Indramayu butuh pemimpin, bukan penguasa. Begitulah bunyi slogan yang kini menipu dan atau pemperdaya kebijakan publik, dan mengacak-acak APBD untuk kepentingan politik mersuar ambisius politiknya, dan untuk ambusiusnya maju lagi menjadi 2 periode. Kemudian, modal yang dipamerkan adalah berupa piagam penghargaan, yang sesungguhnya mengada adalah pemerintahan fatamorgana dengan potret Kembang Gayong dalam tata kelola birokrasi dan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah).
Kebijakan Bupati, nyaris semua kebijakan publiknya menabrak konstitusi; peraturan perundang-undangan berikut regulasi turunannya.
Dalam menabrak regulasi tersebut, bukanlah karena tidak disadarinya, tetapi, hal ini sungguh disadarinya, karena menempatkan dirinya Petruk Menjadi Raja dan atau karena libido kekuasaannya yang memegang pameo: siapa saya, siapa yang berani saya, siapa yang berkuasa, siapa yang menjadi bandar kekuasaanya, dan seterusnya.
Kebijakan mem-Plt-kan banyak jabatan strategis tanpa rasionalitas, dan memang itu menjadi kesengajaan, melainkan hanya karena siapa yang berani mengusik-usik kebijakan otoritariannya.
Semua dibikin lumpuh tidak berdaya, apalagi mentalitas ASN (Aparatur Sipil Negara) yang kini nyaris telah menjadi ASP/K (Aparatur Sipil Penguasa/Kekuasaan), mentalitas penghamba kekuasaan.
Pun Pemerintah Pusat apalagi Pemerintah Provinsi sama sekali tidak berani menegur, memberi warning apalagi memberikan sanksi terhadap Bupati atas kebijakannya yang dengan sengaja peraturan perundang-undangan dilanggarnya.
Begitu juga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (sangat) ketakutan untuk menjalankan fungsi watchdog-nya apalagi untuk menjalankan amanat UU dengan mengajukan Hak Angket dan Hak Pemakzulan, padahal, nyata-nyata kebijakannya sengaja melanggar regulasi. Legislatif dibuat lumpuh, karena menjadi senjata makan tuan, yang kartu trup dominanya di tangan Bupati.
Kedigjayaan itulah yang menjadi realitas empirik sebagai sebuah fakta pemerintahan di tangan Bupati Hj. Nina Agustina Dai Bachtiar, S.H, M,H, CRA.
Tempo hari, Drs. Rinto Waluyo, MPd masih menjabat Sekda dilantik menjadi Dewas (Dewan Pengawas) PDAM. Kini, Bupati melantik H. Ari Risdianto, AP, M.Si menjadi Dewas PDAM, dimana Ari Risdianto masih memegang jabatan strategis sebagai Inspektur Inspektorat Kab. Indramayu.
Rangkap jabatan dan pem-Plt-an menjadi kebijakan yang dianut, rupanya bentuk ber-tut wuri dan atau berguru pada sistem kekuasaan di atasnya, sekarang ini.
Lantas ada pertanyaan yang tak perlu kita jelaskan, karena mencerminkan kedungan dalam menyoal dan memberikan menyoal yang berselimut bantahan, yaitu, memangnya jadi muridnya, kapan jadi muridnya?
Kedunguan itu kita bisa jelaskan dengan pendek kalimat, yaitu karena tidak mau belajar sosiologi kekuasaan, sehingga mengertinya jika dikatakan mengikuti gurunya, harus secara pisikli bertatap muka seperti sekolah formal.
Kedunguan berikutnya juga terjadi, bukankah mem-Plt-kan jabatan strategis pada OPD/SKPD dan pengangkatan Dewas, Komisaris dan Jajaran Direksi BUMD itu merupakan hak prerogatif Bupati?
Jika Bupati maunya bahwa hak prerogatif itu menjadi hak absolut, ya jadi Tuhan saja, karena hak prerogatif absolut tersebut hanya milik Tuhan semata di negeri demokrasi.
Atau jika maunya hak prerogatif itu menjadi absolut, ya harus merubah negara demokrasi dan hukum menjadi negeri Fasis dan atau Komunis, sehingga kekuasaan menjadi absolut.
Di negeri Fasis dan atau Komunis, kedaulatan adalah absolut di tangan kekuasaan dan atau penguasa.
Di negeri demokrasi, kedaulatan bukanlah menjadi absolut di tangan penguasa dan atau kekuasaan. Ada persoalan ketatanegaraan dalam menjalankan birokrasi atau pemerintahan, dan dalam pengambilan kebijakan publik. Bukan seenak udelnya sendiri dengan modal kekuasaan yang dipegangnya.
Dalam persoalan pelantikan dan pengangkatan Dewas, Komisaris dan Jajaran Direksi BUMD, ada regulasi yang mengikat dalam kebijakan, dan itu harus dan atau wajib dipatuhi oleh Bupati untuk pelaksanaannya.
Dalam pengangkatan Dewas, Komisaris dan Direksi, Bupati tidak bisa menjadi Cowboy seperti dalam film, ibaratnya satu pelor, dua tiga kepala tersungkur.
PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD, Pasal 39 menegaskan aturan dan ketentuan yang harus diberlakukan, yaitu harus melalui seleksi terbuka, rekruitmen terbuka yang harus dipublikasikan ke publik, bukan dalam ruang yang gelap dan tertutup.
Begitu juga dengan penembatan jabatan strategis karier ASN, regulasi menegaskan harus dilakukan seleksi, dengan uji kompetensi, yang di birokrasi Indramayu dikenal dengan open bidding namanya.
Jadi dan atau sehingga, pelantikan dan atau pengangkatan Rinto Waluyo dan Ari Risdianto sebagai Dewas PDAM adalah dengan sengaja menabrak dan atau melanggar regulasi; PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan UU Tipikor.
Yang menarik bagi kita adalah adalah Rinto Waluyo yang waktu itu masih menjadi Sekda dan kini Ari Risdianto yang Inspektur Inspektorat, yang seharus jauh lebih paham dan mengerti peraturan perundang-undangan ketimbang yang menjadi Bupati, justru mau saja dan atau (sangat mungkin) menjadi kebanggan tersendiri menjadi Dewas dan atau rangkap jabatan tersebut, yang seharusnya jika masih punya logika dan akal waras, jabatan Dewas yang dipegangnya yang melanggar regulasi tersebut ditolaknya, karena masih memiliki kewarasan mental dan berpikir. Tapi, apa yang menjadi realitas empirik sebagai fakta adalah sebaliknya, diterima dengan ceria dan senyuman.
Apakah Rinto Waluyo sebagai Sekda saat itu, dan Ari Risdianto sebagai Inspektur Inspektorat telah mengingatkan dan atau menjelaskan kepada Bupati, bahwa kebijakannya itu melanggar regulasi. Ataukah tidak berani, karena mentalitasnya penghamba kekuasaan. Ataukah memang, inikah potret kesungsangan bangsa dan negara kini. ***
Penulis adalah Penyair, Peneliti dan Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD), accountant Freelance, tinggal di Singaraja, Kontak: 081931164563, e-mail:Â jurnalepkspd@gmail.com