Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Benarkah Pilpres 2024 Paling Jahanam Sepanjang Sejarah Peradaban Umat Manusia?

Oleh O’ushj.dialambaqa *)

UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang memberangus netralitas, moral dan etika yang dilahirkan oleh rezim tirani yang disepakati Senayan. Jkw sebagai presiden dengan amat sangat cerdik memanfatkan lubang-kubang kesoakannya, untuk bisa optimal cawe-cawe, mengendalikan aparatus negara menjadi aparatus kekuasaan secara hirarkis hingga mempermainkan APBN. Moral dan etika sebagai bangsa dan negara tidak lagi dipedulikan untuk smpai pada ambisi kekuasaan politiknya.

Semua itu untuk upaya memenagkan paslon 02, agar tetap bisa berkuasa, setelah narasi dan gerakan senyap mengamandemen konstitusi gagal. Menarasikan perpanjangan 3 periode gagal. Bazer-bazer gagal menjegal gejolak kritik, oponi akademik, petisi Guru Besar dan kampus, seruan tokoh-tokoh sipil, demo, dan lainnya yang dilakukan civil society.

Petisi Guru Besar-Sivitas Akademika-Mahasiswa dan gerakan kampus makin meluas, dikarenakan makin rusaknya demokrasi-konstitusi tak bisa terbantahkan lagi.. Kita sebagai bangsa yang ingin beradab tidak ingin demokrasi-konstitusi-Pancasila ditelan fasisme kekuasaan.

Automatic Adjustment APBN

Menkeu Sri Mulyani melakukan autamatic adjustment. Tentu atas kemauan Sang Tiran- Pemblokiran anggaran melalui automatic adjustment, memotong 5% anggaran dari sejumlah kementrian/lembaga (K/L) dengan total 50,14 T. Menkeu, menerbitkan surat bernomor: S-1082/MK.02/2023 tertanggal 29 Des 2023. Menkeu mengatakan, blokir anggaran merupakan arahan Presiden Jkw.(KOMPAS.Com, 13 Feb 2024. 07.02 WIB: Isi Lengkap Surat Blokir Anggaran 50,14 T Ditandatangani Sri Mulyani. CNN Indonesia.Com, 08 Feb. 2024.12.26 WIB: Apa Automatic Adjustment, Kebijakan Sri Mulyani Blokir Uang 50 T).

Bansos mendadak membengkak dalam APBN, menelan 497 T. Kemensos Tri Rismaharini mengaku tidak tahu menahu mengenai hal tersebut. Dari total alokasi anggaran untuk perlindungan sosial 497 T, pihaknya hanya bertanggung jawab menyalurkan sebedar 78 T. Selebihnya anggaran bansos tersebut, Kemensos tidak tahu menahu. (Kompas.Com, 20 Maret 2024.07.01 WIB).

Bansos dadakan tersebut dalam praktiknya juga tidak berdasarkan DTKS KPM (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Keluarga Penerima Manfaat) Kemensos. Penyalurannya kepada KPM intensif dilakukan pada Januari dan Februari menjelang Pilpres digelar.

Jelas tidak tepat sasaran. Hal tersebut menunjukkan adanya motif electoral untuk paslos 02. Jelas ada penyalahgunaan kewenangan-sumpah jabatan yang melanggar konsititusi, dan itu merupakan perbuatan tercela sebagaimana dimaksudkan dalam konstitusi, yang menempatkan dan menjungjung tinggi moral dan etika sebagai sebuah bangsa dan negara.

Moral dan etika valuenya di atas perundang-undangan, tanpa kecuali regulasi turunannya. Bukan antar-UU atau antar-regulasi saling bertolak pantat. Jika seperti itu, namanya bangsa soak dan negara soak. Bangsa yang soak dan negara yang soak, dalam sosiologi kekuasaan-politik pastilah dipimpinpin oleh pemimpin yang soak, pun jika merujuk teori psikoanalisis.

Kesoakan itu dalam psikoanalisis Sigmund Freud dikarenakan puncak super ego tidak bisa dikendalikan oleh id (kesadaran diri) untuk menyimbangi naluri hewani (peran Id) dan ambisi kebablasan (super ego), ambisi rem blong, sehingga kata Thomas Hobbes, menjadi homo hommini lupus.

Tidaklah salah, bahkan menjadi tepat apa yang ditulis oleh Marcus Aurelius (Romawi, 121-180)  menstabilo: “Nilai Seorang Manusia Tidaklah Lebih dari Ambisinya”., sehingga ambisi dengan rem blong bisa mengakibatkan katastrofe (bencana) bagi bangsa dan negara, jika itu melekat pada presiden.

Kebijakan automatic adjustmen jelas melanggar, menabrak UU APBN itu sendiri. Menkeu berkelit dan berdalih, automatic adjustmen APBN sudah tiga kali dilakukan Presiden Jkw. Automatic adjustement, istilah lain adalah recofusing anggaran.

Tentu, automatic adjustment jika ada kegentingan yang memaksa bisa dilakukan, seperti  pandemic covid-19, dan itu bisa kita pahamai sebagai bangsa dan negara yang punya logika dan akal waras. Jika dalam kondisi normal mekanisme yang telah diatur UU APBN adalah harus melalui APBN-P, bukan seenaknya kepentingan perut kekuasaan Sang Tiran. Sekali lagi, dalil Menkeu, automatic adjustment bukan hal yang pertama dalam kebijakan Presiden Jkw Sang Diktator.

Automatic adjustment masih bisa kita pahami, jika ada kondisi memaksa, kegentingan atau darurat nasional selain pandemic covid; bencana alam yang extra ordinary, wabah yang dahsyat secara nasional dan seterusnya seperti yang diceritan Albert Camus dalam La Paste. Automatic adjustment bukan dilakukan dalam keadaan normal seperti sekarang. Kegentingan Jkw yang memaksa sekarang adalah kegentingan elektoral untuk memenangkan anak sulungnya, paslon 02. Hanya ODGJ yang melakukan pembenaran atas kebijakan soak tersebut.

Apapun bantahan atau penyangkalannya oleh rezim tirani tak bisa dipungkiri atas jejak kebenaran tersebut sebagai politisasi ‘bansos’, gula-gula atau Politik Gentong Babi untuk pemenangan paslon 02. Jelas kebijakan tersebut menabrak UU APBN itu sendiri.

Politik Gentong Babi

Politik Gentong Babi (Pork Barrei) adalah sejarah kelam masa perbudakan di AS, awal tahun 1700-san. Tom Wakerford-Jasber Singh menulisnya dalam “Towards Empowered Participation: Stories and Reflection”. Buku itu menuliskan bahwa pemilik budak di AS biasa memberikan daging babi asin dalam gentong kepada para budaknya, agar para budak tidak menjadi pemberontak. Tetap setia pada tuannya. Politik Gentong Babi untuk merusak mentalitas, mengendalikan kemiskinan dan kebodohan yang harus tetap dipelihara untuk kelangsungan kekuasaannya.

Politik Gentong Babi dalam sosiologi politik dan kekuasaan dipakai sebagai peralatan semiotika dan hermetika untuk membongkar motif politik dalam pemberian bansos atau sesuatu yang lain, yang juga bisa didefinisikan sebagai money politik dalam bentuk lain, untuk kepentingan politik tercapainya tujuan. Sasarannya, tentu pada level masyarakat akar rumput atau masyarakat yang mentalitasnya bobrok, para pecundang, pemuja kekuasaan dan atau penghamba kekuasaan, yang memberhalakan kekuasaan.

Politik Gentong Babi, berulangkali diucapkan dan menjadi stabilo stigma politik babi dalam analisis kritis Feri Amsari (Pakar Hukum Tata Negara-Universitas Andalas) dalam film dokumenter Dirty Vote, dan selalu ditegaskan ulang dalam setiap dialog, diskusi diberbagai tv dan podcast untuk membongkar jejak politik bansos sebelum dan menjelang Pilpres 2024 sebagai puncak gunung es-nya yang dilakukan rezim tirani-Jkw.

Analisis politik Gentong Babi dapat menelusuri jejak politik (baca: jejak kecurangan, kejahatan) dari kebijakan dadakan bansos yang menelan APBN 497 T tersebut. Bansos ala Gentong Babi Jkw sebagai kebijakan politik, pada akhirnya menjadi sangat amat mudah bisa terbaca endingnya. Politisasi bansos adalah untuk kepentingan elektoral paslon 02 semata-mata, yang jika Jkw masih berada dalam kandang PDIP dalam Pilpres 2024, tentu politik Gentong Babi akan dipakainya juga oleh PDIP bersama Jkw.

Para pemuja kekuasaan-penghamba kekuasaan boleh saja membantahnya dengan berkelit, berdalih dan berapologi, bahwa ‘bansos’ tersebut tidak berpengaruh dalam elektoral paslon 02. Itu apologi yang dibangun dan dipertahan oleh ODGJ, karena otaknya tidak berfungsi, ngomong pakai dengkul. Jika yang ngomong para doctor atau professor, itu artinya, mereka tengah membutakan metodologi akademiknya untuk sebuah pelacuran intelektual.

Pemungkiran tersebut, tentu karena kehilangan logika dan akal waras, sehingga kewarasannya tidak bicara dalam kejujuran. Padahal, survey electoral yang akademik. Politik Gentong Babi mengafirmasi kebenaran akan adanya relasi babi-babi yang dibagikan dengan elektoral paslon 02 tersebut secara signifikan. Konkretnya, konklusi tersebut membuktikan kebenaran, bukan pembenaran.

KPU dalam Kejahatan Demokrasi

KPU ternyata tidak hanya melakukan kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi lantaran menetapkan paslon 02-PG yang hanya bersandar pada apologi putusan 90 MK tanpa harus merubah salah satu pasal dalam PKPU terlebih dahulu.

Kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi yang dilakukan KPU terus berlanjut. Ketua KPU mengintervensi KPUD-KPUD untuk upaya bisa membantu meloloskan parpol ke kursi parlemen (Senayan). Fakta konkret apa yang dilakukan oleh KPU berupa percakapan (tangkapan layar screenshot) washapp yang dikirim Ketua KPU ke KPUD-KPUD. Percakapan (perintah) washapp tersebut bocor ke luar tembok  KPU-KPUD yang dijaga aparatus negara, dan menyebar ke medos.

Fakta kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi yang dilakukan KPU tersebut tak bisa terbantahkan, apalagi ada pengakuan yang blak-blakan oleh Ketua KPUD mengenai kebenaran tersebut. Pengakuan salah satu KPUD tersebut menjadi pemberitaan media dan medsos. Sekali lagi, bukan pembenaran, karena kita tengah mencari jejak kebenaran atas kebenaran itu sendiri.

Fakta-fakta konkret mengenai kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi yang dilakukan KPU tersebut dibuktikan dengan diberikannya sanksi oleh DKPP;  ‘Peringatan Keras yang Terakhir’ kepada Ketua KPU Hasyim Asy’ari. Meski faktanya tak pernah berakhir terakhirnya. Padahal, sanksi tersebut telah dijatuhkan berkali-kali. Sanksi DKPP tersebut, ternyata hanya lipstik.

Etika dan moral pun sudah ditanggalkan oleh Ketua KPU. Sudah tidak tahu diiri, tidak tahu malu dan tidak punya kemaluan lagi, dengan suka cita dan sumringah hari ulang tahunnya dirayakan bersama dengan salah satu parpol yang mempunyai relasi kuat dengan rezim tirani, yakni PSI.

Fakta konkret tersebut tidak bisa terbantahkan, karena video yang otentik tersebut tersebar di medsos dan dibanyak kalangan yang tengah melacak jejak kebenaran kecurangan-kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi sebagai bangsa dan negara yang ingin beradab.

DKPP dan Bawaslu pun tak bisa terbantahkan, ikut berselancar dalam riak dan gelombang kejahatan kognitif demokrasi dalam Pilpres 2024, karena banyak fakta pengaduan pelanggaran Pemilu disampahkan begitu saja. Bahkan dianggap bukan pelanggaran, dimana logika dan akal waras akan mengatakan sebaliknya.

C1 Plano, Anomali Sirekap dan Alibaba

Para pakar IT yang masih punya logika dan akal waras mengatakan, banyak kejanggalan dalam sistem Sirekap dan hasil Sirekap itu sendiri. Orang awam seperti kita, merasa heran dan aneh jika C1 Plano yang dikirim atau ditransfer ke Sirekap dengan sistem foto Hp membuat sistem dan sirekap salah membacanya, sehingga ketika dikroscek hasil angka yang berada disirekap dengan C1 Plano bisa tidak sama, bahkan jauh perbedaannya.

Aapologi tidak waras dibangun dan dinarasikan, seperti mungkin karena C1 Plano yang dikirim ke Sirekap adalah C1 Plano hasil foto kamera Hp yang tidak standar, resolusinya rendah, tidak sesuai, sehingga Sirekap menjadi salah baca, membuat angkanya molak malik seperti angka 1 bisa menjadi angka 7, angka 3 dan 0 bisa menjadi angka 8 dan seterusnya.

Jika persoalannya begitu, mengapa para petugas TPS, KPPS. PPK dan KPUD  tidak diharuskan menggunakan Hp yang memenuhi standar, sehingga bisa menghasilkan foto yang akurasi kebenarannya dijamin 100%. Sepele betul apologi kengawuran dan ketidakwarasannya.

Jika persoalannya pada penulisan angka, kenapa penulisan angka tidak menggunakan standar angka yang ditetapkan KPU, sehingga jika difoto tidak mengalami degradasi atau pembiasan, untuk menjamin Sirekap tidak bisa salah baca, tidak terjadi anomali angka dalam  Sirekap, sepeti angka 1 bisa menjadi angka 7, karena angka 7-nya tidak menggunakan penulisan angka 7 dengan tanda palang. Angka 3 dan 0 bisa menjadi angka 8 jika ditulis tangan, dan seterusnya.

Kedua alasan Sirekap salah membaca angka hasil foto C1 Plano menjadi sangat naif, karena teknologi tidak akan bisa berbohong, terkecuali memang didesain untuk melakukan kecurangan-kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi.

Konkretnya, bagaimana mungkin Sirekap dengan sistem IT (tekonologi mutakhir) bisa mengahsilkan angka Sirekap 300san ke atas, ada yang angka 800san dan seterusnya dalam satu TPS. Padahal, C1 Plano hasil foto yang dikirim di bawah angka 300 atau hanya 300.

Dalam satu TPS hanya ada kertas sura sebanyak 300 dan  jika dengan antisipasi tambahan 20%, berarti setiap TPS maksimal hanya 306 atau 309 kertas suara. Jadi tidak akan pernah menghasilkan angka penjumlahan dalam C1 Plano menjadi ada yang 800san lebih. Kecuali Sirekap yang sengaja didesain untuk bermain curang atau kejahatan, by order sang tuan.

Jika didesain tidak  untuk melakukan kecurangan-kejahatan, seharusnya aplikasi yang dibuat untuk Sirekap, jika C1 Plano yang dikirim di atas angka 300san, 500 atau 800san,  sistem itu akan menolak atau Sirekap tidak akan memasukannya atau akan menampilkan angka (data) merah jika pun bisa masuk.

Begitu juga jika C1 Plano yang dikirim tersebut angkanya tidak cukup jelas, Sirekap menolaknya, sehingga semua itu bisa diedit ulang oleh si pengirim C1 Plano. Bukan yang mengedit KPU Pusat, kecuali KPU Pusat membuat data mentah lagi.

Bagi kita yang punya empirik sebagai pemantau independen Pemilu yang konsen pada demokrasi-konstitusi, sejarah telah memberikan catatan hitam demokrasi setiap Pemilu atas kecurangan-kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi yang terjadi, meski tidak sejahanam dalam Pilpres 2024 ini yang hasilnya telah diumumkan dan ditetapkan KPU dengan kemenangan paslon 02-PG secara telak, absolut.

Kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi itu sesungguhnya bisa terjadi pada saat perhitungan suara di TPS. Angka yang dilaporkan ke KPPS berbeda. Begitu juga angka di KPPS (C1 Plano) yang yang dikirim ke PPK, dan PPK ke KPUD pun KPU Pusat juga bisa tak sama dalam  perhitungan manual berjenjang.

Puncak permainan kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi bisa terjadi juga di KPUD bahkan di KPU Pusat, dimana angkanya bisa berbeda dengan C1 Plano yang dikirim secara berjengjang ke KPUD yang kemudian oleh KPUD menetapkan dan memutuskan hasil daerah dan dikirimlah ke KPU-Pusat. Rekapitulasi suara itu dimulai dari TPS-KPPS-PPK-KPUD Kab’Kota-KPUD Prop dan KPU Pusat yang disebut dengan Rekapitulasi Manual Berjenjang. .

KPU Pusat kini menerapkan sistem rekapitulasi manual berjengjang setelah Sirekap dipersoalkan dan bermasalah, karena di dalamnya mengandung kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi. KPU kemudian menghentikan Sirekap dalam perjalanan hasil Pilpres 2024, makin mengafirmasi kebenaran terbongkarnya Alibaba cloud oleh  para pakar IT.

Oleh karena itu, Sirekap tidak menutup kemungkinan kejahatan kognitif demokrasi-konstitusinya juga dimulai dari TPS-KPPS-PPK-KPUD-KPUD Prop dan KPU Pusat dengan sietem Sirekapnya. Yang akhirnya ke bongkar, lantas KPU justru menghentiakan atau meniadakan tampilan Sirekap. Publik kehilangan kontrol atas kejujuran, kebenaran dan kejahatan kognitif  Pilpres 2024. Kuasa bandar, akhirnya.

Dengan fakta konkret tersebut kemudian mengkambing-hitamkan IT, maka jelas dari sisi motif itu merupakan apalogi untuk alibi supaya kejahatannya tidak terbongkar, tidak terungkap..Akan tetapi,-kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi dalam Pilpres tersebut tidak bisa disembunyikan KPU di era digital ini.

Di luar KPU, masih banyak para ahli-pakar IT yang waras, yang independen, tidak bisa berdiam diri melihat kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi., karena tidak akan menghasilkan Pilpres yang JURDIL dan LUBER untuk menuju demokrasi.

KPU mengklaim menemukan banyak anomali di Sirekap. Klaim itu merupakan alibi untuk menyembunyikan kejahatan kognitif dalam desain sistem Sirekap KPU untuk tujuan memenuhi order sang tuannya agar paslon 02 bisa menang satu putaran pada Pilpres 2024.

Anomali Sirekap, sesungguhnya dibongkar atau diungkap habis-habisan oleh para pakar IT yang masih punya logika dan akal waras, karena teknologi (IT) jangan menjadi kambing hitam, teknologi tidak bisa membela diri, tidak bisa berbohong, tapi bergantung pada pendesain dan operatornya, apakah untuk kejahatan atau untuk kebaikan.

Teknologi tidak bisa berbohong, karena bukan makhluk hidup-manusia seperti kita. Teknologi mempunyai derajat yang sangat amat mulia sebagai turunan dari ke-maha-cerdasan Tuhan yang telah diberikan kepada sebagian dari kita-manusia yang mau berfikir dan menggunakan logika dan akal warasnya.

Setelah terbongkar oleh banyak pakar IT, KPU lantas mengatakan telah menemukan anomali dalam Sirekap, kemudian diperbaikinya. Rupanya Ketua KPU sudah terbiasa dalam berbohong, sehingga ketika memberikan statemen tersebut begitu meyakinkan publik yang tidak melek.  Yang logika dan akal warasnya diletalan di dengkul atau menyatu dengan pusertnya.

KPU tidak hanya itu berkelit dan berapologi, bantahan yang meyakinkan, ketika parta pakar IT mengatakan hasil pelacakan terhadap sistem Sirekap, menemukan bahwa servernya tidak berada di negerinya sendiri, melainkan berada di luar negeri; Singapura, negeri Alibab-China bahkan ada di Prancis. KPU tetap tidak mengakuinya, menepis dan membantah.

Begitu juga KPU membantah bahwa Sirekap cloudnya konek dengan Alibaba-China. Tetapi, akhirnya KPU tidak bisa menyembunyikan lagi  bangkainya. Baunya makin menyengat, dan makin membuat para pakar IT geram dan jengkel dengan bantahan KPU yang tidak mengakui cloud Alibaba.

Cyberity (Komunitas yang fokus isu keamanan  siber) menemukan  sistem Pemilu 2024.kpu.id dan sirekap web.go.id menggunakan layanan cloud yang lokasi servernya berada di China, Prancis dan Singapura (VOA Indonesia, 17/02/2024).

Pakar IT lainnya, Roy Suryo dan Hairul Anas Suaidi makin detail memberi penjelasan. Sirekap KPU memiliki jejak digital kriminal Pemilu 2024 (Hairul Anas Suaidi, INews, 9/03/2024). Bahkan ada JSON Script yang dipasang diserekap (Roy Suryo, INews: Rakyat Bersuara).

“Sirekap KPU menipu 54 juta DPT Siluman. Dengan alamat Pemilu 2024.kpu.go.id yang beralamat server Zhenjiang China yang beroperasi.  Yang beroperasi bukan Sirekap KPU, silakan dicek disirekap, namanya sirekap web.kpu.go.id tidak berfungsi, itu yang alamatnya di Singapura.

Masuknya suara itu diatur, tapi belum masuk sirekap. Kenapa? Dia mempertahankan yang 02 tinggi dimasukan dulu, kosong 01 dan 03 ditahan dulu. Satu TPS itu bisa menambahkan 136.180 suara pada 02. KPU jelas terlibat, iya”. (Abraham Samat Speak up: Muhammad Agus Maksum Menemukan Pakar IT: Sirekap KPU Meniupu Ada 54 Juta DPT Siluman. Tolak Pilpres Curang,  Tangkap Ketua KPU).

Fakta konkret bahwa Alibaba terlibat dalam Sirekap KPU, tak bisa terbantahkan lagi. Pada sidang di KIP (Komisi Informasi Pusat), Selasa, 5/3/2024 atas gugatan YAKIN (Yayasan Advokasi  Hak Konstitusional).  Tak pelak lagi, KPU tak bisa menghindar apalagi memungkiri. Akhirnya mengakui bahwa ada kerja sama dengan Alibaba-China. Konkret betul fakta permainan kejahatan kognitif yang dimainkan KPU dengan Sirekap Alibabanya.

Dengan pengakuan KPU di sidang KIP, dan fakta-fakta yang dibongkar para pakar IT, mengafirmasi kebenaran bahwa KPU terlibat penuh dalam kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi, apalagi kemudian Sirekap tidak lagi difungsikan, dihentikan, padahal sistem dan aplikasi Sikerap tersebut menelan uang negara puluhan milyar.

APH seharusnya dengan sendiirinya, tanpa ada pelaporan publik, bisa  menyeret Ketua KPU dan yang terkait, dalam tipikor karena penyalahgunaan kekuasaan dan keuangan negara yang dirugikan dengan Sirekap. Tentu, jika APH bukan bagian dari alat kekuasaan rezim tirani-Jkw, yang harus mengemban amanat konstitusi dan penegakkan kebenaran hukum di atas kebenaran consensus  hukum seperti yang dikatakan Jurgen Habermas.

Atas hal fakta konkret tersebut, kemenangan paslon 02 seperti yang telah diumumkan dan ditetapkan KPU pada 20/3/2024 bukan lagi hal yang mengejutkan kita semua yang punya logika dan akal waras.

Di negeri ini Pemilu-Pilpres hanya dijadikan topeng demokrasi-konstitusi dari rezim ke rezim. Di negeri ini pula, mulai Presiden, Kepala Daerah; Gubernur, Bupati dan Walikota, dan para legislator adalah petugas parpol dari pusat hingga daerah, bukan bertugas mengemban konstitusi untuk bangsa dan negara.

Maka, negeri ini tidak akan bisa mencapai seperti apa yang dikatakan Adam Smith tentang Welfare State, menjadi absurditas. Para petugas partai- pada akhirnya hanya bermuara perebutan kekuasaan, berebut kekuasaan semata di sumbu-sumbu kekuasaan, tak lebih dari itu. Bukan memikirkan bangsa dan negara, melainkan hanya memikirkan perut kekuasaan apalagi jika berangkat dari kekuatan kecurangan-kejahatan kognitif demokrasi-konstitusi, dan kekuasatan money politics eksitensinya.

Presiden, Kepala Daerah; Gubernur, Bupati, Walikota, dan anggota Dewan (Legislator) adalah menjadi petugas partai dalam fakta konkret sistem kepartaian kita, Sebagai petugas partai, niscaya tidak akan memikirkan masa depan bangsa dan negara harus bagaimana.

Mereka akan jauh lebih memikirkan bagaimana kepentingan perut kekuasaannya. Sibuk dan hiruk pikuk  sibuk memikirkan kekuasaannya. Bukan memikirkan segenap tumpah darah. Sungguh absurd dan menjadi naif negeri ini.

Per-KKN-an (Perkronian, Perkolusian dan Pernepotismean) tak bisa terbantahkan lagi, hanya akan melahirkan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepostisme). Negeri ini benar-benar adakadabra. Negeri ini ‘ada’ tapi menjadi ‘kadabra’ akhirnya.

Oleh sebab, kita jangan heran apalagi aneh atau terkejut jika setiap pergantian rezim ke rezim tidak merubah kondisi bangsa dan negara seperti di banyak negara di belahan dunia sana. Rakyat bisa bermimpi dan menaruh harapan pada setiap pergantian rezim..

Negara, yang mereka pahami adalah kekuasaan, sehingga yang terus meng-ada adalah per-KKN-nan (Perkronian, Perkolusian dan Pernepotismean), sehingga hanya akan melahirkan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), dimana aparatus (alat) negara menjadi aparatus (alat) kekuasaan) untuk kepentingan kekuasaan rezim.

Bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan untuk mensejahterakan rakyat dan bukan pula untuk melindungi segenap tumpah darah seperti yang dikatakan dan atau diamantkan oleh Negara. Di negeri ini, Negara tak berdaulat, tak berdaya. Padahal, Negara seharusnya (berani) menjadi opisisi melawan kekuasaan pemerintah-rezim tirani.

Untuk itu, bagaimana dengan sikap kita? Albert Camus telah mengingatkan dan mengajarkan pada kita, bahwa negeri yang cantik nan jelita bisa binasa, karena bangsanya tidak lagi bermoral, beretika atau beradab. Etka, moral dan keadaban telah ditukarkan dengan moral hasad sebagai bangsa dan negara. Binasalah negeri yang cantik nan jelita itu pada akhirnya.

Dari La Paste-Albert Camus kita yang masih punya logika dan akal waras bisa merenung kembali untuk sebuah bangsa dan negara di hari esok sebelum matahari tenggelam, selamanya. Subhanallah. Sungguh mengerikan bagi kita yang waras, kita yang bukan ODGJ.

Jean Paul Sastre (sorang filsuf eksistensialis dan sastrawan) mengatakan: Manusia menjadikan dirinya sendiri; dia bukanlah makhluk yang langsung jadi; dia menjadikan dirinya sendiri melalui pilihan moralitasnya, dan dia tidak bisa lain kecuali memilih salah satu moralitas, dan yang demikian itu dikarenakan tekanan keadaan dia alami.

Konklusi dari premis ke-3 bagian tulisan dengan judul di atas,  pada akhirnya berpulang kembali kepada diri kita. Apakah kita sebagai bangsa dan negara sebagai warga dunia lebih memilih legitimasi moral dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai warga dunia?

Ataukah kita sebagai bangsa dan negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai warga dunia, kita lebih meilih legitimasi putusan KPU (jiks putusan MK pun sama) atas hasil Pilpres 2924? Sekali lagi, apakah menjadi lebih berarti bagi kita melegitimasi putusan KPU, ketimbang memilih melegitimasi moral dan etika atas bangsa dan negara ini? ***

Singaraja, 22 Maret 2024

Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

 

 

 

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles