Indramayu, Demokratis
Fenomena tercemarnya laut diakibatkan oleh ceceran minyak, yang diduga berasal dari PT Pertamina (Persero) Refinery Unit (RU) VI Balongan, yang tersebar di laut hingga sampai pesisir pantai, khususnya di pantai Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Jawa barat. Hingga saat ini sumber limbah tersebut belum dapat diketahui bahkan masih menyimpan segudang misteri untuk publik.
Pencemaran limbah B3 kembali terjadi pada Selasa (19/11/2020), limbah yang berbentuk gumpalan hitam tersebut membuat noda pesisir pantai Kecamatan Balongan hingga di Kecamatan Indramayu. Sebelum pemerintah melalui dinas terkait mengetahui, sejumlah masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan, khususnya nelayan yang bernaung di Komite Nasional Nelayan Nusantara (KONANN) Indramayu, telah membuat teguran berupa surat. Pada Kamis (26/11/2020).
Surat teguran tertulis yang bernomor 01/PP/ KONANN – IM/ STT/ X/ 2020, tertanggal 26 Oktober 2020, isi surat dengan perihal telah ditemukan pencemaran limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di pesisir laut Jawa tepatnya di Desa Karangsong, dengan nama yang tercantum di dalam surat beserta bukti-bukti berupa foto limbah B3 berupa gumpalan hitam yang diduga dari PT Pertamina.
Pada pemberitaan sebelumnya telah dijelaskan dan diuraikan, bahwa pada tahun 2008, pantai utara (Pantura) pernah mengalami peristiwa petaka serupa. Atas petaka itu, seharusnya tidak ada alasan lagi untuk Pertamina serta pihak dinas terkait agar menghindar dan lari dari tanggung jawab.
Sehingga publik tidak berimpulsif atau bahkan salah interprestasi bahwa untuk mencari sumber limbah yang dimaksud membutuhkan durasi waktu yang sangat panjang bak di dalam labirin atau bahkan terkesan mengulur-ulur waktu dengan berlindung di balik Standar Operasional Perusahaan (SOP) yang telah ada.
Keterangan dari Kepala Desa (Kuwu) Karangsong, Dulloh menjelaskan bahwa peristiwa tersebut harus dikawal dengan serius dan dinas segera membentuk Satuan Tugas (Satgas) Khusus dari Pertamina dengan himpunan, lembaga, atau organisasi untuk menangani kasus ini. Kemudian perihal uji laboratorium, untuk biaya menguji ceceran minyak yang diduga dari PT Pertamina sangatlah fantastis, oleh karenanya harus segera ditangani bersama-sama.
“Udah pada jalannya, tinggal dikawal. Harusnya ada Satgas yang khusus menangani ini. Dan ada himpunan dari perusahan Pertamina yang ada di Indramayu, agar ketika ada kejadian ceceran tidak saling lempar, harus segera ditangani bersama-sama. Sebab, untuk menguji lab ceceran minyak ini sangat mahal. Jadi, harus ada penanganan secara bersama ketika ceceran ini tidak terlalu banyak,” ujar Dulloh kepada Demokratis, Sabtu (5/12/2020).
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (Kadis LH) Indramayu, Aep menjelaskan bahwa sampai saat ini sampel baru saja akan dikirim. Ia mengatakan mengingat situasi pandemi dan sebagian pejabat sedang work from home (WFH), sehingga pihaknya mengalami sejumlah kendala untuk mengirimkan bukti sampel kepada lembaga pemilik otoritas atau ahli dalam bidangnya.
“Sampel baru dikirim, mengingat pusat sedang menerapkan PSBB. Kita sedang bahas teknis pengiriman sampel, paramater yang diperiksa apa, kemudian pembahasan pembiayaan berapa,” Ujar Aep saat ditemui usai rapat, Senin (11/01/2021).
Aep pun menambahkan bahwa selama ini memang benar pihak Dinas Lingkungan Hidup sama sekali belum mengetahui sumber limbah yang dimaksud. Sehingga pihaknya akan menyerahkan kepada pihak Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) untuk mengetahui bukti sampel yang dikirim agar mendapatkan jawaban berupa hasil dari uji laboratorium tersebut.
“Dinas selama ini juga belum mengetahui, kita masih proses. Untuk waktu, dinas sedang bekerjasama dengan Lemigas. Dan prosesnya memakan waktu yang sangat lama bahkan hingga berbulan-bulan. Kenapa ke Lemigas karena Sucopindo tak mampu, berat, bayarnya mahal. Sehingga diarahkan ke Lemigas,” tutup Aep.
Penjelasan dan keterangan Hukum dari Pangihutan Blasius Haloho di KONNAN kepada Demokratis menyikapi peristiwa di atas, bahwa perusahaan yang mengakibatkan pencemaran lingkungan harus melakukan penanggulangan pencemaran, salah satunya adalah memberikan informasi peringatan pencemaran kepada masyarakat desa setempat.
“Secara hukum sudah benar, bahwa pencemaran lingkungan yang diduga oleh perusahaan minyak haruslah dikaji dan diteliti oleh pihak berwenang, dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup. Apabila ditemukan bukti yang cukup, harus ditindaklanjuti secara hukum dan pemberian sanksi,” jelas Blasius Haloho.
Sementara itu, Demokratis telah mengirimkan surel, (15/01/2021) yang di dalamnya terdapat sejumlah pertanyaan dan telah dilayangkan ke Pusat Layanan Informasi Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas). Hingga berita ini dimuat Demokratis belum mendapatkan jawaban atau balasan dari pejabat terkait. (RT)