Oleh O’ushj.dialambaqa*)
Episode 6. Bupati, Buku (Bk) Cerita Bergambar (Cergam) Kebon Mangga Gedong Gincu Nina dan Politisasi Pendidikan , perlu kita perbincangkan setelah episode 5. Dirut PDAM TDA, Avonturir Ataukah Profesional? Episode 4. Bakul Banyu Reinkarnasi Dari Dirut PDAM, Bermain Politik Elektoral Bupati Nina 2 Periode. Episode 3. Desa dan Kelurahan Menjadi Mesin Politik elektoral Bupati Nina 2 Periode. Episode 2. ASN Sebagai Mesin Politik Elektoral Bupati Nina 2 Periode dan episode 1. Bupati dan Bupati Asbun.
Episode 6 ini tetap dalam konstruk politik Machiavellian, politik Orwellian, politik Post-Truth, dan politik Pork Barrel (politik Gentong Babi, di mana dunia pendidikan direduksi, diacak-acak, diobrak-abrik, dan menjadi sasaran empuk yang seharusnya steril.
Dilibas habis apalagi ini persoalannya adalah pendidikan usia dini, di mana mentalitas para guru paling rentan, rendah integritas dan moralitas untuk bisa melawan arus. Guru dan pendidikan acapkali menjadi menguat, yang beda tipis dengan apa itu buzzer dalam sistem kekuasaan politik-politik kekuasaan di Indramayu dari rezim tiran ke rezim tiran berikutnya.
Menjadi catatan penting bagi sejarah; catatan hitam sejarah pendidikan di Indramayu, karena dalam rekam jejak sejarah kepenulisan-kepengarangan periode 1980an-2020an, Bupati Nina, tidak tercatat dan atau tidak pernah punya empirik perjalanan sebagai seorang pengarang cergam anak-anak dalam ide-gagasan atau proses kreatif dalam pertarungan kepenulisan-kepengarangan di media massa koran atau majalah; nasional, daerah, lokal apalagi di dunia internasional, media massa luar negeri.
Bupati Nina dalam sejarah, bukan sebagai penyair, cerpenis, novelis, esais, dan bukan sebagai author-writer maupun sebagai kolumnis ataupun sebagai cergam. Bupati Nina dalam rekam jejaknya hanya sebagai anak pejabat tinggi, Dirut Corporate, Komisaris dan konon sebagai kurator, karena punya perusahaan yang dijabatnya sampai sekarang. Yang menurut undang-undang-regulasi seharusnya tidak boleh, dan diberikan sanksi. Namun apa hendak dikata, lembu melenguh sudah menjadi ular, sehingga Mendagri pun tidak berdaya, menjadi lame duck.
Jika kita mencermati-mecerdasi bk cergam anak-anak yang berjudul: KEBUN MANGGA GEDONG GINCU NINA-15 menit membaca-Read a Story, ditulis oleh dua pengarang, yaitu, Nina Agustina & Atun Tunira. Fakta konkret yang sesungguhnya jika atas rekam sejak sejarah dunia kepengarangan, pengarangnya bukan Bupati Nina Austina, bisa jadi Nina Agustina dan Atun Tunia yang berada di negeri Adakasabra-negeri soak, jauh di sana.
Dijamin bukan karya Bupati Nina Agustina sebagaimana yang dimaksudkan dalam hak cipta dan hak intelektual. Pemalsuan karya tersebut menjadi fakta konkret yang merupakan bentuk pelacuran yang sekaligus pelanggaran intelektual, karena bukan karya original Bupati Nina Agustina sebagai pengarang-penulis bk cergam anak-anak tersebut.
Oleh sebab itu, tidak saja merupakan pelacuran, tetapi pelanggaran pidana hak cipta dan hak intelektual. Apa yang dimanipulasikan tersebut merupakan pelanggaran dan atau perbuatan melawan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam UU Hak Cipta dan Hak Intelektual. Pelanggaran hak intelektual dan hak cipta termasuk di dalamnya plagiasi atau menjadi plagiator.
Dalam politik Post-Truth dan Orwellian, menjelaskan bahwa pemanipulasian hak intelektual dan hak cipta atas bk cergam Kebun Mangga Gedong Gincu Nina adalah untuk kepentingan elektoral Bupati Nia 2 periode, karena diterbitkan menjelang kepentingan elektoral, dan sekaligus sebagai politik Gentong Babi yang seolah-olah Bupati mempunyai kepedulian yang teramat sangat peduli dalam dunia pendidikan apalagi pendidikan usia ini (PAUD).
Membagikan bk cergam dan anak-anak SD berkaos gambar Bupati Nina pada peringatan Hari Anak Nasional 2024. Tahun-tahun sebelumnya tidak melakukan hal-hal yang bersifat empati atau kepedulian dalam dunia pendidikan dan lainnya. Begitu juga soal blusukan ke sekolah-sekolah akhir-akhir ini, menjelang pesta kontestasi politik elektoral.
Para orang tua siswa yang tidak melek, pastilah mengatakan seperti itu. Alasannya sangat sederhana, Bupati Nina membagikan buku bacaan cergam anak-anak, bukunya bagus, berwana, lux, model Upin-Ipin, dan gartis pula. Lantas bilang: Bupatinya amat sangat peduli dan hebat.
Sebagian orang tua siswa mengatakan, Bupati Nina lanjut 2 periode, dan sebagian orang tua yang melek, hanya geleng-geleng kepala dan mengernyitkan dahi, memberi sinyal-alarem pada rumput yang bergoyang dalam langit yang kian mendung.
Buku cerita anaka-anak dalam bentuk gambar dalam cerita dunia anak-anak tersebut diterbitkan oleh Penerbit Erlangga Pop Kids. Editor: Putri Fitrisia, Ilustrasi : Vania Shapira, Desain & layout: Maya Kumala Widiharja. Pengarangnya Nina Agustina dan Atun Tuinira. Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Erlangga Pop Kids. Hak Cipta @ 2023 pada Penulis. Percetakan Gelora Aksara Pratama 26 25 24 6 5 4 3 2.
Buku cerita bergambar tersebut diberikan ke siswa PAUD secara gratis. Menurut pengakuan orang tua siswa harga buku tersebut Rp 50.000,00/buku, dibayar dengan dana BOS /BOP ke Erlangga Pop Kids. Jadi tanggungan dana BOS/BOP.
Lagi-lagi, Mendagri tidak berani memberikan sanksi, padahal UU dengan tegas melarangnya. Bupati Nina bisa mengendalikan Mendagri, Dewan, Panwaslu-Gakkumdu, Bawasalu bahkan APH. Para akademisi serta civil society yang meng-ada hanya diam mematung seribu bahasa melihat fakta konkret rusaknya demokrasi, pendidikan, APBD, BOS/BOP dan lainnya. Machiavellian benar-benar TSM, bahkan mampu mereduksi dan mengobrtak-abrik dunia pendidikan usia dini yang seharus stril dari dunia kebusukan-kejahatan politik.
Jika kita belajar matematika, berapa dana BOS/BOP yang disalahgunakan untuk kepentingan elektoral Bupati 2 periode? Anak esde menghitungnya dengan menggunakan 10 jari tangan dan 10 jari kaki, hasilnya adalah Rp 50.000,00/buku X jumlah siswa PAUD se-kabupaten Indramayu = Rp? Anak esde berhenti meneruskannya, karena 10 jari tangan dan 10 jari kakinya tidak cukup atau tidak bisa untuk mengalikan angka tersebut. Minta bantuan kalkulator, karena tidak belajar Mental Matematika Sempoa.
Secara ekstrim kita boleh saja dengan asumsi yang liar untuk mematematikakan dana BOS/BOP yang dipakai untuk kepentingan elektoran Bupati Nina 2 periode, karena Kadisdik, tidak memberikan jawaban ketika dikonfirmasi melaui surat semi formal-whatstapp pada Senin, 24/6/2024, tidak menjawab. Lantas pada 8/7/2024 .09:06 WIB, Kadisdik menjawab dengan whatsapp: Bersurat saja pak. Kabid PAUD, sama sekali tidak menjawab.
Dengan formal, PKSPD mengirim surat, Senin. 8 Juli 2024. Nomor: 00011.8.7.24.pkspd.2024 kepada Kadisdikbud dengan tembusan DPRD Komisi yang membidangi pendidikan. Sampai artikel ini dipublikasikan, Kadisdikbud/Kabid PAUD Disdikbud tidak membalas surat. Padahal, atas permintaannya sendiri. Sehingga, publik boleh saja dan tidak salah, jika ternyata tidak benar, karena Kadisdikbud telah melanggar UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik), di mana publik berhak meminta data dan atau meminta penjelasan atas fakta konkret tersebut.
Isi surat PKSPD itu dalam poin PAUD hanya meminta penjelasan tentang berapa jumlah siswa PAUD se-kabupaten Indramayu? Benarkah bk cergam tersebut dibayar dengan dana BOS/BOP? Atas inisiatif siapakah order penerbitan-pencetakan bk cergam tersebut pada Penerbit Erlangga Pop Kids, Bupati Ninakah atau Kadisdikah atau Kabid PAUD-kah Bungkam seribu bahasa.
Klaim atas tranparansi dan akuntabilitas yang digembar-gemborkan Bupati Nina dan seluruh jajaran-Kadis-SKPD, fakta konkretnya adalah omong kosong, bohong besar dan sekaligus hoax yang diproduksi, sekalipun faktanya telah mendapatkan penghargaan atas SPBE (Sistem Pemerintahahan Berbasis Elektronik). Fakta konkretnya, antar-SKPD pun tidak konek. Lagi-lagi itu hoax yang diproduksi, politik Orwellian.
Atas dasar data mentah bawah tanah per 31/2023, jumlah siswa PAUD sebanyak 973-1000 anak, siswa-PAUD se-kabupaten. Rata-rata siswa: 50-100/PAUD. Untuk itu dana BOS/BOP untuk membayar buku cergam Kebun Mangga Gedong Gincu Nina ke Erlangga Pop Kids adalah senilai +/- Rp 2,5 milyaran – Rp 5 milyaran. Fantastik dan hebat, bukan? Sekali lagi, jika tidak benar, menurut UU KIP, publik tidak bisa disalahkan apalagi dianggap memfitnah, menyebarkan hoax yang bisa didelikan dengan UU ITE. Jika itu terjadi, itu namanya APH di bawah kendali bandar penguasa rezim tiran.
Asumsi liar pun tidak salah, karena basis data yang harusnya bisa diakses publik, ternyata terkunci-digembok. UU KIP disingkirkan. Tapi, lagi-lagi, tidak ada yang berani memberikan sanksi kepada Bupati Nina, sekalipun Mendagri, Menpan RB bahkan Presiden. Bupati Nina menjadi anak emas di negeri adakadabra-negeri soak. Seakan-akan Bupati Nina tidak boleh disentuh oleh hukum, sekalipun karwek (sekendak udelnya sendiri).
Asumsi dan matematika tersebut tidak bisa dikatakan salah apalagi tidak benar, karena data yang benar tidak bisa diakses. Sekali lagi, Kadisdikbud dari 24/6/2024 hingga tulisan ini diterbitkan, mengunci gembok atas akses data publik. Begitu juga halnya Kabid PAUD Disdikbud dari 2/7/2024 hinga tulisan ini diterbitkan, bersikap sama dengan Kadisdikbudnya. Menggembok akses data publik.
Untuk itu, tranparansi dan akuntabilitas publik yang digembar-gemborkan Bupati Nina yang dilansir Dinas Kominfo dan menjadi konsumsi pemberitaan rilis media, hanya isapan jempol, naif dan omong kosong belaka. Kabar berita dan penjelasan bahwa pemerintahan Bupati Nina hal soal tranparansi dan akuntabel adalah hoax. Sekali lagi, adalah hoax.
Hal ke-hoax-kan tersebut juga kita bisa buktikan dengan fakta konkret soal APBD, neraca PDAM, BWI dan BPK KR (yang sudah bangkrut), dan yang lainnya tidak bisa diakses publik-digembok-terkunci.
Padahal itu adalah data publik yang harus bisa diakses publik. PDAM dan BWI, pemegang sahamnya adalah publik-masyarakat Indramayu, tapi sebagai pemegang saham tidak bisa mengakses naracanya, tidak bisa mengakses kejelasan atas kegiatan usahanya, apakah untung ataukah buntung?
Apakah sakit ataukah mati suri ataukah menjadi Kembang Gayong dalam Laporan Keuangannya. Jika untuk profit seberapa besar, dan siapakah yang menikmati keutungannya dan siapa yang foya-foya di atas keuntungan tersebut, karena jika buntung, seberapa besar kebuntungannya, rakyatlah yang harus menangungnya, dengan akal-akalan kenaikan tarip.
Begitu juga dengan LHP BPK (Laporan Hasil Pemerikasaan Badan Pemeriksa Keuangan) juga tergembok, padahal dalam regulasi dan atau BPK sendiri mengatakan, ketika LHP BPK sudah diserahterimakan kepada Bupati dan DPRD, LHP BPK tersebut sudah menjadi dokumen publik, bukan dokumen rahasia negara.
Jadi keterkuncian tersebut dengan alasan dokumen rahasia negara adalah menjadi keblinger dan dungu sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 17 Tahun 2011 tentang Rahasia Negara. Data publik harus kita dapatkan dari bawah tanah, lorong tikus. Tidak semua orang bisa melakukan itu.
Bukankah dokumen seperti itu. APBD, Neraca PDAM, BWI harus bisa dikses publik, karena pemegang sahamnya adalah semua masyarakat (publik) Indramayu-APBD. Jadi menjadi tambah dungu, ketika Dirut, Dewas dan Bupati sebagai KPM mengunci akses tersebut, padahal dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Publik (KIP) sudah sangat jelas dan terang benderang, tidak debatable soal data publik dan hak-hak publik.
Bk cergam Kebun Mangga Gedung Gincu Nina, menjadi luar biasa keberanian Penerbit Erlangga untuk turut serta mempolitisasi pendidikan usia dini, hanya ingin meraup keuntungan secara sporadis, mengabaikan moralitas dan etika. Melibas UU Sisdiknas dan ketentuan juklak juknis dalam penggunaan dana BOS/BOP. Sungguh benar-benar Machiavellian.
Persoalannya tidak hanya mengenai penyelewengan dana BOS/BOP PAUD, tetapi Bupati Nina yang secara TSM mempolitisasi pendidikan dan merusak pendidikan dan atau merusak mentalitas dunia pendidikan, tidak saja siswa yang masih usia dini, tetapi juga mereduksi mentalitas guru dan orang tua siswa yang berimbas pada kerusakan mentalitas konstruk sosial, terutama dalam dunia pendidikan.
Untuk itu, mampukah para guru menjelaskan pada anak didiknya yang masih usia dini, untuk menjelaskan mana yang salah dan mana yang benar atas value kebenaran itu sendiri, bahwa dalam bk cergam Kebun Mangga Gedong Gincu Nina tersebut mengandung kejahatan, yaitu, (1) Kejahatan intelektual dan hak cipta dengan pemalsuan karya intelektual. (2) Kejahatan jabatan-kewenangan dan penyalahgunaan dana BOS/BOP-APBN/APBD untuk kepentingan politik elektoral yang merusak dunia pendidikan. (3) Kejahatan politik untuk kepentingan electoral. (4) Kejahatan memproduksi kebohongan dan kemunafikan, dan (5) Kejahatan moralitas publik dan moralitas absolut.
Machiavellian tidak hanya berhenti di dunia pendidikan usia dini. Ternyata fakta konkretnya juga mencengkram dunia pendidikan dasar. Pada peringatan Hari Anak Nasional, 27 Juli, siswa SD berkumpul di alun-alun Pendopo, Jum’at. 2/8/2024 dengan menggunakan kaos bergambar Bupati Nina Agustina.
Siswa SD, tidak akan tahu, tidak akan mengerti mengapa pada Hari Anak Nasional harus memakai kaos bergambar Bupati Nina. Wajah polos siswa SD merasa ceria bisa berkumpul dengan teman-teman yang lainnya, tanpa harus bertanya mengapa harus memakai berkaos Bupati Nina?
Politik Machiavellian atas politisasi PAUD dengan bk cergamnya dan anak SD dengan kaos bergambar Bupati Nina hanya bisa dijelaskan oleh Post-Trut, Orwellian dan politik Gentong Babi-akan diperbaincangkan dalam episode 7-Bupati dan Kepalsuam Empati untuk lebih jelas dan lebih konkretnya.
Kaos yang bergambar Bupati Nina yang dipakai siswa SD pada peringatan Hari Anak Nasional di Taman Alun-Alun Puspa Wangi (TAPW) tersebut merupakan bentuk kampanye terselubung yang dikemas dengan Hari Anak Nasional.
Tujuan Machiavellien agar para orang tua siswa menyimpang ingatan kolektif dalam memorinya untuk kepentingan elektoral Bupati Nina 2 periode pada hari pencoblosan Nopember 2024 nanti, sebelum Bupati Nina harus cuti diluar tanggungan negara paling lambat 24/8/2024, karena jika tidak dilakukan sekarang, akan terhalang, sudah dalam cuti sebagai cabup petahana. Sehingga sulit-tidak leluasa kemungkinannya untuk bisa memainkan TSM atas birokrasi yang dipimpinnya.
Oleh sebab itu, Machiavellian tidak hanya itu, Disdikbud menggelar kegiatan sekolah-siswa SD, MI dan SMP serentak pada Rabu, 15/5/2024 yang dikemas dalam bentuk Olimpiade Olah Raga Siswa Nasional (O2AN), Pestival Lomba Seni Nasional (FLS2N).
Bupati Nina Blusukan ke sekolah-sekolah, dan bahkan mengadakan kegaiatan di luar Disdikbud. Setiap kecamatan dengan kemasan Rangkaian Kegiatan Perlombaan Memperingati Hari Kemerdekaan RI ke-74 tahun 2024 di tingkat Kecamatan Sliyeg, Kamis 9/8/2024 di Lapangan Sepak Bola Desa Sleman Lor; Lomba Baris Berbaris antar Perangkat Desa dan Instansi. Olahraga Rekreasi Masyarakat antar Desa, Instansi dan Guru SD/SLTP/SLTA. Agustusan menjadi momen dan apologi untuk dijadikan kambing hitam atas kepentingan electoral Bupati Nina 2 periode.
Luar biasa dan amat sangat dahsyat, dalam kegiatan apapun dan dalam bentuk apapun seolah-olah menjadi wajib memasang gambar Bupati Nina dalam momen apapun juga, tiada hari tanpa gambar Bupati Nina, di gedung dan pagar sekolah-sekolah, kantor-kantor Dinas, Desa, Kecamatan, bahkan yang non pemerintah setiap peringatan apapun dan kegiatan apapun gambar Bupati Nina selalu menempel-selalu ada dan diada-adakan.
Tiada hari tanpa gambar Bupati Nina, tiada kegiatan yang digelar tanpa gambar Bupati Nina, seperti program INKLUSI (Forum Multi Pihak) yang dibuka resmi oleh Ketua PCNU Kab. Indramayu, K.H. M. Mistofa, di aula lantai 2 Disduk P3A (Nesw Fakta Peristiwa News, 10/8/2024). Haul/Unjungan Buyut Candi Agung Desa Telukangung Indramayu.
Pelantikan PC PMII Indramayu, Masa Khidmat 2024-2025. Dalam pelantikan PC PMII tersebut terpampang gambar Bupati Nina dan Dirut PDAM. Pelantikannya diwakilkan kepada Dirut PDAM yang gelarnya selalu dipajang bagaikan rentengan bledogan pesta hura-hura. Bukankah seharusnya didelegasikan kepada Setda atau Dinas terkait yang ada relevansinya dengan OKP/Ormas. Itu namanya Bupati Karwek (sekehandak udelnya sendiri).
Indramayu dalam genggaman kekuasaan Bupati Nina menyerupai model di negeri Komunis Korea Utara. Setiap warganya harus-wajib memasang gambar pemimpinnya di rumah masing-masing warga, di setiap kegiatan rakyatnya. Jika tidak memasang gambar pemimpinya, warga Korea Utara dikenakan hukuman, dan bahkan hukumannya bisa dilenyapkan, ditembak mati, tanpa bisa ampun dan tak bisa bertanya.
Gambar pemimpin Komunis Korea Utara dalam bentuk patung di di taman terbuka yang dilalui lalu lalang orang pejalan kaki baik turis maupun warganya. Di depan patung para pemimpin komunis tersbut, semua orang yang lewat harus memberi penghormatan, tanpa kecuali para turis yang melintas di depan patung pemimpin Komunis Korea Utara. Jika tidak melakukan penghormatan, dipastikan dihukum, bahkan dihukum mati jika membangkang.
Meski, Bupati Nina belum membuat regulasi wajib memasang gambar dirinya di setiap rumah, tetapi jika melihat fakta konkretnya atas gambar Bupati Nina yang dipasang di manapun adanya, terutama di depan gedung atau pagar kantor-kantor dan di setiap kegaiatan apapun adalah mirip situasi dan kondisi seperti prilaku para pemimpin di negeri Komunis Korea Utara.
Bayangkan, anak-anak SD pada Hari Anak Nasional berkumpul di taman TAPW, harus menggunakan kaos gambar Bupati Nina, Senam Bersama Bupati, Kegiatan apapun harus ada gambar Bupati Nina. Apa bedanya dengan para pemimpin di negeri Komunis Korea Utara, jika seperti itu.
Apa yang dilakukan Bupati Nina dalam kepemimpinanya tersebut merupakan gejala “Narcisstic Personality Disorder?” Ataukah memang sudah menjadi “Narcisstic Personality Disoeder?”.
Masihkah kita tertidur lelap, melihat, membaca dan melakukan pembacaan atas realitas sosial sebagai sebuah fakta konkret, di mana demokrasi tinggal kata-kata, etika dan moral tinggal ucapan yang berbusa-busa dan berapi-api sebagai omong kosong para pemuja kekuasaan-penghamba kekuasaan; buzzer-buzzer, intelektual salon, akademisi kaleng, ustadz-kyai-ulama, di mana amplop-amplop yang bicara. Sungguh mengerikan di negeri adakadabra-negeri soak. ***
Singaraja, 11.8.2024.
Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com