Indramayu, Demokratis
Kinerja Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Indramayu, patut dipertanyakan. Hal itu terkait gaya baru ketika melakukan penerimaan pembahasan Laporan Keuangan dan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Tahun Anggaran 2021 Bupati Indramayu Jawa Barat, Nina Agustina MH, CRA. Demikian ujar Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) Indramayu, Oushj Dialambaqa dalam rilisnya ke Demokratis pada Kamis (23/6/2022).
Gaya itu patut dipertanyakan, sebab cara itu baru terjadi pada era kepemimpinan Bupati Nina Agustina saat ini. Karena biasanya, pada awal bulan Juni atau sekira tanggal 5 bulan Juni setiap tahunnya, BPK telah menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP-BPK) dengan menyatakan pendapatnya. Apakah hasinya bersetatus disclaimer, Wajar Dalam Pengecualian (WDP) atau Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Tapi aneh bin ajaib karena hasil audit BPK pada pemerintahan Bupati Nina Agustina untuk Tahun Anggaran (TA) 2021, belum terbit hasil LHP-nya, ada acara serah terima LKPJ Bupati ke Dewan pada Kamis (16/6/2022).
Diketahui, BPK justru ada mengirim surat bernomor 01/Trc/LKPD Indramayu pada bulan Juni 2022. Dengan perihal pemberitahuan dan permintaan data awal yang jumlah obyek pemeriksaannya sebanyak 12 Satuan kerja Perangkat Daerah (SKPD). Dalam suratnya, BPK beralasan bahwa pemeriksaan susulan dimaksudkan untuk melengkapi hasil sebelumnya, melalui penambahan sampel dan prosedur pemeriksaan. Surat BPK yang dikirim ke Bupati itu, ditandatangani oleh Arif Agus MM, CPA, CSPA, selaku Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Perwakilan BPK Jawa Barat, dan sebagai Ketua Tim Pemeriksaan Sony Rahmat Sulaeman.
Pertanyaan untuk BPK selanjutnya adalah, soal apakah audit yang telah dilakukan sebelumnya tidak terinci, atau ada soal lain, sehingga BPK harus dan perlu data awal lagi dari 12 SKPD yang telah diperiksa. Dengan melakukan pemeriksaan ulang itu, maka tim kerja audit BPK di Indramayu patut diragukan profesionalitas dan mentalnya. Sehingga hasil kerja audit LHP-BPK, bisa menjadi window dressing dengan unqualified opinion atau Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Padahal patut diduga seharusnya bersetatus disclaimer atau adverse opinion, di situ masalahnya.
Berikutnya adalah, apakah BPK akan menerbitkan LHP-nya dengan hasil modified unqualified opinion. Jika itu hasilnya, maka ini baru pertama kali dalam sejarah bahwa BPK dalam LHP-nya seperti itu, pada pemeriksaan TA 2021 di Kabupaten Indramayu. Pada sisi soal kewenangan kelembagaan DPRD, dipertanyakan pula mengapa sebelum LHP-BPK diterbitkan dan atau diserahkan ke Bupati atau Dewan, namun telah digelar agenda Laporan Keuangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Bupati Nina untuk pertanggung jawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau LPPD – 2021. Jika serah terima itu sengaja digelar, maka untuk apa negara membuat aturan melalui Undang-Undang (UU).
Sebab penjelasan pada Pasal 320 UU tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) mengatakan, kepala daerah menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang pertanggung jawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD dilampiri laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK. Paling lambat 6 bulan setelah TA berakhir. Pada ayat (2) lampiran itu meliputi, (a) laporan realisasi anggaran. (b) laporan perubahan saldo anggaran lebih. (c) neraca. (d) laporan operasional. (e) laporan arus kas. (f) laporan perubahan kas. (g) catatan atas laporan keuangan yang dilampiri ikhtiar laporan keuangan Badan Usaha Milik daerah (BUMD). Jadi apa sebabnya kok Dewan tetap ngotot menggelar sidang paripurna menerima LKPJ Bupati, jika tidak ingin disebut ngawur atau karepe dewek alias Karwek.
Tontonan yang lebih ngawur adalah, pada saat Raperda pertanggung jawaban APBD untuk LKPJ tersebut, disampaikan oleh Rinto Waluyo sebagai Sekretaris Daerah (Setda). Sementara Bupati terlihat tidak hadir. Padahal di Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 108 Tahun 2000 mengatakan, bahwa pertanggung jawaban akhir TA dibacakan oleh Bupati (Kepala Daerah) di depan sidang paripurna DPRD, paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya TA.
Fenomena ini sangat menjadi catatan penting bagi publik, agar DPRD tidak melakukan modus akal-akalan lagi. Karena pada Pasal 7 ayat (1) menjelaskan bahwa DPRD dapat menolak LKPJ, apa bila terdapat perbedaan yang nyata, antara rencana dengan realisasi APBD terdapat penyimpangan, yang alasannya tidak dapat dipertanggungjawabkan, berdasarkan tolak ukur dari Rencana Strategis (Renstra). Lalu pada Pasal 8 ayat (2), memberi ketegasan yuridis kepada Dewan, bahwa apa bila Bupati tidak melengkapi dan atau menyempurnakan dokumen pertanggungjawaban dalam jangka waktu paling lama 30 hari, setelah Dewan menolak LKPJ-nya. Maka Dewan dapat mengusulkan pemberhentian Bupati, kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur.
Dijelaskan pula jika tolok ukurnya adalah Renstra, maka jelas LKPJ bupati itu oleh Dewan harus ditolak atau tidak dapat diterima, karena antara rencana dan realisasi APBD bagaikan langit dan bumi. Apa lagi jika alat bedahnya adalah persoalan kebijakan umum yang sifatnya strategis, publik tahu apa saja yang telah dilakukan Bupati hingga menjelang 2 tahun masa jabatannya. Terlihat tidak mengacu pada tujuan dan makna kebijakan setrategis di pemerintahannya, tidak faham mana yang strategis dan mana yang sifatnya sebagai prioritas. Terlihat juga urusan wajib kerap ditelantarkan, hanya demi puja puji dan pencitraan yang sekedar untuk mendapat penghargaan yang semu, manipulatif antara fakta dan relitasnya.
Peristiwa BPK dengan kerja perpanjangan waktu, yang konon untuk penambahan sampel pemeriksaan dengan meminta data awal lagi. Begitu juga dengan kinerja Dewan yang tetap menggelar acara penerimaan LKPJ sebelum LHP-BPK selesai dan diserahkan, dan atau jika Dewan pun tidak mampu lagi seperti harimau garangnya sebagai wakil rakyat, untuk berani menolak LKPJ-APBD atau LPPD Bupati dengan tolak ukur Renstra. Maka civil society dan kaum intelektual akademisi sudah faham betul dengan dagelan seperti itu. Begitu tutup bung O’o dalam rilisnya. (S Tarigan)