Diumumkannya ciri-ciri penceramah yang terpapar radikalisme untuk tidak diundang menimbulkan polemik dan tanda tanya. Sejumlah kalangan pun mempertanyakan apa definisi radikal.
Dalam masyarakat Islam garis besarnya pandangan dasarnya sama. Artinya, sama bermaksud agar pemahaman keagamaan itu seragam. Tidak banyak ragam atau friksi.
Yang menariknya, kalau kita coba timbang-timbang apa yang dimaksud dengan Ibnu Taimiyah apa dan bagaimana bedanya Halul Akdi konsep politik Mawardi. Tidak ada yang keliru isinya.
Sama halnya dengan Mamlakah, kerajaan konsep syuro demokrasi. Juga tak beda jauh Cones Khilafah dari Hizbut Tahrir. Kalau konsep Khawarij, memang nyata salah karena menganggap konsep dari Hawaridj saja yang benar.
Jika dilihat dasar pemikirannya adalah para intektual zaman yang berbeda. Jadi artinya adalah mazhab berdasar penafsirnya. Jadi kita dihebohkan oleh pemikiran yang timbul dari para pemikir Islam itu.
Memang tidak salah kalau dinyatakan bahwa kita ini adalah mazhab penafsir atau pengikut tafsir. Bukan pemikiran. Padahal semestinya mazhab faham berangkat dari konsep pemikiran yang terdapat dalam pemikiran keagamaan.
Maka yang penting itu mungkin manajemen perbedaan. Untuk bisa menempatkan bagaimana menempatkanya. Yaitu itulah manjemen perbedaan. Atau lebih tepat fiqih Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda beda tapi bersatu.
Yaitu seperti dikatakan oleh Buya Anwar Abbas Wakil Ketua MUI Pusat yang menyamakan orang kafir dengan orang yang ingkar. Dalam Islam ada konsep kafir itu dinyatakan.
Konsep kafir menurut Victor Tanja seorang cendekiawan Kristen yaitu kafir adalah seekor domba yang hilang. Sehingga persahabatan bisa berlanjut. Karena saling memahami.
Berbeda jika analisa Ibnu Arabi (879-951) dipakai yaitu ada 5 (lima) golongan masyarakat. Hanya satu golongan yang benar. Pertama masyarakat utama yang benar. Yang lain salah, seperti negara fasiq, negara jahiliyah, negara munafiq yang berubah-ubah dan negara dalalah (sesat). Menggunakan yang masyarakat utama.
Ibnu Arabi meskipun ahli dan patut kita acungkan jempol. Namun Ibnu Arabi hidup setelah Nabi wafat lebih kurang dua ratus tahun. Cukup lama.
Sebagaimana kita ketahui dalam fiqih disebut 3 (tiga) bentuk, yaitu:
- Fiqih doktrin yaitu apa adanya sesuai dengan teks yang ada. Fiqih ini harus dijalankan.
- Fiqih tolerans yaitu faham yang harus ditolerir atau dipertimbangkan.
- Fiqih yang fobia atau tiruan atau yang mengada ada. Mesti ditinggalkan.
Ini semua terjadi sesudah nabi dan khalifah Rasyidin yang keempat wafat. Jadi tafsir yang ditinggalkan menjadi pedoman yang berbeda pada kaum di belakangnya. Terjadilah  simpang siur pengertian karena perbedaan tafsir. Karena adanya perubahan situasi kondisi yang ada.
Karena itu perlu agaknya diingat konsep Islam dalam Surat Annisa ayat 59 yang berbunyi Faruddu ilal lah warasuul (Kembalilah ke (jalan) Allah dan Rasullah).
Maksudnya dari ayat ini agar tinggalkanlah atau hentikan perbedaan yang sifatnya tafsir atau definisi para ahli tafsir. Bukan kah mereka  hidup di zaman berbeda dengan kita. Insya Allah kita akan selamat. Mudah-mudahan!
Jakarta, 10 Maret 2022
*) Masud HMN adalah Doktor Dosen Paskasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta. e-mail: masud.riau@gmail.com