Diusulkan Jadi Wakil Bupati, Ady Setiawan Dipandang Layak Dampingi Bupati Nina Agustina).
Tentu, sangat berbunga-bunga, karena telah mengantongi rekomendasi tersebut. Sekali lagi, Dirut PDAM sangat berbunga-bunga, yang imaji liarnya mengatakan, ini jalan lempang-mulus menuju Karpet Merah Pendopo, tahta kekuasaan, untuk menjadi Wakil Bupati.
Dikira, karena imajinya cekak, hanya satu langkah lagi, tinggal keputusan DPRD. Dirut rupanya terbelenggu imaji liar ambisiusnya. Dewan tidak bergeming. DPRD sangat bergantung pada Bupati Nina, jika Bupati Nina tidak mengajukan atau mengusulkan pengganti antarwaktu Wabup, DPRD tidak bisa membahas dan atau memutuskan atau mengusulkannya, karena itu UU yang bicara.
Upaya ambisius tersebut pupus harapan ditelan waktu yang tak bergeming. Meski awalnya sangat berbunga-bunga mengantongi rekomendasi parpol NasDem. Apa daya memeluk gunung tangan tak sampai, Bupati Nina tidak bergayung sambut. Lebih asyik sendirian saja, bisa “karwek” (suka-suka, sesuka udelnya sendiri). Dalam UU, DPRD baru bisa mengusulkan calon pengganti Wakil Bupati, jika ada permintaan dari Bupati.
Apa yang dilakukan Dirut PDAM ke parpol untuk mencari dukungan dan atau rekomendasi, hal tersebut oleh peraturan perundang-undangan adalah menjadi hal yang terlarang atau dilarang, kecuali sudah mengundurrkan diri dari Dirut PDAM dan atau sebagai karyawan BUMD-PDAM. Traffic light yang menyala merah ditabrak, setali tiga uang dengan Bupati Nina.
Berpijak pada ‘kegagalan adalah sukses yang tertunda’, Dirut PDAM tidak kapok-tak patah arang, tetap berupaya untuk coba-coba lagi dengan beberapa skenario drama usangnya. Tokoh-tokoh masyarakat (diminta, sebagai buzzer) bicara di media dan seterusnya. Fakta ini, mengafirmasi keniscayaan kebenaran bahwa Ady Setiawan masuk pada spesies-ordo-genus ‘spekulan’ atau ‘ovonturir’, bukan sebagai seorang ‘profesional’.
Beda jauh antara spekulan atau ovonturir dengan orang profesional (intelektual akademik). Specias-ordo-genus spekulan atau ovonturir dalam batok kepalanya hanya berisi imaji-imaji liar tanpa matematika, sehingga yang dilakukan hanya sekedar coba-coba, siapa tahu kailnya dapat ikan di air keruh dengan sknario drama yang dibangunnya.
Seorang profersional, tidak hanya menganalisis dengan matematika eksakta dan matematika sosialnya, tapi langkah apa yang harus dilakukan atau diupayakan, bersikap, bertindak, dan harus melakukan apa, dan bagaimana strateginya untuk bisa mencapai tujuan, yang bukan dengan Machiavellian.
Seorang profesional adalah seorang yang rasionalitas, akan mampu berkaca diri, mampu membaca diri, meski di cermin yang retak. Sedangkan seorang spekulan-ovonturir tidak akan mampu bercemin diri apalagi cerminnya retak, terbelenggu oleh ambisiusnya dan moral hasadnya untuk hendak berkuasa dalam kegilaan.
Semua itu ditabrak si ‘Bakul Bayu’ yang syahwat politiknya terus membara, karena sebagai penganut Machiavellian(ism), meski belum kesampaian. Pupusnya harapan itu, tidak menyurutkan ambisinya untuk menjadi orang no. 2 di Indramayu, mendampingi Bupati Nina di periode ke-2. Untuk menghibur diri, kegagalan adalah sukses yang tertunda.
Jika begitu, Ady Setiawan sebagai Dirut PDAM yang hanya bermodal Moral Hasad, tentu, akan mengatakan boleh. Ini pun pada akhirnya mengafirmasi keniscayaan bahwa PDAM (BUMD) hanya sebagai Tong Sampah dengan Manajemen Sampah di tangan Dirut PDAM Ady Setiawan. Lantas, bagaimana SOP atau aturan internal kepegawaiannya jika seperti itu? Logika dan akal warasnya tidak dituntun metodologi akademik. Sungguh berantakan akhirnya.
Mentalitasnya tidak sebanding dan atau berbanding terbalik dengan gelar yang dipamerkan bagaikan rentengan bledogan pesta hura-hura, dan pada akhirnya, mentalitas dan gelar yang dipemerkannya tidak mencerminkan kualitas intelektual akademiknya, yang konon telah digodok di kawah candradimuka.
Seharusnya, sebagai seorang yang mengklaim pofesional, dan sebagai intelektual akademik sesuai dengan gelar yang dipamerkannya adalah memamerkan dan atau mempertonkan cara-pola berpikir runut dengan logika dan akal waras akademik, memamerkan lompatan-lompatan idea liarnya yang brilian secara metodologis-akademik-ilmiah untuk bisa hidup seribu tahun lagi, karena Chairil Anwar bilang; aku ingin hidup seribu tahun lagi, dan itu bisa dibuktikan dengan karya intelektualnya. Tidak seperti Ady Setiawan yang hanya memamerkan kekonyolan ketoprak berpikirnya.
Pola berpikirnya yang berantakan tersebut, dan tidak konsisten (inkonsistensi) pun dicerminkan oleh Ady Setiawan, yang dalam statemennya dengan tegas mengatakan, bakal mundur 1 Agustus 2024 dengan alasan konkret, seiring pencalonan dirinya sebagai Bakal Calon Wali Kota Semarang. Insya Allah 1 Agustus 2024 fik saya mundur, sekarang lagi menyusun LPJ dan berbenah administrasi (Fokuspantura.com, Sabtu, 11 Mei 2024: Per 1 Agustus, Dirut Perumdam Adi Setiawan Bakal Mundur).
Tetapi kemudian, dibantah-digugurkan sendiri, dan hal tersebut dikatakannya, bahwa tulisan tersebut (fokuspantura.com, 11/5/2024) adalah cerminan sikap pribadi penulis terhadap keberadaan Ady Setiawan ini selalu taat regulasi dan mengabdi dengan ikhlas (progresifjaya.id, 13/5/2024: Ady Setiawan Tanggapi Santai Isu Kabar Mundur sebagai Dirut Perumdam TDA Indramayu).
Bantahannya yang sama dilansir Rednews.my.id: Isu Mundurnya Dirut Perumdam Indramayu, Ady Setiawan Tanggapi Dengan Santai Kabar Miring Tersebut. CAKRAWALA NUSANTARA, 18/5/2024: Rumor Dirut PDAM Mengundurkan Diri Ditanggapi Santai oleh Ady Setiawan. Beritasatu.com, 12/5/2024.17:04 WIB: Santai Tanggapi Kabar Mundur, Dirut Perumdam TDA Jelaskan Begini.
Inkonsistensinya konkret betul. Sungguh memilukan, menyedihkan dan memalukan bagi kita yang masih punya logika dan akal waras, bagi kita yang masih punya moral dan etika yang dituntun oleh logika dan akal waras akademik, yang dpandu oleh absolutism agama dalam keberagamaan.
Begitupn dengan kata-kata: mengabdi untuk Indramayu, tetapi Dirut PDAM Ady Setiawan memproduksi juga baliho dengan kata-kata: Siap Membangun Kota Semarang. Baliho yang lain: Monggo Sareng Guyup Membangun Semarang, dan baliho yang lainnya: Siap Membangun Kota Semarang. Bukankah itu cerminan dari seorang petualang politik, pecundang, dan bukan representasi dari seorang prosefional, karena memanpulasi kata: Mengabdi.
Apa hendak dikata, itulah fakta konket takdir sosial Indramayu hingga saat ini, dan itulah potret konstruk sosial yang ada, dan yang meng-ada. Akankah kita akan terus memelihara tradisi dan budaya pager doyong apa gebrage (pasrah saja dengan sikon)? Sejarah dan waktu yang akan bicara. ***
Singaraja, 5.8.2024.
Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Desa Singaraja, No. Kontak: 081931164563. Email: jurnalepkspd@,gmail.com