Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Bangsa yang Nyaris Kehilangan Rasa “Cinta”

Cinta dan budaya mewujudkan karya seni (art). “Seni” mampu menyajikan suasana harmonis, menghibur atau momen yang menawarkan kesempatan unik, untuk melakukan repleksi dan relaksasi.

Seni dan cinta merupakan arena pergulatan batin, konflik-konflik sosial dan persoalan soal jati diri manusia. Jika kepentingan lain lebih mendominasi dari cinta dan seni, maka kehidupan berbudaya dan beradab akan hilang.

Contoh kapada pihak yang terganggu dengan adanya karya seni mural yang belum lama menjadi polemik, pihak yang “terganggu” berubah agresif dan represif ketika kepentingannya berbenturan dengan bentuk ekspresi artistik yang ditampilkan.

Cinta bahkan sampai pada titik yang melambangkan keindahan dan kegembiraan bagi seseorang, menjadi hal yang tidak menyenangkan bagi orang lainnya.

Sehingga budaya dan karya seni, tidak lagi mengandung energi cinta, lalu dipolitisir dengan menggunakan bahasa kualitas dan estetika atau sopan santun. Dalam konteks yang lebih luas, bukan kualitas melainkan kriterialah yang berperan, mengapa sejumlah karya seni yang layak mendapat tempat di masyarakat.

Perbedaan apresiasi masyarakat itu, dikarenakan seni melibatkan rasa emosi yang mendalam serta merupakan struktur perasaan dan cita rasa. Cinta dan seni pun bagian dari perjuangan sosial melalui ekspresi-ekspresi kegembiraan, kemarahan, hasrat, kehalusan budi, kekuasaan, sinisme, atau ketakutan, yang hendak ditransferkan kepada khalayak.

Refrensi-refrensi seperti apa, yang dilakukan seniman terhadap situasi aktual politik atau sosial. Terkadang seni diasumsikan sebagai medan tempur simbolik demokratis.

Seperti pristiwa simbolik yang terjadi pada 10 November 1995, Pemerintah Nigeria memvonis hukuman mati kepada penulis Ken Saro-Wiwa, bersama delapan pemimpin suku Ogoni yang memprotes polusi dan eksplotasi lahan di tanah adat budayanya.

Inilah gambaran sebagian dari bagaimana medan tempur simbolik demokrasi itu bisa menjadi kejam, bila hilang dari unsur rasa cinta dan budaya. Pada saat bersamaan, peristiwa tersebut merendam hubungan sosial ke dalam kontradiksi utama.

Jika menggunakan faham demokrasi seni dan budaya, sebagai nilai valid yang mungkin ada, maka semua pihak bisa menerima dan menghormati tragedi “kekejaman” tersebut, sebagai elemen esensial dari seni dan budaya masyarakatnya.

Sebab inilah relativisme seni dan budaya yang sangat ekstrem, di mana budaya hanya boleh menghargai prangkat nilainya sendiri. Karena ada anggapan nilai yang lebih tinggi dan bahkan absolut, di atas apa yang ada di dalam budaya tertentu, bahkan dianggap sebagai yang paling adil, normal dan berterima?

Fenomena itu, dapat direnungkan secara jernih dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam deklarasi universal hak-hak asasi manusia. Konkretnya, sepanjang prinsip kebebasan seni dan budaya terjadi pembatasan dengan mengabaikan rasa cinta, maka suatu dialog mengenai bagaimana cara untuk menjembatani jurang pemisah antara kepentingan sosial, akan sia-sia dan hilang ditelan agresifitas dan kekuasaan.

Sebab hakikatnya cinta dan seni, budaya, adalah fitrah, dan sejak lama, hingga kini tetap ada dan abadi. Peradaban lah itu, kalaupun terjadi suasana lain lubuk harus lain ikannya. Namun jangan karena lain ladang harus pula lain belalangnya, sebab nusantara bagian ladang dari ribuan belalang.

Diucapkan selamat mengheningkan cipta dan cinta, atas karya seni dan budaya para pahlawan kusuma bangsa, pada 10 November di Kota Surabaya. ***

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles