Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

BPK RI Perwakilan Jawa Barat dan DPRD Indramayu Patut Disoal dan Dipersoalkan

BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan) setiap tahun berkewajiban melakukan audit (pemeriksaan) terhadap Pemerintah Daerah atas pelaksanaan dan pertanggungjawaban tata kelola pemerintahan-APBD. Audit akhir tahun anggaran (TA) tersebut meliputi: Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Atas Laporan Keuangan (Buku I), LHP Atas Sistem Pengendalian Intern (Buku II), dan LHP Atas Kepatuhahn Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

LHP BPK yang diserahkan kepada Bupati dan Dewan (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dalam opininya ada 3 (tiga) kategori atau klaster penilaian, yaitu, Unqualified Opinion (WTP), Qualified Opinion (WDP), dan Disclaimer (TMP). Ketiga opini tersebut telah puluhan tahun (sudah lumutan) menjadi kebiasaan dan budaya  BPK dalam LHP.

Jika tidak WTP, pasti WDP atau Disclaimer. Sebenarnya ada 6 (enam) kategori atau klaster penilaian, yang tiga lainnya adalah Adverse Opinion, Piecemael Opinion,  dan Modified Unqualified Opinion (WTP Dengan Paragraf Penjelasan). Modified Unqualified Opinion, bisa menjadi debatable jika itu dipakai, karena indikasi dan atau unsur subyektifitasnya yang dominan, dan integritas para auditornya yang tersamar atau bayangan yang nyata.

BPK, mempunyai  tradisi dan budaya sampling atau sampel pemeriksaan maksimal 5%, biasanya merasa cukup puas untuk dijadikan obyek pemeriksaannya (obrik) dari jumlah OPD/SKPD yang ada.    LHP BPK lazimnya telah diserahkan ke Bupati dan Dewan paling lambat minggu pertama bulan Juni, karena data awal untuk sample obriknya telah diminta pada bulan Januari atau telah dipenuhi oleh obrik yang akan diauditnya. Setelah itu pelaksanaan audit, dan biasanya pada awal April sudah rampung (tuntas), sehingga biasanya BPK menerbitkan LHP pada pertengahan Mei atau awal Juni.

BPK RI Perwakilan Jawa Barat untuk pemeriksaan TA 2021 telah dilaksanakan dalam rentang waktu Januari-Maret 2022 untuk Indramayu dalam pemerintahan Bupati Hj. Nina Agustina, S.H, M.H, CRA. Namun, diluar dugaan, dan diluar kebiasaan dan kelaziman BPK selama puluhan tahun melakukan audit, baru kali ini hingga 20 Juni 2022, BPK belum menerbitkan LHPnya. Ada apa sesungguhnya?

Diluar dugaan, dan diluar kebaisaan dan kelaziman BPK selama puluhan tahun tersebut, tiba-tiba BPK  mengirim surat kepada Bupati, dengan nomor: 01/Trc/LKPD Indramayu 06/2022, perihal: Pemberitahuan dan Permintaan Data Awal yang jumlah obriknya sebanyak 12 SKPD seperti awal permintaan data sebelumnya dan atau pemeriksaan sebelumnya. Meme publik mengatakannya, BPK tengah mengulang dari awal lagi atas  pemeriksaan yang telah dilakukannya, data awalnya kebuang ke tong sampah.

BPK mendalilkan alasan, bahwa pemeriksaan dimaksud untuk melengkapi hasil pemeriksaan sebelumnya melalui penambahan sampel dan prosedur pemeriksaan. Data diminta paling lambat 7 Juni 2022 sudah di tangan BPK. Pemeriksaan akan dilakukan dalam waktu 16 hari.

Surat BPK yang dikirim ke Bupati ditandatangani oleh Plt. Kepala Perwakilan Arif Agus, S.E, M.M, Ak, CPA, CSPA. Terlampir data para auditornya,  dan sebagai Ketua Tim Pemeriksaan Sony Rahmat Sulaeman. Surat BPK tersebut tertanggal 2 Juni 2022. Surat tugas tim auditor mulai berlaku sejak 7 Juni 2022. Sehingga, diprediksi LHP BPK akan diterbitkan pada minggu pertama Juli 2022.

Ini baru kali pertama terjadi. BPK  biasanya pertengahan Mei dan atau paling lambat awal Juni  sudah menerbitkan LHP dan atau sudah dierahkan kepada Bupati dan Dewan, dengan menyatakan opininya, apakah WTP, WDP atau Disclaimer.

Ketidaklaziman BPK tersebut menimbulkan banyak pertanyaan yang harus disoal dan dipersoalkan. Bukan saja lantaran aneh, lucu dan menggelikan, karena BPK mengatakan untuk melaksanakan “Pemeriksaan Terinci Atas Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah TA 2021.”

Pertanyaannya, apakah audit yang telah dilakukan sebelumnya “Tidak Terinci”, ataukah ada hal lain, sehingga harus minta data awal lagi dari 12 SKPD yang sebelumnya telah menjadi obrik, ataukah karena ada peristiwa tim audit (baca: auditor BPK) yang terjaring OTT KPK di Bekasi dan Bogor pada pelaksanaan audit TA  2021 tempo hari, belum lama berselang.

Jk itu yang menjadi sebab akibat dan penyebabnya, maka kinerja tim audit BPK ke Indramayu patut dipertanyakan, tidak saja profesionalitasnya, tetapi yang lebih fondamental adalah persoalan mentalitasnya, dalam hal ini para auditornya, karena mentalitas yang buruk atau bobrok akan mengubur profesionalitas keauditorannya, sehingga LHP BPK menjadi “window dressing”.

Padahal, seharusnya Disclaimer atau Adverse Opinion, karena Qualified Opinion jika pengecualiannya sangat amat materiality, sesungguhnya itu adalah Disclaimer, atau  Adverse Opinion atau Piecemeal Opinion, sekalipun selama berpuluih-puluh tahun setelah BPK ada dan meng-ada  belum pernah ada dalam LHP BPK apalagi Modified Unqualified Opinion.

Pertanyaan berikutnya, apakah BPK akan menerbitkan LHPnya dengan Modified Unqualified Opinion? Jika itu yang terjadi, ini baru pertama kali dalam sejarah BPK dalam LHPnya seperti itu, dan ini terjadi pada audit TA 2021 pada jalannya pemerintahan Bupati Nina. Ataukah ada upaya main mata dan main gundu, agar pemerintahan Bupati Nina bisa diupayakan untuk mendapatkan opini WTP atau paling tidak akan menjadi  Modified Unqualified Opinion?

Tentu, jika itu yang menjadi fakta dan realitasnya, indikasi kuatnya adalah ada dalam dua hal kunci, yaitu, karena terjadi peristiwa OTT KPK terhadap auditor BPK atas kasus Bekasi dan Bogor tempo hari, dan indikasi yang menguat lainnya adalah bagaimana upaya Bupati  mendapatkan WTP BPK yang pada fakta dan realitasnya untuk TA 2021 hingga sekarang, nyaris semua proyek bermasalah, mangkrak terindikasi proyek KKN.

Begitu juga dengan langkah kebijakannya, nyaris semua kebijakannya ngawur (kebijakan selfi) yang menerabas kepatuhan atas ketentuan peraturan perundang-undangan hingga kini, sehingga BPK harus melakukan “window dressing” dalam LHPnya.

Lantas, mensiasatinya  dengan mengatakan, untuk penambahan sampel dan prosedur pemeriksaan untuk melengkapi hasil pemeriksaan sebelumnya yang telah dilakukannya. Hal itu, tak lebih dari sekedar teknik audit yang melucu dan menggelikan.

Argumentasi BPK tersebut seharusnya diletakan pada persoalan kepentingan Audit Investigatif yang rekomendasinya ke APH (Aparat Penegak Hukum) seperti yang ditegaskan salah satu pasalnya dalam UU tentang BPK, karena sudah menjadi sorotan dan perhatian public. Sudah sangat gencar menghiasi pemberitaan berbagai media, menjadi bulan-bulanan pemberitaan media, dan sudah menjadi perbincangan kopi di “medsos” dan  di “warung kopi.”

BUMD (Badan Usaha Milik Daerah): PDAM, BWI (Bumi Wiralodra Indramayu) dan BPR KR (Bank Perkreditan Rakyat Karya Remaja) adalah entitas yang masuk dalam ranah obrik BPK, dan BPK telah mengaudit data atas Laporan Keuangan BUMD tersebut.

Kita tahu, PDAM tidak dalam kewarasan. Ketidakwarasan itu kita bisa membaca banyak indikator, salah satunya, PDAM pada buku 2021 telah menyetor ke PAD (Pendapatan Asli Daerah)-APBD sebedar Rp 1,8 milyar, dan Rp 2,5 milyar untuk target tahun buku 2022, yang kata Dirut PDAM DR, DR, Ir. Ady Setiawan, S.H, M.H, M.M, M.T akan disetorkan tahun 2023.

Ketidakwarasan tersebut pastilah me-window-dressing Neracanya. Kebijakan “Dlebus”  (Tong Kosong Nyaring Bunyinya) dan “Manajamen Sampah” dan atau “Manajemen Bencong” makin memperparah ketidakwarasan dalam tubuh PDAM. Sangat imposible untuk bisa survival dan atau untuk bisa dalam kewarasan. PDAM gagal mendefinisikan apa itu analisis efektivitas biaya, analisis efektivitas produksi dan perlakuan biaya dalam produksi, apa itu bedanya inovasi dengan ekspansi dalam core businessnya. Gagaldalam menginteprtasikan apa itu transparansi dan akuntabilkitas (publik). Yang terdengar merdu adalahnyanian dan  kicauannya yang dilansir media.

Makanya, Neracanya tidak bisa diakses publik. Padahal itu hak publik, dimana PDAM sahamnya mutlak milik masyarakat, uang rakyat (APBD/APBN). Publik (masyarakat) secara konstitusional mempunyai legal standing atas  keberadaan dan sepak terjang BUMD. Itu semua dinafikanya, begitu juga dengan BPR KR dan BWI satu mata koin, dan APBD pun tidak bisa diakses publik.

BPR KR (Bank Perkreditan Rakyat Karya Remaja) dalam RUPS tahun buku 2021 memperlihatkan Kembang Kanyong yang fantastik dengan me-window-dressing Laporan Keuangannya yang mengatakan profit sebesar Rp 5 milyaran lebih. Tetapi, di sisi lain, menjadi paradoks dan menjadi  sangat fantastik ironisnya.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memberikan warning keras atas ketidakwarasan BPR KR dengan Solvabilitas, Likuiditas dan CAR (Capital Adequacy Ratio)  yang (sangat) negative. Faktanya,   komulatif sebesar Rp 21 milyaran pada Profit & Loss. Tidak hanya itu,  kredit bermasalahnya sangat materiality, berada dalam kisaran Rp 20 milyar lebih, karena melanggar prinsip perbankan atau keuangan atas prinsip 5C dan atau 7C. Belum saol IRR (Internal Rate of Return) membelit pada BPR KR.

Dirut BPR KR sudah sebulan lebih (mengajukan) pengunduran diri. Sudah meninggalkan gedung BPR KR. Hingga sekarang kebijakan Bupati tidak jelas juntrungannya, dan dibiarkan menggantung di awan, dan menjadi awang uwung. Padahal, transaksi keuangan terus berjalan yang otoritasnya hanya ada pada Dirut.

Jika saja BPR KR (isu) rust itu terjadi. Para deposan atau penyimpan uang di BPR KR itu serentak melakukan kliring, pastilah BPR KR kolep atau bangkrut dan atau akan terjadi ketidaksanggupan memenuhi kewajibannya. Diperkirakan atau diprediksi, dana para deposan berkisar sebesar Rp 400 milyaran. Solvabilitas dan likuiditasnya sangat amat negatif. CARnya ambruk.

SPI (Satuan Pengendalian Internal) dan Dewan Pengawas hanya makan gaji buta, tidak tahu diri, tidak tahu malu dan tidak punya kemaluan. Itu yang meng-ada di tubuh BUMD kita hingga sekarang ini. PDAM, BWI dan BPR KR tak lebih dari “Tong Sampah” hingga kini. Maka bagaimana mungkin BUMD kita bisa survive jika tidak terus menerus disuntik dengan uang rakyat (APBD), dan bagaimana mungkin profitable? “Jika  dan Jika, dan banyak jika” diabaikan.

Begitu pun pada PD BWI, sudah setahun lebih tanpa Dirut (Direktur Utama), tanpa Direktur Operssional (Dirop) hingga kini. BWI pun juga dalam kondisi ketidakwarasan, merugi fantastik jika tidak melakukan window dressing, karena perkorupsian yang terjadi.

Dirop otoritasnya tidak bisa diambil alih oleh yang lain sebagai arus transaksi purchasing dan sale product di BWI. Dirut juga tidak bisa dilimpahkan otoritasnya kepada yang lain, karena tanggungjawab sepenuhnya atas tata kelola BWI dan atas arus kas masuk dan keluar, dan pertanggungjawaban Neracanya.

Hal yang serupa terjadi di PDAM, Dirum (Direktur Umum) dan Dirtek (Direktur Teknik) dibiarkan menggantung di awan hingga kini. Dirtek, boleh diabaikan, karena bisanya cuma mengaduk-aduk PAC dan atau Kaporit dan Tawas dengan air hujan atau air tanah.

Dirum, tidak bisa kursinya kosong, karena yang bertanggungjawab atas arus kas masuk dan keluar (yang hirarkisnya ke Dirut), dan pembuatan Laporan Keuangan berada dalam otoritasnya. Tidak diperbolehkan perlakuannya menurut prinsipal akunting dirangkap oleh Dirut maupun yang lainnya. Tetapi sangat boleh, jika pakai “manajemen sampah” dan atau “manajemen bencong”.

Hal-hal seperti itu, tentu, BPK sangat paham jika para auditornya punya integritas, dan mentalitasnya tejaga dari kebobrokan. Itu semua akan menjadi catatan penting yang sangat mempengaruhi opininya dalam LHP, karena Laporan Keuangan BUMD itu telah diperiksa secara seksama oleh para auditor BPK dalam kerangka LHP BPK pada pertanggungjawaban Bupati pada akhir TA 2021 untuk kepentingan LKPJ Bupati di hadapan Dewan.

Jika BPK tidak tahu diri, tidak tahu malu, dan tidak punya kemaluan, yang akan menjadi keniscayaan dalam LHPnya adalah WTP atau paling tidak untuk menyelimuti ketidaktahuan diri, ketidakmaluan diri dan ketidakpunyaan kemaluan diri, tentu, LHPnya akan menjadi Modified Unqualified Opinion (WTP Dengan Paragrap Penjelasan). Padahal seharusnya yang lebih tepat adalah Disclaimer atau Adverse Opinion jika berdasarkan fakta dan realitas atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

Fakta dan realitas tersebut bisa kita lihat dalam penggunaan APBD, nyaris semua proyek (apalagi proyek POKIR-Dewan) bermasalah dan atau menjadi mangkrak, dan terindikasi kuat, proyek-proyek pisik tersebut bocor berkisar 50%-60% yang sangat mempengaruhi kualitas pisik (umur ekonomis bangunan), dan belum lagi proyek-proyek non pisik yang habis ditelan “kebijakan selfi”.

Kengawuran lainnya,  Dewan sebelum LHP BPK terbit dan atau diserahkan ke Bupati dan Dewan, ternyata Dewan sudah menggelar agenda LKPJ Bupati Nina untuk pertnggungjawaban pelaksanaan APBD (LPPD) TA 2021.

Senin,20/6/2022, Dewan telah melakukan Sidang Paripurna LKPJ Bupati. Dewan telah menyerahkan rekomendasi atas pembahasan LKPJ Bupati kepada Setda.  Seperti biasanya,  Bupati mangkir hadir dalam Sidang Paripurna tersebut.

LKPJ Bupati tetap digelar oleh Dewan, menurut kabar burung (Merpati Pos), adalah hasil kompromistis segi tiga; BPK-Bupati-Dewan, dengan logika dan akal waras yang dijungkirbalikan sebagai dalilnya.  Bagaimana mungkin LKPJ Bupati bisa digelar sebelum LHP BPK itu di tangan Dewan? Jika itu tetap digelar, dan faktanya tetap digelar, buat apa negara membuat Undang-undang dengan segala turunannya?

Hanya kewarasan yang berlogika yang bisa membacanya dengan benar. Pasal 320 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,

Kepala Daerah menyampaikan Rancangan Perda Tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD kepada DPRD dengan dilampiri Laporan Keuangan yang telah diperiksa oleh BPK, paling lambat 6 bulan setelah TA berakhir.

Pada ayat (2), dikatakan,  lampiran itu meliputi: a. laporan realisasi anggaran; b. laporan perubahan saldo anggaran.lebih; c. neraca; d. laporan operasional; e. laporan arus kas; f. laporan perubahan sas; g. catatan atas laporan keuangan yang dilampiri ikhtisar laporan keuangan BUMD.

Jadi bagaimana mungkin Dewan tetap keras kepala  untuk paripurna LKPJ?  Jika tidak ngawur, bukan Indramayu namanya. Jika tidak suka mengklaim, bukan Indramayu juga namanya. Jika tidak menggelikan, untuk tidak sampai dikatakan menjengkelkan dan menggeramkan, bukan Indramayu namanya, dan jika tidak melucu yang sangat tidak lucu, namanya bukan Indramayu. Sampai kapankah? Itu masalahnya.

Pasal 5 ayat (1) PP No. 108 Tahun 2000 Tentang  Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, mengatakan, pertanggungjawaban akhir tahun anggaran dibacakan oleh Bupati (Kepala Daerah) di depan Sidang Paripurna Dewan, paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya TA.

Patut menjadi catatan penting bagi Dewan untuk tidak akal akalan atau meng-abunawas-i pasal 7 ayat (1) yang mengatakan, Dewan dapat menolak LKPJ apabila terdapat perbedaan yang nyata antara rencana dengan realisasi APBD yang merupakan penyimpangan yang alasanya tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan tolak ukur Renstra. Sekali lagi, tolak ukurnya adalah Renstra, bukan yang lainnya.

Pasal 8 ayat (2), memberikan ketegasan kepada Dewan, apabila Bupati tidak melengkapi dan atau menyempurnakan dokumen pertanggungjawaban dalam jangka waktu paling lama 30 hari (setelah Dewan menolak LKPJnya), Dewan dapat mengusulkan pemberhentian Bupati kepada Mendagri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur. Sungguh jelas, bukan?

Jika tolak ukurnya adalah Renstra seperti terik matahari terangnya atau bagaikan purnama raya, semua terlihat jelas, dan jelas LKPJ Bupati itu oleh Dewan harus ditolak dan atau tidak dapat diterima. Pasalnya, antara rencana dan realisasi bagaikan langit dengan bumi atau bagaikan api jauh dari panggang, jika alat bedahnya membedah persoalan kebijakan publik yang strategis sifatnya, bukan kebijakan selfi.

Kita tahu, apa yang dilakukan Bupati hingga menjelang 2 tahu masa jabatannya tidak mengacu pada apa itu yang disebut dengan kebijakan strategis. Bupati gagal dan atau tidak bisa mendefinisikan dan memaknai apa yang disebut strategis dalam program dan kebijakannya yang harus diambil, dan mana yang sifatnya pelengkap penderita.

Urusan wajib ditelantarkan, dan yang urusan “pelengkap penderita” dan atau “kebijakan selfi” menjadi urusan wajib, diprioritaskan, demi puja puji, dan sanjungan dari para “penghamba kekuasaan” baik yang berada dalam arena kebijakan maupun yang diluar arena kekuasaan (Pendopo). Hal yang seperti itu menjadi kebanggaan Bupati jika kita lihat dari ekspresi dan gesturnya. Itu gimmicknya yang tak terbantahkan. Kengawuran dan  ke-karwek-an Bupati, terutama  tidak bergunanya Inspekorat, hanya makan gaji buta-uang rakyat (APBD), begitu juga dengan Dewannya, dua sisi mata koin yang sama.

Yang menjadi fakta dan realitas target goalnya adalah bagaimana untuk mendapatkan berbagai penghargaan (semu), manipulatif antara fakta dan realitas. Menyamarkan realitas yang difaktakan, seolah-olah itu hal yang nyata dan menjadi keniscayaan atas fakta yang ada.

Untuk itu, BPK dengan penambahan sampel pemeriksaan dengan meminta data awal lagi, ada apa sesungguhnya? Begitu juga dengan Dewan yang tetap menggelar LKPJ Bupati sebelum LHP BPK diterbitkan ada apa pula? Semua itu harus disoal dan dipersoalkan oleh kita yang masih dalam kewarasan logika dan akal waras.

Jika Dewan tak kuasa menjadi Harimau Harimau untuk menolak pertanggungjawaban APBD-LPPD dengan tolak ukur Renstra dan atau menjadi watch dog, civil society kritis dan atau kaum intelektual akademik, tentu sudah sangat amat paham betul dengan hal seperti itu. Semua itu problematika dilematisnya adalah mentalitas (yang bobrok, buruk).

Mentalitas (buruk, bobrok), tidak ada relasinya dengan status sosial, seperti, apakah mereka itu kaya atau miskin, pintar atau bodoh, sarjana-doktor-profesor atau tidak, orang sekolahan atau buta huruf. Apakah mereka beragama atau atheis. Sama sekali tidak berelasi dalam persoalan mentalitas.

Patut menjadi catatan hitam, bahwa LHP BPK yang telah diserahkan ke Dewan, maka LHP BPK tersebut sudah menjadi .milik publik, dan harus bisa diakses publik. Fakta dan realitasnya sungguh naif bagi kita semua. Tetapi, Eksekutif maupun Legislatif selalu mengumbar statemen dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Fakta dan realitas sosial politiknya, itu hanya sebatas retorika, slogan dan jargon dalam fatamorgana.

Pasal 19 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Kuangan Negara jo pasal 7 ayat (5) UU No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan, mengatakan, bahwa hasil pemeriksaan BPK yang telah diserahkan kepada DPRD, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum, sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Hal pemeriksaan BPK dikategorikan sebagai informasi publik.

Kita tentu boleh miris, kita boleh (sangat amat) tersinggung atas satire fakta dan realitas sosial dan politik sebagai Indramayu-isme. Akan  tetapi, kita juga tidak bisa menutup mata dan atau lari dari melihat fakta dan realitas atas  ke-karwek-an (yang sekehendaknya sendiri) Bupati dan Dewan, sekalipun kita tidak punya otoritas untuk itu semua. Miris dan tersinggung saja tidak cukup.

Semua otoritas itu ada pada Bupati dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dipimpinnya dan atau atas kepemimpinannya, dan Dewan sebagai “watch dog”  dan atau yang seharusnya menjadi Harimau Harimau (bukan Harimau Harimau Sirkus) terus mengaum. Bupati tidak bisa “karwek”, karena diberi otoritas penuh dalam kebijakan publik, dalam penggunaan uang rakyat (APBD), dan dalam menjalankan tata kelola pemerintahan. Bukan otoritas kita sebagai rakyat, sekalipun kedaulatan adalah di tangan rakyat. Hak prerogatif absolut hanya milik Tuhan.

Jika kedaulatan itu di tangan rakyat, dan suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei), tentu, suara rakyat yang mengandung kebenaran, karena Tuhan tidak sekali-kali mau berdusta sekalipun tidak terhalang untuk itu semua.

Maka kita tidak cukup hanya kemudian merasa miris, dan kita merasa tersinggung atas satire realitas sosial dan politik, tetapi yang sesungguhnya, kita hanya sekedar menonton dan mematungkan diri seperti patung dalam piramida dengan mata tertutup dan nurani yang terkunci atau kita seperti keledai keledai.

Takdir sosial bukan menunggu Kabar Dari Langit, dan bukan pula kita harus  terus “Waiting for Godot” jika para Brutus sudah beternak. Bacaan kita, dan pembacaan kita telah lunas terhadap yang nyata, dan terhadap yang dinyatakan, di tengah kematian para akademisi, di tengah tumbuh suburnya dan semerbaknya penulis salon, di tengah maraknya pewarta fatamorgana, dan di tengah kesukaannya klaim mengklaim. Sampai kapankah? Jangan bertanya pada rumput yang bergoyang, tetapi bertanyalah pada akar panggang (bahar) jika logika dan akal waras kita telah terkubur. ***

Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

 

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles