Oleh O’ushj.dialambaqa
Pengantar.
Artikel ini sebagai materi dalam Forum Dialektika bersama Mahasiswa Indramayu, Sabtu, 15/11/2025, dengan tema: Sudi Kasus Perkorupsian di Indramayu.
Perkorupsian di negeri Adakadabra sudah menjadi panorama sehari-hari jika kita membaca berbagai pemberitaan media dan medsos di setiap daerah, dari Sabang hingga Merauke. Perkorupsian terjadi dari pemerintahan Pusat hingga Daerah. Sudah menjadi berita biasa, tidak viral lagi. Bukan berita yang aneh atau luar biasa.
Yang membedakan hanya model dan modus operandinya. Perkorupsian yang terjadi kini tidak lagi ratusan juta rupah, sudah miliaran rupiah, bahkan triliunan rupiah pun sudah tidak heran lagi. Hal biasa itu terjadi. Korupsi dan atau perkorupsian sudah menjadi budaya dan membudaya. Kita telah kehilangan kemaluan sebagai manusia, bangsa dan negara. Mengapa, dan sebab apa itu semua terjadi?
Ateistik
Ateistik atau ateisme tidak bisa lagi dimaknai sebagai orang yang tidak beragama. Semua orang di negeri Adakadabra dalam KTP (Kartu Penduduk) semuanya beragama. Kolom dan tulisannya sangat jelas, yang bersangkutan adalah beragama.
Dalam ateistik, kita sudah tidak memiliki kemaluan lagi, bahwa perkorupsian atau korupsi itu adalah perbuatan yang sangat amat tercelah-berdosa. Dalam teologi, korupsi-perkorupsian bukan hanya urusan vertical dengan Tuhannya saja (Hablum Minallah), melainkan adalah persoalan hak Adami-Hablum Minannas.
Relasi dan korelasinya, baik langsung maupun tidak langsung adalah dengan persoalan hajat hidup rakyat, terutama, para yatim-piatu, duafa dan atau fakir miskin. Yang dalam sosiologi kekuasaan, perkorupsian-korupsi telah menciptakan kemiskinan ekstrim struktural.
Sekali lagi, ateistik-ateisme tidak bisa dimaknai sebagai orang yang tidak beragama, melainkan harus didefinisikan dan atau dimaknai dengan keberagamaan yang sepotong-sepotong, keluar rel kekafaan beragama.
Di negeri Adakadabra, memang benar jika kita melihat formalistiknya (KTP) adalah semua beragama. Tetapi, problemnya adalah keberagamaan kita dalam beragama telah menjadi ateistik. Prilaku perkorupsian-korupsi adalah prilaku ateistik, di mana Tuhan dimaknai bukan sebagaimana Tuhan itu sendiri. Sekulerisasi beragama dalam keberagamaan dalam kehidupan sosial-politik dalam berbangsa dan bernegara, bahkan sampai pada struktur dan konstruks akar rumput dalam kehidupan sosial dan politik.
Teks Penghapusan Dosa
Prilaku perkorupsian-korupsi juga berelasi dengan apa yang dikatakan dengan adanya penghapusan dosa. Tuhan Maha Pengampun (Ar-Rohim) dan Maha Penyayang (Ar-Rohman), dimaknai dosa bisa dihapus atau dilebur dengan membaca do’a-do’a tertentu dan atau dengan ibadat-ibadat tertentu.
Bahkan, dengan bersedekah-infak dengan meminta bacaan Al Fatiha, dosa-dosanya bisa dilebur alias dihapus. Padangan terhadap penghapusan dosa menggeliat dalam struktur dan kontruks sosial dalam keberagamaan di negeri Adakadabra.
Akhirnya menjadi sangat paradoks dan atau sangat ironis dengan pernayataan Tuhan itu sendiri; perbuatan sekecil biji zarahpun akan diperhitungkan-dihisab (Al-Zalzalah:7-8 dan Al-Luqman: 16).
Teks penghapusan dosa, berbeda dengan teks pengampunan atas dosa-dosa yang diperbuat. Teks penghapusan dosa dan Tuhan Maha Pengampun dan Maha Penyayang, nyaris semua itu dimaknai dengan mempermudah pemaknaan atas perthaubatan. Padahal, apa yang dikatakan dengan thaubatan nasuha adalah tidak sesederhana itu dan atau tidak segampang itu.
Kecenderungan pandangan, pemahaman dan pemaknaan penghapusan dosa dan perthaubatan yang amat disederhanakan tersebut, mengindikasikan dan bahkan telah menjadi pemiicu tumbuhnya budaya melegitimasi pathogenesis perkorupsian-korupsi.
Prilaku perkorupsian-korupsi berada dalam teks penghapusan dosa dan atau gampang bisa berthobat. Setelah kita meninggal, gampang minta dibacakan Al Fatiha dan atau bersedekah buat yang telah meninggal, karena Tuhan adalah pengampun dan penyayang bagi hambanya.
Doktrin madzhaber seperti itu, membuat perkorupsian-korupsi menjadi budaya-membudaya, dan berarti adanya pelegitimasia atau melegitimasi perkorupsian-korupsi bukan hal yang tabu atau hal yang laknat.
Doktrin madzhaber itu pun menjadi paradoks dan sangat ironis dengan HR. Muslim. Jika kita haqul yakin dengan keshahikan hadits (HR. Muslim) yang mengatakan, bahwa apabila manusia telah meninggal dunia, terputuslah amalannya, kecuali dalam tiga hal (perkara); sedekah-jariyah (sewaktu masih hidup dan atau pewasiatan bersedekah-berjariah atas harta yang ditinggalkannya), ilmu yang bermanfaat yang diajarkan atau ditularkannya) dan do’a anak yang sholeh.
Sungguh amat sangat berat bagi kita untuk bisa memenuhinya. Tidak semudah membalik tangan, seperti yang didengungkan dalam teks penghapusan dosa dan atau yang dikatakan Tuhan Maha Pengampun dan Maha Penyayang yang didoktrinkan para madzhaber.
Pelacuran Hukum
Di negeri Adakadabra, pelacuran hukum marak terjadi di semua sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum diproduksi untuk kekuasaan, bukan untuk kebenaran dan keadilan. Praktek pelacuran hukum, bisa kita lihat dalam fakta yang konkret, misalnya, penegakkan hukum yang tebang pilih. Tidak sedikit fakta, hukum tajam ke yang tak mampu bertransaksional. Belum lagi, persoalan “86” dalam mentalitas APH (Aaparat Penegak Hukum).
Contoh konkret lainnya di negeri Adakadabra, institusional APH hanya berpola mengejar pemenuhan target capaian kinerja yang telah menjadi protap dan SOP per-tahunnya. Bahkan, vonis perkorupsian tidak membuat efek jerah sama sekali bagi para koruptor.
Apalagi ada UU yang dibuat untuk tetap memberi ruang terbuka bagi para koruptor untuk ambil bagian dalam tata kelola negara, apakah mau menjadi Legislatif atau Eksekutif. Ini suatu bencana yang tersembunyi di balik hukum dan demokrasi yang menjadi problem kita berbangsa dan bernegara di negeri Adakadabra.
Vonis yang tidak setimpal (ringan), perlakuan istimewa, mulai dari proses hukum hingga dalam Lapas menjadi realitas dan fakta yang konkret. Belum lagi adanya remisi atau diskon-diskon lainnya di hari-hari besar dan sebagainya negeri Adakadabra.
Multiflier effect-nya, perkorupsian-korupsi tetap membudaya dan menjadi budaya. Yang terjaring hukum itu adalah karena kesialan semata. Hal ini menjadi sangat logis dan bisa diterima logika dan akal waras, karena yang tidak terjamah dan atau yang tidak dijamah jauh lebih banyak dari realitas faktanya, meski ada banyak institusi pengawasan yang dibentuk.
Tetapi, para pengawasnya bukan lagi tabi’at Malaikat. Setan-setan yang berada dan yang memegang otoritas dalam pengawasan dan atau pencegahan untuk perkorupsian-korupsi. Sehingga yang terjadi adalah “pagar makan tanaman” atau “jeruk makan jeruk”. Takdir sosial negeri Adakadabra, memang begitulah adanya.
Pelacuran hukum juga terjadi, seperti apa yang dikatakan Jurgen Habermas, karena kebenaran hukum dibuat atas dasar kebenaran konsensus yang berkepentingan. Dalam kebenaran consensus bukan lagi kebenaran materiil, melainkan hanya kebenaran formalistic semata. formalisme sebagai sebuah pembenaran atas kebenaran hukum.
Pemerintahan yang Koruptif
Sebaik apapun sistem yang dirancang-dibuat, jika para pelaku sistem tidak cakap, tidak waras, ada praktek tidak sehat, atau para pelaku sistemnya tidak waras, perkorupsian-korupsi akan tetap akan terjadi, apalagi dalam sistem pengendalian internal maupun eksteranalnya, tidak bisa menghindar dari praktek-praktek yang tidak sehat, tidak waras.
Lemahnya sistem pengawasan (kontrol) akan berakibat terjadinya kecurangan, dalam hal ini, perkorupsian. Untuk itu, Bradford Cadmus & Artur JE Child (Internal Control Against Fraud and Waste, 1953) mengatakan, fungsi yang terpenting dari sistem control adalah untuk menunjukkan adanya hal-hal yang perlu mendapat perhatian. Dalam hal ini perkorupsian sebagai model kecurangan.
Praktik-praktek fraud (perkorupsian-korupsi) akan tetap terjadi, jika para pelaku sistem ada praktek-praktek yang tidak sehat. Fraud tersebut tidak hanya dalam bentuk uang cash semata.
Pemerintahan yang koruptif akan memanfaatkan kelemahan atau celah dari suatu sistem dalam tata kelola pemerintahan. Cecil Gillespie ( Accounting System, Procedur and Methods, 1986:2) menukil Richard F Neuschel (1950: 10) menjelaskan, sistem adalah suatu jaringan prosedur-prosedur yang saling terkait, yang dikembangkan sesuai dengan pola guna melaksanakan ekefektivitas kegiatan. Dalam hal ini, tata kelola pemerintahan yang good governance and client government (UU No. 28 Tahun 1999).
Pemerintahan yang koruptif akan memanfaatkan celah dari kelemahan sistem pengendalian (control) untuk melakukan perkorupsian, seperti apa yang dikatakan Patti A Mille (An Intructional Case in Internal Control and Etics Issues in Accounting Education, 1995) menjelaskan, kelemahan pengendalian intern dapat mendorong penagmbilan keputusan yang tidak baik, keliru, salah, dan praktek yang tidak etis.
James A. Hall (2001:5) memperjelas, bahwa sebuah sistem adalah sekelompok dua atau lebih komponen-komponen yang saling berkaitan atau subsistem-subsistem yang bersatu untuk mencapai tujuan yang sama.
Oleh karena itu, perkorupsian-korupsi dilakukan dengan melibatkan bagian lain, karena itu sistemik. Perkorupsian-korupsi bukanlah prilaku tunggal. Hal ini bisa terjadi, karena lemahnya sistem pengawasan yang melekat-Inspektorat, dan pengawasan eksternal, yaitu, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan atau BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), dan DPR/DPRD.
Pragmatisme dan Kesia-sian
Budaya perkorupsian-korupsi juga terjadi, dikarenakan adanya pandangan-isme dari masyarakat yang sangat amat pragmatis. Dalam pragmatism ini, apapun yang tidak berelasi langsung dengan kepentingan perut dirinya, tidak menjadi kepeduliannya. Tidak menjadi perhatiannya, tidak menarik buat dirinya.
Pandangan dan sikap pragmatisme yang hidup dalam masyarakat, menjadikan merebaknya perkorupsian-korupsi terjadi di mana-mana disegala lapisan. Baik langsung maupun tidak, pragmatism merupakan bagian yang tak terpisahkan, dan menjadi tak terbantahkan pula, dari apa yang kita katakan sebagai pelegitimasian atau melegitimasi budaya pathogenesis perkorupsian-korupsi.
Di sisi lain, ketika merasa sia-sia, sadar atau tidak, meski pada mulanya merupakan bagian dari yang mempersoalkan perkorupsian, lantas, pada akhirnya menjadi ketidak-pedulian terhadap adanya perkorupsian, karena merasa adanya kesia-sian untuk mempersoalkan perkorupsian yang saban waktu terlihat di depan mata.
Hal ini bisa dikarenakan, apa yang pedulikan, berakhir dengan kesia-sian, manakala hukum diproduksi untuk kekuasaan, bukan untuk suatu kebenaran dan keadilan. Apparatus negara menjadi alat kekuasaan, seperti apa yang dikatakan Jurgen Habermas sebagai kebenaran consensus bagi pihak yang berkepntingan.
Tatkala merasa sia-sia dan atau menjadi kesia-siaan semata atas kepedulian terhadap perkorupsian yang meng-ada, pada akhirnya menjadi apatis. Baik langsung maupun tidak langsung, berarti kita tengah melegitimasi adanya budaya pathogenesis perkorupsian-korupsi. Perkorupsian dianggap hal yang biasa. Bukan extra ordinary crime, yang berimplikasi menjadi negara gagal, dan membuat penderitaan rakyat.
Studi Kasus Perkorupsian di Indramayu
Dari rezim ke rezim, perkorupsian di Indramayu merebak. Tidak saja yang mempunyai anggaran yang besar-gemuk, melainkan OPD/SKPD yang anggarannya tidak besarpun perkorupsian meng-ada, menjadi realitas fakta yang konkret saban waktu di depan mata kita.
Di tubuh pemerintahan; OPD/SKPD, perkorupsian tetap meng-ada, karena tidak berfungsinya pengawasan melekat, tidak berfungsinya Inspektorat sebagai pengawas internal atau auditor internal.
Hal yang serupa juga terjadi pada BPK sebagai pihak eksternal. Diperparah dengan keberadaan DPRD bukan sebagai wacth-dog. Keberadaannya tak lebih sebagai Harimau Harimau Sirkus, dan sebagai lembaga stempel semata terhadap APBD-sebagai kebijakan publik yang menyangkut nasib dan masa depan daerah.
Begitu juga dengan halnya yang meng-ada di tubuh BUMD; PDAM, Apotik Darma Ayu, BWI, dan BPR KR). Apotik Darma Ayu lebih dulu kolep, bangkrut dan bubar. BPRK KR nasib yang sama, tahun 2023 kolep akhirnya bangkrut dan bubar, tamat riwayat hidupnya. Perkorupsiannya di tubuh PDAM, BWI dan BPR KR, gila-gilaan. Bukan lagi ratusan juta, tapi puluhan milyar.
Perkorupsian bukan lagi dipandang sebagai barang mewah atau luar biasa. Tetapi, sudah menjadi hal yang biasa, membudaya, meski perkorupsiannya bukan satu milyar atau dua milyar. sudah puluhan milyar.
Di tubuh BUMD; PDAM dan BWI, sesungguhnya perkorupsian bisa dicegah, jika PDAM dan BWI bukan lagi sebagai Tong Sampah dan Manajeman Sampah. PDAM, BWI bahkan OPD/SKPD tetap dipelahara sebagai alat politik dan mesin politik kekuasaan-sektarian. Di tubuh PDAM dan BWI, ada berlapis-lapis sistem pengawasan atau pencegahannya.
Lapis pertama, ada SPI (Satuan Pengawas Internal) dan Dewas (Dewan Pengawas), yang berada dalam struktur organisasi yang melekat pada PDAM dan BWI (BUMD). Tupoksinya yang utama adalah untuk menagkal perkorupsian-korupsi yang meng-ada. Tapi itu faktanya naif dan sebatas mimpi di siang bolong bagi kita.
Lapis kedua, ada Inspektorat yang mempunyai dua organ, yaitu, APIP (Aparat Pengawas Internal Pemerintah), yang mempunyai otoritas melakukan audit pada semua OPD/SKPD, PDAM, BWI, dan entitas Pemkab, bahkan organisasi non pemerintah yang menerima dana yang bersumber dari APBD. Organ struktur Inspektorat yang bernama P2UPD (Pengawas Penyelenggara Urusan Pemerintahan Daerah), yang mempunyai otoritas dalam pengawasan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Ambruk di tengah mentalitas koruptif, dan integritasnya di titik nadir.
Inspektorat dengan APIP dan P2UPD, secara berkala melakukan audit atas semua OPD/SKPD dan entitas pemerintah daerah, PDAM dan BWI. Bahkan juga punya otoritas untuk melakukan audit investigative; audit dengan tujuan tertentu, untuk mengungkap adanya fraud, perkorupsian jika ada indikasi tersebut.
Lapis ketiga, ada BPK/BPKP, yang mempunyai otoritas untuk melakukan audit regular maupun untuk waktu tertentu, jika diindikasikan adanya perkorupsian yang terjadi.
Yang membedakan BPK dengan BPKP, BPK masuk ke ranah BUMD, karena ada sumber dana (modal kerja) yang berasal dari APBD, sedangkan BPKP, jika dalam PDAM dan BWI ada sumber dana dari APBN.
Lantas, mengapa perkorupsian-korupsi masih jor-joran atau merebak di tubuh pemerintah daerah, PDAM dan BWI? Logika dan akal waras akan menuntun kita pada konklusi, karena lapisan-lapisan penangkal perkorupsian tersebut yang seharusnya menjadi pagar, kehilangan eksistensi tupoksinya. Bahkan bukan menjadi rahasia lagi, bahwa sudah lumrah adanya, apa yang kita sebut dengan “pagar makan tanaman” atau “jeruk makan jeruk”.
Oleh sebab itu, kasus-kasus perkorupsian nyaris semuanya terbongkar dan atau dibongkar oleh kehadiran civil society kritis dan atau adanya civil inteletual akademis atau para penggiat antikorupsi. Banyak fakta konkret para auditor terjaring operasi senyap yang bernama OTT, karena pagar makan tanaman.
Untuk semua itu, agar tidak terjadi dan atau tidak memberi ruang perkorupsian-korupsi di negeri Adakadabra, kita harus melahirkan, menumbuhkan genetika baru, yaitu, pemimpin haruslah memenuhi standar kenegarawanan (siddiq, amanah, tabligh dan pathonah) pada semua tingkatan, bukan pemimpin sectarianism. Lahir dan tumbuhnya masyarakat (publik) kritis intelektual akademis, yang sudah lintas perut, dan yang tidak lagi ateistik.
Karena, sungguh banyak, ayat-ayat Tuhan yang menjelaskan tentang negeri-negeri yang binasa dan atau yang dibinasakan. Albert Camus juga menceritakan dalam Lapaste (Sampar), tentang negeri yang cantik menjadi negara gagal, pada akhirnya runtuh atau binasa, ditimpa wabah penyakit yang tak bisa ditanggulangi dalam teori medis atau kedokteran, karena problem moralitas pemimpin dan masyarakatnya. Teolog bilang, itu karena azab yang pedih dari pemilik alam semesta, sang Kholiq.
Endingnya, di negeri Adakadabra, kemiskinan akut merebak, yang menderita, lapar dan dahaga pada akhirnya rakyat itu sendiri. Semua itu, berpulang pada kita semua. Sejarah dan waktu yang akan bicara. ***
Singaraja, Jum’at, 14.11.2025.
(Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com)
