Rabu, November 6, 2024

Budayawan Gugur dalam Kenistaan (Studi Kasus Puisi Butet Kartaredjasa)

Butet Kartaredjasa yang punya nama lengkap Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa mendadak menjadi penyair besar pada puncak peringatan Bulan Bung Karno di Stadion Utama Gelora Bungkarno (GBK), Senayan Jakarta, Rabu (24/6/2023).

Setelah acara tersebut, Butet menjadi bulan-bulanan nitizen di satu di sisi, dan di sisi lain, Butet sukses dan berhasil menggelorakan dan menggegap-gempitakan isi S GBK. GBK bergemuruh riuh, dihadiri ribuan kader dan petinggi parpol yang berlogo kepala banteng bermoncong putih.

Mari kita simak, seperti apa puisi penyair dadakan yang bernama Butet Kartaredjasa tersebut. Sayangnya, semua media yang melansir puisi Butet ini tak disertakan judul puisinya, sehingga sedikit mengganggu kita untuk membicarakan puisi yang dibacakan Butet tersebut.

 

Di sini semangat meneruskan

Di sana maunya perubahan

Itulah persaingan

 

Di sini menyebutnya banjir

Di sana menyebutnya air parkir

Begitulah kalau otak pandir

 

Pepes ikan dengan sambel terong sambil nikmat

tambah daging empal, Orangnya diteropong KPK

karena nyolong, eh lha kok koar koar mau dijegal

 

Jagoan Pak Jokowi rambutnya putih, Gigih bekerja

sampai jungkir balik, Hati seluruh rakyat

Indonesia pasti akan sedih, jika kelak ada

presiden hobinya kok menculik

 

Cucu komodo mengkerut jadi kadal, tak lezat

digulai biarpun pakai santan, kalau pemimpin

modalnya cuma transaksional, dijamin bukan

tauladan kelas negarawan

(Haluan.com, Minggu, 25 Juni 2023|15:10 WIB)

 

Menyimak dan mendengarkan puisi Butet yang dibacakan di GBK, ingatan kolektif kita teringat pada puisi-puisi yang ditulis oleh para penyair Lekra-PKI pada masa hingar bingar dan gegap gemipitanya Manipol Usdek Soekarno (Orla).

 

Mari kita simak puisi yang ditulis oleh Sorbon Adidit di bawah ini:

KEPALAKU MARXIS, DIRIKU LENINIS

(Bagi Pihak Ketiga)

 

Dalam sandang pangan berkocar

Kau datang-datang selalu

Mengharu biru.

 

Tetapi walau kau renggut-cabut

Kau ganas ganas padaku

Kau coba bertubi-tubi

Namun aku tiada terebut.

 

Otakku, hatiku, jantungku

Segalaku, hanya satu

Hanya partai

Itu saja.

 

Keganasan itu hanya kepalsuan

Kau akan gagal, menyerah kalah

Dan aku tambah berani dan yakin

Dalam segalamu aku jadi gigih

 

Bagaimana kau bisa menang

Kau tenaga bayaran, kecil tipis kempis

Sedang aku dari darah kesadaran

Dada kepalaku Marxis

Diriku Leninis

Berpadu dalam satu deretan

(Harian Rakyat, 21/4/1962).

Selebihnya bisa kita baca dan simak puisi-puisi yang ditulis para penyair Lekra, antara lain, puisinya Setiawati Hs (LENINGRAD, Harian Rakyat, 27/9/1962). Puisinya Dharmawati (KUMOHON BARA CINTAMU, Harian Rakyat, 15/9/1963). Puisinya Agam Wispi (KISAH TUKANG OBAT KEBUDAYAAN, Harian Rakyat, Minggu, 9/2/1964). Puisinya Mawie (KUNANTI BUMI MEMERAH DARAH, Lentera-Bintang Timur, 21/3/1965). Puisinya Tohaga (TAFAKUR KEPADA LENIN, Harian Rakyat, Minggu, 25/4/1965). Puisinya T. Iskandar A.S (ARAHKAN KEMUDIMU, LAKSANAKAN (Harian Rakyat, 23/4/1963). Puisinya Hersat Sudijono (KEPADA KONFERENSI, Harian Rakyat, 16/3/1963). Puisinya Virga Belan (PENERBANGAN MALAM KE LENINGRAD, Harian Rakyat, Minggu, 1/12/1963). Puisinya Nusantara (PEKING, Harian Rakyat, Minggu, 1/12/1963). Puisinya Armans (TUTUP USIS!!!, Bintang Timur, 21/2/1965).

Puisi atau karya sastra yang tergelincir masuk kubangan lumpur politik identitas sektarian, tentu mudah dicerna, karena idiom-idiom yang bangun adalah untuk kepentingan menghancurkan lawan politiknya. Seharusnya, mendudukkan puisi dalam konteks sastra yang bicara dengan segala kemerdekaannya, tidak terbelenggu atau tertawan dalam kesentimenan yang di-mick-up dengan olok-olok yang berlanggam pantun.

Puisi yang bermodal meledek-ledek yang dipandu kepentingan politik, sekalipun  kata-katanya sangat puitis dan berpantun, akan tetap menjadi puisi yang rendah mutuya, dengan perkataan lain, karya sastra dalam puisi tersebut menjadi sampah, bobot literernya menyampah.

Hal itu tidak bisa dinafikkan apalagi kita pungkiri, itu terjadi dan atau menimpa puisinya Butet Kartaredjasa. Tidak berbeda dengan puisinya Sorbon Aidit yang kita sandingkan di muka. Begitu juga dengan para penyair Lekra lainnya, yang kepenyairannya tersandera oleh kepentingan politik identitas sektarian.

Puisi sebagai karya sastra, seharusnya melepaskan belenggu kepentingan politik identitas sectarian, karena sastra harus bicara tanpa belenggu, dan sastra yang mempu melepaskan belenggu kepentingan politik identitas sectarian, akan menjadi puisi itu puisi sebagaimana yang dikatakan sastra.

Puisi Butet Kartaredjasa, dan Butet Kartardjasa sebagai penyair yang sekaliugus budayawan, tergelincir bahkan menjerumuskan dirinya untuk sebagai martir kepentingan politik identitas sektarian, sehingga puisinya jatuh sebagai sampah yang berserak, karena puisinya menjadi juru bicara politik.

Puisinya menjadi corong politik kepentingan identitas sektarian, yang goalnya untuk bisa merebut kekuasaan, dengan cara mengolok-olok dan atau meledek-ledek lawan, agar bisa merontokkan elektabilitas lawan politiknya. Sungguh naif, jika puisi (sastra) yang bicara seperti itu. Yang seperti itu, niscaya bukan menjadi bagian dari apa yang disebut dengan puisi atau sastra.

Kata-kata yang puitis belum tentu itu adalah puisi, bernilai sastra, karena sastra harus terbebas dari belenggu kepentingan orang per orang, golongan dan atau politik. Puisi (sastra) harus terbebas dan atau tidak boleh tergelincir apalagi tersungkur dan atau terjerumus ke dalam corong kekuasaan.

Puisi (sastra) harus steril, karena harus bebas ke mana anak panah melesat jauh, tidak boleh menjadi penghamba kekuasaan, tidak boleh menjadi juru bicara kepentingan orang per orang apalagi untuk kepentingan golongan atau partai politik. Jika puisi itu seperti itu, maka kita akan mengatakan, bahwa puisi-puisi yang seperti itu merupakan anak haram jadah dari rahim sastra.

Puisi (sastra) harus terbebas dari segala bentuk pemujaan kekuasaan, pemujaan politik, pemujaan dan atau pendewa-dewaan dan atau pengkultusan terhadap seseorang. Meski puisi (sastra) menceritakan pertemuan penyair dengan nabi-nabi bahkan dengan Tuhannya.

Pertemuan dengan Tuhan yang digambarkan dalam puisi adalah sebagai bentuk pengkristalan keimanan terhadap Sang Illahiyah, dalam konteks substantif habluminallah. Bukan pertemuan secara piskli, karena salah kaprah, yang banyak dipahami sebagian publik di luar masyarakat sastra. Karena itu hanya merupakan pertemuan imajiner dalam keimanan yang menyatu.

Puisi Butet Kartaredjasa tersungkur dan atau terjerumus masuk ke dalam kubangan penghambaan kekuasaan. Itu yang membuat puisinya jatuh tersungkur menjadi sampah, dan dengan sendirinya Butet Kartaredjasa sebagai penyair dan atau budayawan gugur dalam kenistaan, lantaran puisinya itu.

Boleh saja Butet Kartaredjasa beragumentasi, bahwa itu urusan dirinya mau menulis puisi seperti itu atau macam apapun itu urusan pribadi. Jika apologinya seperti itu, licentia poetica tidak dipahamai dan atau tidak dimengerti oleh Butet Kartaredjasa. Kebanyakan para penyair Lekra tersungkur jatuh di situ, dalam kubangan poltik kekuasaan, karena problem idiologis yang membelenggu kepenyairannya dalam menulis puisi. Mungkinkah itu persoalan idiologis Butet Kartaredjasa ada di situ?

Ada baiknya, Butet Kartaredjasa belajar pada puisi-puisi pamplet WS. Rendra, jika mau belajar menulis puisi yang menggelora membara, sehingga puisinya akan bernas, sarat pemberontakkan, kritik sosialnya tajam. Anak panah yang lepas dari busurnya melesat jauh ke mana-mana, ke segala arah, tidak menjadi kepingan-kepingan sampah.

Bisa belajar juga dari puisi-puisi nakalnya F. Rahardi. Puisi mantra satirenya Sutardji Calzoum Bachri, atau dari Chairil Anwar dalam puisinya ”Kerawang Bekasi.” Chairil Anwar menyebut beberapa nama (tokoh), tapi tidak tergelincir apalagi terjerumus dalam kubangan kepentingan politik identitas sektarian. Itu bedanya dengan puisinya Butet Kartaredjasa.

Butet Kartaredjasa juga bisa belajar, jika mau belajar, dari puisi-puisinya Okot P’Bitek dari Uganda. Puisi satire humornya Rumi (Jalaluddin Rumi) dari Persia. Puisinya Iqbal dari Pakistan yang yang menusuk. Puisi-puisinya penyair Perancis, seperti Pierre Bourdieu, Charles Baudelaire, Arthur Rimbaud, Paul Verlaine, Paul Valary dkk. Puisinya Walt Whitman dari Amerika, dan masih banyak lagi penyair-penyair yang kental dengan satire humor, olok-olok atas kondisi sosial politik yang meng-ada.

Kritik sosial dan olok-olok bernas dari puisi-puisinya para penyair tersebut, ada baiknya menjadi  bacaan wajib bagi Butet Kartaredjasa, sehingga bisa menulis puisi yang berbobot, menjadi puisi silet. Bukan menulis puisi kaleng yang hanya mengundang “ggeerr dan sorak” yang menggema di GBK. Lantas menjadi bulan-bulan nitizen dan budayawan lainnya yang masih punya logika dan akal waras.

Persoalan puisi, bukan elok tidak elok, atau tidak tepat hanya karena dibacakan pada peringatan Bulan Bung Karno seperti yang dikatakan Djarot Saiful Hidayat (Ketua DPP PDIP) di Political Chow, dilancir Selasa (27/6/2023). Djarot Saiful Hidayat berapologi karena Soekarno selalu menggaungkan persatuan.

Jika begitu, apakah puisi Butet Kartaredjasa jika dibacakan di tempat lain dan bukan pada acara Bung Karno, lantas bisa dikatakan puisinya bernas, hebat atau luar biasa? Begitu juga halnya jika ada yang berapologi, bahwa penyair boleh-boleh saja menulis puisi seperti itu, sah-sah saja mau menulis apapun yang dikehendaki. Bukankah itu merupakan licentia poetica?

Jika postulatnya seperti itu, akan menjadi keniscayaan pada karya yang dihasilkannya menjadi “sampah” semata. Hal yang seperti itu, biasanya adalah penyair-penyair yang job order-an, tetapi bisa juga terjadi karena memang sangat idiologis, sehingga terkungkung dan terbelenggu sebuah “isme” dalam berkarya. Fakta konkretnya adalah para penyair Lekra pada masa Manipol Usdek yang menggelora yang diwadahi oleh koran dan majalah yang berhaluan Kiri (Komunis).

Jika kita membaca, menyimak dengan khidmat dan mendengarkan penyairnya membacakan puisinya, memang cukup mempesona dari sisi acting. Akan tetapi, Butet Kartaredjasa baik sebagai penyair maupun budayawan, dengan puisinya tersebut adalah budayawan “Gugur dalam Kenistaan.”

Di sini semangat meneruskan/Di sana maunya perubahan/Itulah persaingan//Di sini menyebutnya banjir/Di sana menyebutnya air parkir/Begitulah kalau otak pandir//

Dua larik bait puisi tersebut mendenotatifkan panahnya terarah pada salah satu capres (baca: Anies Baswedan), karena dua bait tersebut tidak bisa kita tafsirkan dalam konteks konotatif, yang bisa menjadi multi taffir pembacanya. Butet menancapkan panahnya secara gamblang, seperti halnya para penyair Lekra pada zamannya, sehingga menjadi karya sampah.

Kemudian, Butet Kartaredjasa mempertegasnya dengan larik bait ketiga: //Pepes ikan dengan sambel terong sambil nikmat/tambah daging empal, Orangnya diteropong KPK/karena nyolong, eh lha kok koar koar mau dijegal//.

Pada bait keempat, Butet Kartaredjasa berupaya panahnya tidak saja diarahkan kepada capres yang konon hasil surveinya terus fluktuatif, yang seakan-akan menjadi ancaman terhadap Ganjar Pranowo yang bakal menjadi Capres jagoannya Presiden Jokowi dari PDI-P.

Butet Kartaredjasa lantas harus mendewakan capres Ganjar Pranowo jagoan Presiden Jokowi dengan mengatakan begitu tegas, gamblang, yang tidak bisa dimaknai secara konotatif. Panahnya langsung menacap tegas pada capres Prabowo Subianto. //Jagoan Pak Jokowi rambutnya putih, Gigih bekerja/sampai jungkir balik, Hati seluruh rakyat/ Indonesia pasti akan sedih, jika kelak ada/presiden hobinya kok menculik//.

Pada bait terakhir, kelima, Butet Kartaredjasa berupaya menguras otaknya yang semetara diletakan di dengkul dengan harus mengatakan dalam puisinya secara tegas, yaitu://Cucu komodo mengkerut jadi kadal, tak lezat/ digulai biarpun pakai santan, kalau pemimpin/modalnya cuma transaksional, dijamin bukan/tauladan kelas negarawan//.

Puisi Butet Kartaredjasa, idiom-idiom yang dibangunnya, akhirnya hanya menjadi kepingan sampah yang berserak. Puisinya menjadi puisi sampah. Tentu sangat disayangkan, karena kita mengenal Butet Kartaredjasa adalah budayawan yang bukan “Dengkulnya di Kepala“ dan atau “Kepalanya di Dengkul”, ketika kita menonton “Sentilan Sentilun” bersama Slamet Rahardjo di sebuah program MetroTV, setiap hari Sabtu malam. Ternyata, semua itu gugur di usia menjelang senja, yang konon mulai sering sakit-sakitan.

Mengapa Butet Kartaredjasa sebagai penyair dan atau budayawan harus melakukan itu semua? Apakah sadar dan atau telah disadarinya dengan puisi yang ditulisnya itu? Jika seperti itu, kita teringat argumentasi-argumentasi yang sangat militan dari budayawan Muhidin M. Dahlan dalam Putcast (Mojokdotco) yang bertajuk: “Debat Sengit” KIRI VS KANAN.

Muhidin M. Dahlan mengedepankan arugemtasi-argumentasi Kiri (Komunisme) yang dianggap adihulung dalam peradaban dan konsep kebudayaan. Argumentasi kebudayaannya sangat militan. Tak berlaku referensi lain selain Kiri (Kominisme). Luar biasa, tapi kita tidak kaget apalagi terkejut, karena itu pun dilakukan oleh para pendahulunya ketika konfrontasi dengan Manifes Kebudayaan.

Kita bisa mengerti argumentasi budayawan Muhidin M. Dahlan yang serupa juga dengan para pendahulunya itu, tanpa kecuali juga penyair Saut Situmorang yang dalam kepenyairannya tergolong ‘90an, yang juga sangat militan dengan argumentasi Kiri-nya ketika menggugat Sastra Canon, dan soal gugatan kebudayaan atas kiprah para penyair Lekra dengan mengajukan pertanyaan: Mengapa para penyair Lekra tersingkir dalam penghargaan sastra? Mengapa seperti itu, karena idiologi tak akan pernah mati, begitu argumentasi “Kiri” mempertegasnya.

Pertanyaannya, apakah hal itu ada keterkaitannya dengan Butet Kartaredjasa sebagai penyair atau budayawan? Semua itu yang bisa menjawab hanyalah Butet Kartaredjasa sendiri.

Jika begitu, apakah Sentilan Sentilun itu pun merupakan job order, bukan sebagai kegelisahan dan atau keresahannya sebagai budayawan melihat negeri ini. Hanya Butet Kartaredjasalah yang bisa menjawabnya. Kini kita terperangah, karena konsistensinya sebagai budayawan ambruk, bahkan akhirnya Gugur dalam Kenistaan, demi menjadi martir politik idiologisnya.

Konsistensi memang mahal nilainya, baik itu konsisten buruk, bobroknya maupun konsisten pikiran, idealismenya dan atau logika dan akal warasnya, karena Harimau mati meninggalkan belangnya. Gajah mati meninggalkan gadingnya.

Manusia mati meninggalkan namanya; baik atau buruk. Jejak sejarah tak bisa dihapus begitu saja, dan waktulah yang bicara. Itulah harga dan nilai dari sebuah konsistensi. Terlampau mahal buat kita yang masih punya logika dan akal waras. Konsistensi memang terlampau mahal nilainya bagi kita..***

Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus  Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. e-mail: jurnalepkspd@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles