Subang, Demokratis
Masalah korupsi masih menjadi isu hangat untuk dibicarakan, dibahas dan didiskusikan. Tak sedikit elemen masyarakat yang merasa jengah dan muak dengan perilaku koruptif, sehingga ingin segera diterapkannya pasal hukuman mati bagi pelakunya. Seperti di negeri beruang merah (baca: China).
Ironis memang, tindak pidana korupsi (tidpikor) ini tidaklah sama dengan tindak pidana lainnya. Tidpikor merupakan sebuah kejahatan sangat luar biasa (extra ordinary crime). Disebut begitu lantaran dampaknya dapat menimbulkan disparitas ekonomi bahkan krisis ekonomi secara nasional, gagalnya pembangunan nasional, kerugian keuangan negara/daerah/desa sehingga dapat menimbulkan kesengsaraan masyarakat luas.
Jika ada yang mengatakan bila penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sudah menjalar hingga ke tingkat pedesaan, fenomena itu memang telah lama berlangsung, hanya saja ada yang mencuat dan tidak mencuat ke permukaan.
Hal itu terjadi belum lama ini di Desa Neglasari, Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang, kasus dugaan penjualan beras bantuan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) yang semestinya dibagikan ke keluarga penerima manfaat (KPM), diduga dilakukan oknum perangkat desa ke warga setempat dengan harga kisaran Rp80 ribu-Rp100 ribu/karung/10 Kg, sehingga merugikan warga yang berhak menerima dan berpotensi merugikan keuangan negara/daerah/desa.
Kasus itu menurut sumber masuk katagori tindakan korupsi dan sudah ditangani oeh instansi terkait bahkan sudah di-BAP oleh pihak aparat penegak hukum (APH), namun hingga ini tidak jelas juntrungannya.
Informasi yang dihimpun dan hasil investigasi lapangan menyebutkan, tepatnya di malam sejumah (6/7/2024) sekira pukul 22.00 WIB beberapa warga melihat seseorang yang mencurigakan dan mondar mandir di halaman pekarangan Kantor Desa Neglasari, sehingga membuat penasaran lalu beberapa warga mengintai melakukan pengintaian dari kejauhan.
Ahirnya warga menghampiri orang yang mencurigakan, ternyata saat melihat wajah orang tersebut dikenali. Ketika ditanya terhadap orang bersangkutan adalah perangkat desa. “Lagi apa kang? Kok tengah malam ada di kantor desa?” tanya warga. Lanjut warga, “Kok itu ada karung berisi beras yang diselapkan di loster kusen pintu atas pintu kantor desa mau dibawa ke mana, bukannya beras itu beras bantuan.”
Dengan rasa penasaran warga mengajak oknum perangkat desa tersebut untuk melihat dari dekat adanya beras yang diselapkan di loster kusen pintu desa dan saat pintu dibuka ternyata banyak beras karungan yang tergeletak di teras lantai ruang kator desa.
Sementara itu oknum perangkat desa Ahmad Aripin mengaku telah menyelapkan beras di loster kusen Kantor Desa Neglasari. Dalam surat pernyataan tertulisnya di atas materi Rp10.000 yang dibuat pada 6 Juli 2024, Ahmad mengaku melakukan perbuatan itu dalam kondisi terdesak ekonomi, namun dirinya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan sama di kemudian hari. Apabila wan prestasi dirinya siap disanksi sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Kepala Desa Neglasari H Ita Abdul Hamad saat dikonfirmasi di ruang kerjanya, baru-baru ini, membantah bila pihaknya telah menjual beras bantuan CPP. “Beras-beras bantuan itu bagian KPM yang tersisa atau belum diambil jatahnya,” ujar Ita berdalih.
Jadi penjualan atau penggelapan beras bantuan CPP itu tidak ada, ada juga peristiwa penjualan beras dari warga ke warga sudah lazim dilakukan warganya, hal itu karena butuh uang yang diperuntukan menutupi kebutuhan lainnya. “Kan kalau sudah menjadi haknya kemudian dijual ke pihak lain, kan sah-sah saja bukan,” kata Ita beralibi.
Ita juga mengakau bila peristiwa ini sudah dilakukan pemeriksaan oleh instansi terkait (baca: Irda) bahkan oleh aparat penegak hukum (APH). “Tapi enehnya tidak ada tindak lanjut, apakah sengaja dipetieskan?” tanya warga. (Abdulah)