Segala macam resiko tak dihiraukan, sekalipun maut mengintai sepanjang perjalanan. Kita rela berdesakan, bergelayutan, berantrean berjam-jam, panas dan hujan, semua itu bukan menjadi penghalang bagi kita untuk bisa mudik lebaran atau berlebaran di kampung halaman, tempat kelahiran kita. Tak terasa dan atau tak terlihat letih dalam perjalanan panjang dari rantau untuk bisa kembali menghirup kampung kelahiran kita.
Suasana di muka, kita temui setiap tahunnya. Apakah menggunakan kendaraan umum, kendaraan pribadi seperti mobil atau motor, pesawat terbang, kapal laut, kereta api maupun kendaraan lainnya untuk bisa mudik lebaran. Semuanya menjadi padat. Begitu juga sepanjang jalan yang dilintasi dipadati kendaraan para pemudik untuk bisa berlebaran di kampung halamannya.
Mengapa mudik lebaran seolah-olah tak bisa tertunda dan atau terlewatkan atau digantikan pada hari atau bulan di luar lebaran? Sebegitu dahsyatnyakah nyala api lebaran bagi para kita (perantau)? Ada apa gerangan sesungguhnya? Tiada keterhalangan untuk bisa mudik lebaran, dan rasionalitas kita tak mampu untuk menjelaskan itu semua.
Jalinan Silaturahmi
Bukan persoalan romantisme semata yang melatarbelakangi mudik lebaran bagi kita yang merantau. Kesempatan untuk bisa bertemu sanak keluarga, handai taulan dan kerabat kapan saja bisa dilakukan. Apalagi bagi orang-orang yang secara ekonomi mampu bahkan sudah menjadi orang kaya, kapan saja bisa mudik atau bersilaturahmi. Bagi kita yang secara ekonomi pas-pasan pun tetap berupaya agar lebaran bisa mudik tak bisa terlewatkan. Paling tidak, kita berkesempatan setahun sekali menengok kampung halaman, sekalipun kampungnya termasuk desa yang tertinggal, nun jauh dari hingar bingar suasana kota. Mudik lebaran tetap menjadi kerinduan yang tak bisa tergantikan.
Setiap orang mempunyai kesibukannya masing-masing, baik yang tinggal di kampung halamannya sendiri maupun yang tinggal di perantauan. Beban suka duka kehidupan setiap orang pun berbeda-beda. Tetapi, itu semua menjadi gugur sebagai alasan untuk kita tidak bisa bersua. Dengan budaya mudik lebaran, kita semua bisa berkumpul bersama untuk bisa saling bersilaturahmi, saling canda, saling cerita bahkan saling keluh kesah dalam jalinan ke-silaturahmi-an.
Jika ada duka, itu pun duka yang bercahaya. Jika ada kemalangan hidup, itu pun kemalangan yang bercahaya, karena tetap terseliputi suasana kefitrian sebagai hari kemenangan setelah melintasi lapar, haus dan dahaga selama sebulan (berpuasa).
Jalinan silaturaahmi itu dijembatani adanya atau dengan budaya mudik lebaran. Jalinan silaturahmi yang penuh cahaya itu tidak sebatas kita yang seiman, tetapi dengan kerabat yang tak seiman pun terjalin dengan suasana yang berbeda jika itu bersua di luar lebaran. Suasana psikologisnya tak bisa tersamakan dan tak bisa dibanding-bandingkan. Tak ada rumus eksak atau sosial yang bisa membedah psikologis tersebut, karena itu rasa dan intuitif.
Bersalam-salaman, bermaaf-maafan, ucapan apa kabar dan yang lainnya sebagai simbol dan jalinan silaturahmi, yang itu semua bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, suasana bathinya tetap berbeda ketika itu semua dilakukan pada saat (mudik) lebaran tiba. Ada sesuatu yang bergetar, ada sesuatu yang terpancar dalam ketidaksadaran kita akan sebuah perjumpaan atau pertemuan yang hakiki dalam suasana kefitrian. Seolah-olah kita baru bersua sepanjang hidup. Suasana begitu cair. Kebekuan melenyap seketika. Penyair salon pun tak akan mampu melukiskan suasana bathiniah mudik lebaran tersebut.
Masa Kanak-Kanak
Kita tidak bisa dengan sederhana mempertanyakan kenapa budaya mudik lebaran seakan-akan itu menjadi keharusan bagi kita yang merantau yang jauh dari kampung halaman atau yang meninggalkan kampung halaman? Padahal, maut selalu mengintai sepenjang perjalanan, dan semua itu dalam perjalanan panjang; melelahkan, belum lagi kondisi jalanan kadang rusak di banyak daerah, berlubang-lubang, aspal jalanan yang buruk dan seterusnya yang bisa mengakibatkan kecelakaan lalu lintas, tapi Kepolisian, Bina Marga atau sekarang namanya PUPR tidak pernah merasa bersalah apalagi bisa disalahkan atau dipidanakan, enak sendiri saja.
Polisi selalu memenjarakan pengendara jika merenggut nyawa orang lain dalam iring-iringan kepadatan kendaraan mudik lebaran dengan pasal kelalaian jika terjadi musibah kecelakaan. Yang seperti itu, tidak menjadi beban bathiniah perantau dengan berbagai resiko yang bisa terjadi di sepanjang perjalanan.
Suasana kebathinan (bukan dalam pemahaman klenik tapi adalah mata hati bathiniah, ruh bathiniah) bagi kita yang merantau, perantau tidak bisa dipungkiri apalagi dihindari, dan itu selalu melekat, sehingga mudik lebaran yang menjadi tradisi, budaya dan atau dibudayakan tanpa komando atau tanpa instruksi itu atau tanpa kesepakatan (konsensus) nasional berjalan dan mengalir dengan sendirinya. Mengalir begitu saja bagaikan air yang mengalir.
Suasana kebathinan itu tidak bisa dibendung selagi semua itu memungkinkan secara normal (artinya tidak dalam kondisi sakit). Bahkan, mudik lebaran tidak harus menunggu menjadi orang kaya dulu atau menjadi orang sukses dulu agar terpandang jika berada di kampung halaman atau paling tidak, status sosialnya menjadi naik derajatnya, sehingga kawan, kerabat waktu kanak-kanak di kampung jika masih bisa berjumpa akan mencium tangan atau hormat membunggukan badan.
Semua hal yang seperti itu tidak mendasari untuk kemudikannya dalam berlebaran di kampung halaman. Terlepas dari tetek bengek atribut atau status strata sosial kehidupan. Pancaran cahaya begitu kuat ke relung-relung bathiniah kita untuk menemui kampung halaman yang membesarkan dan mengasuh kita yang kemudian bisa hidup dalam perantauan, yang kadang tanpa sanak saudara atau hanya sebatangkara.
Diakui atau tidak, disadari atau tidak, budaya mudik lebaran itu dilatarbelakangi oleh suasana kebathinan yang melekat bagi kita, yaitu jalinan silaturahmi, mengapa tidak menggunakan kata silaturahim? Silaturahim berasal dari bahasa arab: silah ar-rahim (shillah), artinya hubungan rahim, yang berarti hubungan yang berdasarkan janin, darah atau ke-rahim-an, atau yang terkait dengan hubungan DNA (deoxyribonuclueid acid) atau sebatas yang masih ada jalur kefamilian semata. Sedangkan kata silaturahmi lebih pada konteks keuniversalitasan, yaitu hubungan tali kasih-sayang bagi sesamanya, tidak perlu sedarah, dan kerinduan masa kanak-kanak atau karena hidup kembalinya masa kanak-kanak dalam ingatan yang mengikat dengan kampung halaman, teman-teman semasa kanak-kanak atau sepermainan.
Masa kanak-kanak adalah milik kita semua, milik semua orang, dan bahkan melekat pada setiap orang. Sekalipun, ada masa kanak-kanak dari kita yang tidak menguntungkan atau kedukaan, penderitaan yang mengakrabinya. Suka duka masa kanak-kanak itu selalu hadir pada diri kita dalam kondisi tertentu yang tak mampu dicegah atau diusir. Masa kanak-kanak baik yang selalu dirundung kedukaan maupun masa kanak-kanak yang normal akan menjadi ingatan dan kerinduan.
Kerinduan akan masa kanak-kanak yang tak bisa kita kuburkan itu adalah suasana kampung dan teman kerabat sepermainan di waktu kanak-kanak, yang terkadang jika kita memutar kembali ingatan atau memori masa kanak-kanak itu menjadi sangat lucu dan menggelikan, misalnya, dulu kita pernah bertengkar karena hal yang sepele dalam permainan petak umpat, main bola, gasing-gasingan, main layang-layang, kelereng, mobil-mobilan yang terbuat dari kulit jeruk atau kaleng bekas, atau pernah berkelahai dan menangis dan seterusnya.
Masa kanak-kanak di kampung dan suasana kampung itulah yang menjadi kerinduan yang menyala bagi kita. Masa kanak-kanak itu bukan berarti harus kembali utuh, misalnya, kita bisa bersua dengan teman kerabat masa kanak-kanak atau jika kemudian masih ada yang masih diberi umur panjang kemudian kita mengulang kembali main mobil-mobilan atau main bola yang tidak sportif atau petak umpat atau mengulang pertengkaran masa kecil dengan hal yang sepele. Bukan itu kontruksinya, tetapi suasana bathiniah yang hidup kembali atas masa kanak-kanak yang sudah lampau sekian puluh tahun. Masa kanak-kanak di kampung dan kampung halaman tempat kita lahir menyimpan kenangan (memori) tersendiri dan tak akan pernah lekang.
Suasana kebathinan kampung halaman adalah keakraban antarkita, dengan para tetangga, keluarga dan kerabat satu sekolah di kampung dan hal-hal lainnya yang kita tidak bisa ditemukan dalam dunia kanak-kanak di kota yang kosmopolitan, dimana pagar tembok rumah yang tinggi telah memisahkan masa kanak-kanak kita dengan yang lain. Suasana kebathinan tersebut kemudian dibalut oleh jalinan silaturahmi yang hangat, lugas dan penuh kesahajaan. Karena suasananya mengalir lepas, tanpa tirai atau penyekat apapun. Karena itu, dalam silaturahmi mudik lebaran tidak sekedar bersalam-salaman seperti biasanya di sepanjang waktu di luar lebaran.
Suasana mudik lebaran dan suasana lebaran di kampung halaman, tidaklah gampang kita temukan suasana kebathinan seperti itu. Sekalipun banyak acara pertemuan bagi kita, apalagi kita yang dianggap sukses; jadi orang besar, jadi pejabat tinggi, jadi guru besar (Profesor), jadi orang kaya raya dan seterusnya. Sungguh berbeda suasana bathiahnya. Segala jabatan, kepangkatan dan kesuksesan duniawi harus bersimpuh tak berdaya di hadapan kapung halaman pada saat Idul Fitri. Kita yang sangat terpaksa tak bisa mudik lebaran, suasana bathiniah mudik dan lebaran tetap melekat dalam senda dan cengkrama sekalipun hanya melalui video call dan lainnya.
Acara halal bi halal pun sekalipun diadakan, apalagi jeda waktunya jauh setelah suasana berlebaran. Semua itu rasanya tidak sesempurna suasana jalinan silaturahmi pada saat mudik lebaran dan berlebaran di kampung halaman, karena kerinduan masa kanak-kanak yang hidup kembali tidak ditemukan dalam acara halal bi halal, sekalipun sama-sama jalinan silaturahminya.
Suasana yang berbeda itulah yang membedakan, sehingga budaya mudik lebaran meng-ada bukan melalui konsensus nasional. //Seorang sahabat karib masa kecil pernah mendatangi Yusuf/Mereka berbagi rahasia seperti anak-anak yang saling cerita/saat mereka terbaring di bantal mereka pada malam hari//menjelang tidur. Kedua sobat ini/selalu berkata jujur/satu sama lain// (Jalaludin Rumi: Sobat-Sobat Masa Kanak-Kanak: MathnawiI, 3150-3175, 3192-3227). Minal Aidin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Bathin. Selamat Idul Fitri, 1 Syawal 1442 H, semoga kita semua dalam kefitrian. ***
*)Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com.