Tapteng, Demokratis
Fenomena biaya tebus SKHU dengan dalih uang terima kasih yang membudaya di satuan pendidikan yang ada di Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), menuai kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Dirasa membebani dan melanggar aturan, tidak sedikit yang mengecam kebijakan yang mengatasnamakan Komite Sekolah ini.
Kartono Situmeang, salah seorang pemerhati pendidikan di Tapteng menyebutkan, setiap sekolah tidak dibenarkan meminta uang tebus SKHU kepada siswa maupun orangtua. Menurutnya, SKHU ataupun ijazah merupakan hak setiap siswa setelah menamatkan pendidikan di sekolah, sehingga tidak ada istilah uang tebus atau pengganti balas jasa selama mendidik siswa.
“Pemberlakukan tarif biaya untuk mengambil SKHU, tidak dibenarkan. Walaupun alasan uang terima kasih, kutipan tersebut tergolong Pungli (pungutan liar). Apalagi ada pematokan harga,” ujar Kartono, Senin (21/6/2021).
Dari pengamatannya Kartono, mayoritas SD dan SMP di Tapteng memberlakukan biaya pengambilan SKHU dengan jumlah bervariasi. Besaran biaya tebus antara Rp 70 ribu hingga Rp 150 ribu. Di samping uang balas jasa, dalih uang tanda tangan, biaya penulisan, photo copy, cetak photo dan lain sebagainya, menjadi alasan klise pihak sekolah untuk meraup keuntungan pada kegiatan tahunan itu.
“Sesunguhnya tidak ada alasan untuk meminta uang terima kasih. Uang terima kasih telah kita berikan dengan membayar gaji mereka. Jangan bodoh-bodohi rakyat. Jika alasan biaya penulisan, photo copy, dan tetek bengek lainnya telah ditampung kok dalam alokasi dana BOS,” tukasnya.
Terkait wewenang Komite Sekolah yang diperbolehkan melalukan penggalangan dana, Kartono tidak membantahnya. Namun ditegaskan jika penggalangan dana harus berbentuk bantuan atau sumbangan, bukan pungutan. Selain itu, Komite Sekolah juga harus membuat proposal yang diketahui oleh sekolah sebelum melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya. Hasil penggalangan dana harus dibukukan pada rekening bersama antara Komite Sekolah dan sekolah.
Hasil penggalangan dana tersebut dapat digunakan antara lain, menutupi kekurangan biaya satuan pendidikan, pembiayaan kegiatan terkait peningkatan mutu sekolah yang tidak dianggarkan, pengembangan sarana prasarana, dan pembiayaan kegiatan operasional Komite Sekolah dilakukan secara wajar dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Ada aturan dan batasannya. Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 telah mengamanatkan batas-batas penggalangan dana yang boleh dilakukan Komite Sekolah. Penggalangan dana berbentuk bantuan atau sumbangan yang dimaksud adalah pemberian berupa uang, barang atau jasa, oleh pemangku kepentingan satuan pendidikan di luar peserta didik atau orangtua,” urainya.
Artinya sambung Kartono, penggalangan bantuan atau sumbangan sasarannya adalah pihak ketiga. Jikapun pungutan yang berasal dari peserta didik atau orangtua diperbolehkan, namun harus memenuhi beberapa kriteria yang di antaranya bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutan ditentukan. Yang masuk dalam diktum ini adalah uang SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan).
“Kalau dia sumbangan harus bersifat sukarela, tidak memaksa, tidak mengikat, dan tidak ditentukan baik jumlah maupun jangka waktu pemberiannya,” imbuh Kartono.
Lebih jauh dikatakan, Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 secara jelas membedakan pungutan bersifat wajib dan mengikat, serta sumbangan bersifat sukarela dan tidak mengikat. Pungutan tidak boleh dilakukan kepada peserta didik atau orangtua dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar peserta didik, dan kelulusan peserta didik. Larangan pungutan biaya pendidikan SD dan SMP juga ditegaskan dalam Permendikbud Nomor 60 Tahun 2011.
“Meski telah didahului dengan kesepakatan para pemangku kepentingan, biaya tebus SKHU dengan dalih uang terima kasih, tidak memiliki dasar hukum alias Pungli,” tegasnya.
Mengguritanya kutipan berbau Pungli saat momen lulus-lulusan ini, Kartono berharap dinas terkait berbenah jika di lapangan masih banyak sekolah yang membebankan biaya pengambilan SKHU. Terkhusus kepada Bupati Tapteng, Bakhtiar Ahmad Sibarani, pria berpenampilan flamboyan ini meminta agar bersikap tegas dengan mengevaluasi kinerja para kepala sekolah nakal tersebut.
“Heran kita, sudah dapat gaji, ada dana BOS, masih berani melakukan Pungli. Kalau negeri ini ingin maju, kepala sekolah nakal ini harus ditindak sesuai dengan aturan yang berlaku,” tutupnya. (MH)