Dibenarkan kah budaya politik transformatif?
Kalau bisa dibenarkan bagaimana caranya. Bagaimana menjawabnya jadi persoalan tentunya. Ungkapan budaya baru itu disebut adalah budaya transformatif. Atau dilabelkan juga budaya alternatif. Lantaran istilah itu ditemukan belakangan ketimbang budaya lain.
Artinya atau maksudnya budaya transformatif itu adalah penyesuaian dari perkembangan dari satu konsep budaya. Misalnya istiqamah prinsip baku, tetap dan permanen. Tidak berubah-ubah, seperti apa adanya.
Meminjam pepatah adat dibubut layu dipindan anjak mati. Takrifnya tidak dapat berubah dan dipindahkan. Karena akan rusak dan mati.
Yang demikian digolongkan adat yang usually yang asli original. Yaitu seperti utang berbayar atau dosa disembah. Utang lunas harus berbayar dosa hapus kalau diminta ampun atau disembah. Lain tidak bisa
dat terjoli adalah adat yang disesuaikan, lain negeri lain adatnya. Lain lubuk lain ikannya. Beda padang beda belalangnya. Tergantung keadaan di mana situasi itu.
Bukan problem bila diganti dengan yang baru. Itulah defenisi adat, ada usually dan terjoli atau berubah. Dapat dikonversi istilah lainnya, atau disamakan.
Ungkapan adat yang mengatakan buliah bakisa duduak asal dilapik sahalai. Buliah bakisa tagak asal di tanah nan sabingkah (boleh berkisar duduk asal di tikar yang sehelai atau sama beleh berpindah tegak asal di tanah yang sebingkah atau sama). Itu adalah adat terjoli (aliran) bukan usually (asli).
Ungkapan tersebut identik istilah budaya alternatif. Sama itu tetapi berbeda.
Kata ketua partai pembangkang Malaysia sering kata itu berubah jadi penipuan. Ia mengutip ungkapan salah seorang budayawan Malaysia mendakap kepalsuan atau menajisi kebenaran.
Menurut dia, sering kita mengatakn kalau pejabat menerima uang jutaan kita namakan itu komisi. Sementara sopir di jalan dikutip polisi sepuluh Ringgit kita namakan korupsi. Kita katakan adanya korupsi tidak boleh.
Artinya mendakap memeluk ketidakadilan dan menajisi kebenaran adalah membusukkan kebenaran. Satu perbuatan yang dilarang. Untuk pejabat atau yang lain. Begitu kata Anwar Ibrahim.
Akhirnya kebenaran harus ditegakkan. Kata atau budaya transformatif harus diukur dengan tujuannya. Tidak sekadar melihat budaya itu sendiri.
Dibolehkan kalau budaya tersebut punya esensi berguna dan tidak prinsip dasar. Tidak dibolehkan atau dilarang kalau untuk akal-akalan. Hanya akan mendakap kepalsuan dan menajisi kebenaran. Kita harus tentang.
Jakarta, 21 Mei 2022
*) Penulis adalah Doktor Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta