Oleh O’ushj.dialambaqa*)
Menjadi fenomena menarik obrolan di warung kopi pinggiran, dan akhirnya menjadi gayung bersambut netizen di dunia maya (medsos) menjelang Pilbup November 2024 dengan maju laginya Bupati Nina untuk 2 periode.
Obrolan kongkow-kongkow tersebut belum tentu menjadi keniscayaan dalam realitas sosial politiknya nanti. Karena, kita mempunyai akar tradisi dan budaya ‘pager doyong apa gebrage’ (bergantung pada angin yang bertiup kencang, kekuasaan) sebagai wong cilik dalam memaknai tadir.
Tradisi dan budaya pager doyong apa gebrage, akan dimanfaatkan arus angin Machiavellian Politics, Orwellian Politics, dan Money Politics (politik transaksional-uang) yang dibungkus dalam Post-Truth Politics dan Pork Barrel Politics.
Bisa jadi akan menjadi keniscayaan, jika kita berani keluar dari arus tradisi dan budaya tersebut, atau berani mempertimbangkan ulang tradisi dan budaya buruk tersebut, sehingga tidak terus mengulang ke luar dai mulat buaya, masuk ke mulut harimau. Pasti lebih sakit dan menyakitkan.
Budaya pager doyong apa gebrabe adalah sikap pasrah-waluh; berserah pada situasi dan kondisi yang meng-ada karena sebagai wong cilik-tak berdaya, tanpa mau berupaya-berkhitiar berselancar dalam permainan ombak dan gelombang dalam situasi dan kondisi (sikon), untuk membendung dan atau melawan arus kencang tersebut.
Tentu, jika kita hendak menginginkan perubahan konstruk sosial atas takdir sosial yang meng-ada. Suka tidak suka, sikon memaksanya seperti itu. Panggilan sejarah dan zaman kembali memanggil kita semua, dan itu akan menjadi keniscayaan yang tak akan terbantahkan.
Budaya pager doyong apa gebrage juga merupakan konstruk sosial melenyapnya integritas dan idealisme, ketika harus berhadapan dengan suatu realitas sosial pragatism yang meng-ada. Pilihan yang harus diambil adalah sangat amat pahit. Lagi-lagi, karena sikon takdir sosial yang meng-ada saat ini.
Meski begitu, tetap menarik obrolan warung kopi pinggiran, dan satire nitezen di medsos yang menggunakan diksi (kata) ‘ASBUN’. Kata ‘asbun’ sesungguhnya telah familiar di telinga kita, yaitu, ‘asal bunyi’ atau asal nyeplos, karena ‘dakkir’ (dadak mikir) yang tidak dituntun logika dan akal waras akademik.
Asbun dalam artian tersebut, ternyata meleset apa yang kita pahami dalam makna kata asbun tersebut, karena ada makna atau tafsir lain dari akronim tersebut, yaitu, asbun adalah asal bukan Nina. Artinya, Bupatinya asal bukan Nina Agustina Dai Bachtiar sebagai rezim berikutnya. Tentu, menjadi sangat menarik untuk kita bongkar sebab musababnya, asbabul nuzulnya apa, mengapa dan bagaimana bisa melahirkan asbun yang dimaksud.
Sekalipun meleset, tetapi, Bupati asbun; asal bunyi-asal nyeplos tersebut merupakan fakta realitas yang konkret. Hal tersebut bisa kita konkretkan dengan sederet atau segudang faktanya, antara lain, dalam Webinar KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Bupati Nina sebagai salah satu nara sumber dari para Kepala Daerah yang menjadi nara sumber dalam memperingati hari antikorupsi sedunia 2022, Selasa, 6/12/2022, ketika ditanya sistem karier dan manajemen ASN (Aparatur Sipil Negara) dalam pemerintahannya, jawabnya asbun, merit system.
Mengklaim telah menerapkan merit system. Padahal dalam fakta konkretnya, sistem merit tidak diberlakukan dan atau tidak bisa diterapkan dalam karier, kinerja dan manajemen ASN dalam pemeritahan kepemimpinannya.
Dalam tik tok ajakan pulang kampung, mengatakan, udah lama ngerantau, gitu-gitu aja, pulang dong ke Indramayu, chuuuaaannn (dengan ekspresi meng-olok-olok, meledek, menghinakan). Fakta konkretnya, Bupati tidak mampu menciptakan lapangan kerja bagi perantau jika pulang kampung. Bagaimana mau bisa dapat chuan untuk menghidupi keluarganya. Pulang kampung beresiko menjadi gelandangan-pengangguran, karena sulitnya mendapatkan pekerjaan. Jika pun ada harus menggunakan jalur (K)KN (Kolusi dan Nepotisme).
Bupati asbun; asal bunyi, asal nyeplos, asal nyeplak, mengklaim sudah masuk 9 investor dengan nilai investasi +/- 5 triliun. Itu asbun, karena 8 investor tersbut klaim rezim sebelumnya, yang hingga sekarang masih tahap MoU atau penjajakan atau kaji ulang investasi oleh investor, karena investor dalam investasinya butuh rasa nyaman, rasa aman.
Fakta konkretnya, yang tejadi rasa tidak nyaman dan rasa tidak aman, karena banyaknya para pemalak dari berbagai kalangan, formal dan non formal. Jadi hanya 1 investor, klaimnya setahun yang lalu, konon dari Jerman untuk soal Sampah Pecuk, yang kini cuma kabar burung, karena baru tahap riset yang belum tentu juntrungannya.
Asbun; asal bunyi, asal nyeplos dan asal nyeplak tersebut dipertontonkan Bupati Nina, pabrik sepatu investor Korea Selatan menyerap 15.000 tenaga kerja, dan diklaim asbun sebagai upayanya menarik investor. Padahal, investasi yang mangkrak hingga saat ini adalah masuk sebelum rezim tiran-Bupati Nina. Mangkrak karena tidak ada jaminan rasa nyaman dan aman untuk berinvestasi. Maraknya para pemalak, dan dilakukan pembiaran oleh rezim tiran-Bupati Nina Agustina.
Dalam forum Asia Pasifik dengan tajuk: Perlindungan Hak Azasi ManusiaTerhadap Pekerja Migran (PMI) se-Asia Pasifik di Semarang-Jateng, Rabu, 17/11/2021 yang digelar oleh UCLG ASPAC (The United Cities and Local United Nations Advisory di bawah PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), dihadiri delegasi Afrika, Nepal, Philipina dan lainnya, Bupati ditanya bagaimana perlindungan HAM terhadap para PMI-TKW? Jawabnya asal bunyi, asal nyeplos, asal nyeplak saja, yaitu, dengan program Peri (Perempuan Berdikari) dan Kruwcil (Kredit Warung Kecil). Sangat memalukan dan menyedihkan. Bupatiku Sayang, Bupatiku Malang Nian.
Angka stunting turun 50% dari 29.5% (2020) menjadi 14,5% (2021) dalam waktu 2 tahunan. Bukankah itu asal bunyi, asal nyeplos, asal nyeplak. Pakai teori omong kosong si tukang jual obat di trotoar jalanan. Jika stunting bisa diselasaikan dengan setahun atau dua tahunan saja, itu namanya bukan stunting, tetapi busung lapar.
Data penurunan stunting 50% dari 2019-2021; 29,19% menjadi 14,4%, ternyata adalah hasil survei dari Studi Status Gigi Indonesia-Institut Agama Islam AL-Zaytun Indonesia (IAI AL-AZIS) dijadikan basis data Bupati-Kominfo untuk melakukan pembenaran (journal-yrpipku.com, The Role of Local Government in Overcoming Bad Nutrition In Indramayu District yang dilakukan oleh Abdur Rahim, Ma’muri, Rafi Darussalam, Yasmin Ramadhanti, Tohari, Institut Agama Islam Al-Zaytun Indonesia (IAI AL-AZIS).
Hasil surveinya yang konon ilmiah itu, ternyata jungkir balik dan molak malik. Kejungkir-balikan metodologi akademik tersebut, karena data sekunder dijadikan basis utama, menggantikan data primer. Tidak hanya itu, data sekunder main telan saja, tanpa pembacaan kritis yang dipersayaratkan kepada peneliti akademik-ilmiah.
Jika seperti itu, dipastikan tidak melakukan pengujian terbalik untuk menjawab apakah data tersebut sudah benar atau manipulatif atau window dressing, apakah itu yang dimaksud dengan data primer, dan apakah data sekunder bisa disebut sebagai data primer dalam metodologi akademik. Sehingga, hanya menghasilkan kekacauan dan kesesatan semata.
Sungguh memilukan dan memalukan atas nama survei akademik yang dielu-elukan Bupati Nina-Kominfo sebagai pembenaran atas keberhasilannya menurunkan angka stunting seperti tukang sulap. Lantas dibikin rilis media dan disebarluaskan. Padahal itu kata Orwellian Politics, Post-Truht Politik adalah memproduksi hoax dan menyebarkan hoax.
Mari kita telaah dengan cermat, betapa jungkir mbalik dan molak malik data yang konon hasil survei ilmiah yang dijadikan dasar-basis klaim Bupati-Kominfo. Data stunting 2019-2020 sebesar 29,19% . menjadi 14,4%, turun 50% pada 2021. Data stunting 2022: 21,1% , pada 2023: 18,4%, stunting turun 3,7% dalam waktu setahun. Lucu dan menggelikan sebagai survei ilimiah-akademik. Di mana lucu dan menggelikannya.
Survei akademik yang molak malik dan jungkir balik tersebut bisa kita baca, yaitu angka stunting pada tahun 2021 adalah 14,4%, dan tahun 2022 menjadi 21,1%, berarti menunjukkan angka kenaikkan stunting, yaitu sebesar 6,7%. Angka stunting 2022: 21,1% menjadi 18,4% pada tahun 2023, angka penurunan sebesar 2,7%.
Angka kenaikkan stunting dalam setahun 6,7%, dan dalam waktu setahun berikutnya bisa turun sebesar 2,7%. Tidak amat sangat rasional, dan sulit bisa diterima logika dan akal waras yang dituntun metodologi akademik.
Kesimpulan survei, tidak menjelaskan indikator atau variabel kenaikkan tersebut dikarenakan apa dan disebabkan apa. Begitu juga angka penurunannya, disebabkan apa, kecuali dikatakan bahwa stunting akibat gizi buruk. Penjelasan gizi buruk pun menggantung, tidak menyebutkan faktor penyebab dan atau sebab akibatnya.
Apakah adanya makan tambahan itu penyebabnya? Lantas apakah makanan-suplemen yang dibagikan lewat Puskesmas atau posyandu itu berapa kali seminggu, apa tiap hari, dan menu makanan tambahan seperti apa? Akhirnya hasil survei menjadi ngawur dan jungkir balik, meski mengklaim ilmiah-akademik. Penjelasannya hanya mengedepankan program Bupati Nina, sehingga sangat mudah terbaca seperi survei ABS (Asal Bisa Senang) atau secara ekrim dikatakan by order by design, meski itu jika inisiatif surveyernya.
Hasil survei yang jungkir balik, dan molak malik juga kita bisa baca di journal-yrpipku.com, The Role of Local Government in Overcoming Bad Nutrition In Indramayu District yang dilakukan oleh Abdur Rahim, Ma’muri, Rafi Darussalam, Yasmin Ramadhanti, Tohari, Institut Agama Islam Al-Zaytun Indonesia (IAI AL-AZIS), tentang angka lelahiran bayi sebanyak 30,054 bayi dan bayi yang lahir tersebut telah mendapatkan pelayanan kesehatan atas program Bupati Nina sebayak 30.330 bayi terlahir.
Untuk lebih jelasnya, kita kutipkan kesinupulan surveinya. Cakupann dan Pelayanan bayi. Pelayanan kesehatan untuk bayi baru lahir merupakan salah satu program kesehatan anak yang bertujuan untuk menjamin kelangsung dalam hidup, tumbuh kembang anak secara optimal dan perlindungan khusus dari kekerasan dan diskriminasi. Jumlah bayi baru lahir sebanyak 30.054 jiwa dan yang mendapat pelayanan kesehatan sebanyak 30.330 (Ibid).
Cakupan Desa/Kelurahan “Universal Child Immunization” (UCI) Desa/kelurahaln UCI (Universal Child Immunizaltion) adalah desa atau kelurahan dimana 80% dari jumlah bayi yang ada di desa/kelurahan tersebut sudah mendapat imunisasi dasar lengkap pada kurun waktu tertentu.
Tahun 2020, dari 317 desa/kelurahan terdapat 303 atau 95,6 % desa yang telah mencapai UCI. Cakupan dan Status Gizi Balita. Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U (Berat Badan per Umur), TB/U (Tinggi Badan per Umur), dan BB/TB (Brat Badan per Tinggi Badan) baku) diberlakukan mulaii tahun 2000 (Ibid).
Yang lucu sekaligus memalukan, yaitu, sebanyak 30.330 bayi terlahir. Kok, angka yang terlayani atau telah mendapatkan layanan fasilitas kesehatan justru lebih banyak. Bayi siapakah itu, dan bayi dari mana? Bayi gandaruwokah atau bayi kuntilanakkah atau bayi makhluk astral yang jumlahnya sebanyak 276 bayi (30.330-30.054=276 bayi) bayi yang terlahir. Yang lebih fatal dalam kurun waktu setahun, tidak ada angka kematian bayi-NOL, sehat semua. Jelas ngawurnya.
Survei hanya berkesimpulan bahwa stunting karena gizi buruk pada saat bayi membutuhkan tumbuh kembang. Konklusi tersebut tak lebih dari kesimpulan pembicaraan di pasar kelontong. Pertanyaan akademiknya, gizi buruk atau kurang gizi tersebut diakibatkan oleh sebab apa, apakah orang tua karena miskin, sehingga tidak bisa beli makanan bergizi untuk kepentingan pemenuhan nutrisi bayinya yang diukur mulai dari usia 1 tahun-balita. Apakah untuk makanan bergizi tersebut harus daging-sapi-kambing-unta-kuda, buaya, tikus dan seterusnya, dan apakah harus minum susu sapi, kuda, unta dan seterusnya? Tidak ada penjelasan.
Survei ini menjadi jungkir balik dan menyesatkan, karena secara metodologi akademik berantakan. Sungguh teramat berbahaya jika dipakai sebagai dasar pengambilan kebijakan mengatasi stunting. Lain ceritanya, jika problem stunting hanya sebagai proyek ekonomi perut kekuasaan dari APBD/APBN, karena itu akan menjadi tanpa berkesudahan.
Problematika utamanya stunting adalah pengetahuan orang tua yang buruk terhadap gizi dan kebutuhan gizi anak, yang menyebabkan terjadinya stunting. Problem utama stunting adalah persoalan keterlambatan berfikir atau keterlambatan perkembangan otak-kognitif, sehingga berakibat IQ anak di bawah Simpanse. Berbahaya dan bencana bagi hari depan bangsa dan negara.
Persoalan stunting, bukan problem utamanya pada tinggi dan berat badan anak. Jika targetnya untuk menjadi petinju, pemain bola atau atlit lainnya, benar harus diukur dari perkembangan tinggi dan berat badannya sejalan dengan usia balita.
Riset ilmiah-akademik hingga kini, belum ada yang bisa berkesimpulan bahwa tinggi badan bisa dikatrol dalam waktu relatif singkat setahun atau dua tahun bisa 15cm, karena pertumbuhan meninggi (tinggi) dan melebar pada anak pada usia pertumbuhan, membutuhkan waktu relatif lama.
Memang benar sangat bergantung pada kecukupan akan gizi dalam masa pertumbuhan. Tetapi, jika pun sehari makan daging sekilo dan minum susu sehari seliter, itu bukan ukuran pemenuhan gizi yang baik, tetap akan menjadi implikasi gizi buruk terhadap proses metabolisma tubuh. Di sinilah problem pengetahuan gizi untuk persoalan stunting.
Belum ada hasil riset ilmiah akademik di manapun, yang berkesimpulan bahwa tingga badan setahun bisa mencapai 5 sem atau 10 cm/bulan/tahun. Itu namanya asbun; asal bunyi, asal nyeplos dan asal nyeplak. Jika parametenya r tinggi dan berat badan, adalah parameter yang dipakai pada era Orla dan Orba untuk persoalan Busung Lapar yang terjadi nyaris di semua desa. Bukan parameter mengatasi stunting.
Akan tetapi, karena persoalan stunting sudah menjad brand proyek sosial ekonomi, pasti tanpa kesudahan, tak ada ujung pangkalnya dalam mengatasi persoalan itu. Persoalan stunting hanya berkutat pada persoalan tinggi dan berat badan anak balita saja. lagi-lagi, ini soal proyek yang ujung-ujungnya hanya untuk perut kekuasaan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Bupati abun; asal bunyi, asal nyeplos dan asal nyeplak, pada pelantikan perpanjangan masa jabatan Kuwu, Bupati asal bunyi, asal nyeplos, asal nyeplak, bahwa Kuwu harus bisa mengentaskan kemiskinan. Begitu juga, pada pengkuhan Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat (IPSM) periode 2024-2029, Rabu, 24/7/2024, juga asal bunyi, asal nyeplos.
IPSM berkedudukan di Desa dan kelurahan. Bupati mengatakan, harus kompak, solid, kita hapuskan kemiskinan ekstrim. Bukankah itu Bupati asal bunyi, asal nyeplos, karena yang punya otoritas kebijakan bukan Kuwu, dan pula IPSM.
Sungguh naif rasionalitasnya, bagaimana IPSM bisa mau mencatat dengan benar dan jujur, karena posisinya sebagai relawan (kata Bupati Nina lho), mitra kerja pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama dalam memberikan (penyaluran) bantuan sosial untuk masyarakat miskin, dan dalam melayani problem sosial masyarakatnya.
Pengentasan kemiskinan, varibelnya tidak tunggal, antara lain, yaitu, pemerintahan yang tidak korup, kebijakannya waras, pertumbuhan ekonomi, IPM (Indeks Pembangunan Manusia; Pendidikan, kesehatan dan daya beli), budaya dan etos kerja, dan konstruk sosial masyarakatnya.
Problema kita adalah ada kemiskinan absolut dan kemsikinan struktural. Bahkan kemiskinan diklasifikasikan menjadi kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Di luar kemiskinan kultural, sesungguhnya diciptakan dan atau dibuat oleh pemerintah-penguasa dengan berbagai kebijakan yang tidak waras, “soak”, seperti yang terjadi di kita (Indramayu).
Bahkan kemiskinan kulturalpun jika Negaranya tidak “SOAK” bisa dientaskan. Ini yang menjadi berkelindan adalah dalam penyelesaian problematikanya berorientasi proyek. Problem utama kita semua masalah menjadi proyek, diproyekkan.
Mengatasi masalah dengan masalah baru yang lebih komplek akhirnya, karena berkelindan mata rantai ikatan molekul-molekul proyek ekenomi perut kekuasaan-ber-KKN, apalagi Presiden terpilih Prabowo dengan program makan siang gratis-diralat menjadi makan pagi-sarapan pagi gartis. Pasti dari Sabang sampai Meuroke ber-KKN ria.
Indramayu adalah daerah termiskin se-Jawa Barat dengan angka kemiskinannya adalah 12,13%. Bupatinya terkaya se-Jawa Barat (AYO BANDUNG.COM, Senin, 22/7/2024.05:39 WIB: Kabupaten Ini Termiskin di Jawa Barat, Tapi Dipimpin Oleh Bupati Terkaya Se-Jabar Daerahmu?). Patut kita stabilo bahwa angka kemiskinan berdasarkan data bansos (bantuan sosial) adalah 40%, dalam kategori-klaster warga miskin. .
Jika kita merujuk pada kriteria dan parameter apa yang dikategorikan miskin yang dibuat pemerintah (BPS), adalah warga yang belum (tidak) memiliki ketersediaan sanitasi, ketersediaan air bersih dan listrik, angka kemiskinannya tidak lari dari angka kemiskinan berdasarkan data bansos. Jadi jauh melampaui 12,13% yang digembar-gemborkan Bupati asbun, yang mengklaim berhasil menurunkan angka kemiskinan.
Jadi Bupati asal bunyi, asal nyeplos dan asal nyeplak, dan kata Post-Truth Politics dan Orwellian Politics, itu namanya memproduksi hoax dan menyebarkan hoa, karena berita rilisnya dimuat berbagai media, dan hadir di ruang publik.
Bupati asbun; asal bunyi, asal nyeplos, asal nyeplak juga mengklaim 61 desa sebagai-kategori desa mandiri, 198 desa sebagai desa maju dan desa berkembang sebanyak 50 desa. Program unggulan Le-dig (Lebu Digital) adalah sebagai pemantik dan pendorong pertumbuhan ekonomi berbasis digital. Bupati dianugerahi Piagam Penghargaan oleh Menteri Desa. Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) RI
Bupati asbu, tampaknya piawai dalam perburuan piagam penghargaan dari lemabaga manapun juga-negara maupun lembaga non negara. Rupanya para pencetak piagam peghargaan tersebut hanya bersandar pada pada bacaan dan pembacaan proposal ansich. Tidak mau menguji ulang untuk pembuktian atas kebenarannya apa ada dalam proposal yang dibacanya begitu merdu dan perfect.
Bisa dicek dan diuji kebenarannya, apakah benar bahwa Le-Dig dan atau dalam pemerintahan Bupati Nina telah menerapkan SPBE (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik)? Proposal untuk berburu piagam penghargaan, itu benar dan betul, tetapi itu asbun (asal bunyi, asal nyeplos dan asal nyeplak).
Dalam fakta konkretnya, program unggulan Le-Dig, desa hanya berfungsi sebagai pembuat surat jalan bagi warganya yang hendak melakukan perjalanan jauh-merantau atau hanya seder berfungsi menrbitkan surat keternagan domisili bagi warganya, yang prosesnya bisa melalui online.
Yang demikian itu, juga hanya terbatas beberapa desa saja yang sudah melakukan itu. Apalagi di tingkat pemerintahan desa. Di lingkungan antarSKPD saja tidak berbasis SPBE. Itu bisa dicek, apakah data pendidikan bisa konek dengan SPKPD terkait, dan seterusnya, apalagi untuk bisa diakses publik atas dasar SPBE, itu omong kosong. Tong Kosong Nyaring Bunyinya-Bupati asbun.
Bupati Nina memang piawai dalam perburuan segudang penghargaan, dan harus dimaknai dalam artian piawai dalam mengendalikan lembaga-lembaga penerbit piagam penghargaan, karena tidak semua Kepala Daerah bisa melakukan itu. Lembaga-lembaga memberi penghargaan akhirnya turut serta memproduksi hoax dan menyebarkan hoax, yang dipakai sebagai politik pencitraan-politik mersusuar Bupati Nina.
Ekstistensi IPMS bentukan rezim penguasa tersebut, tidak menjadi buzzer atau tidak menjadi pemuja kekuasaan-penghamba kekuasaan saja sudah sangat luar biasa jika itu bisa. Karena itu mempertaruhkan integritas, idealisme, moral, etika, logika dan akal waras.
Sehingga, akan jatuh ke dalam by design dan by order sebagai juru bicara penguasa. Sebagai relawan kekuasaan, maka eksistensi IPSM akan tanpa esensi. Eksistensi mendahului esensei. Bukan karena berfikir menjadi ada, tapi ada tanpa berpikir, kata Descrates.
Bupati bersama 31 Camat studi banding ke Serang-Banten, sekembalinya dari tudi banding, sekedar menghambur-hamburkan APBD, dan mengatakan, dengan bibit padi varietas trisakti, 1 ha menghasilkan 20 ton GKG. Bukankah Bupati Nina itu asbun; asal bunyi, asal nyeplos, asal nyeplak saja. Begitu juga klaimnya. bahwa produksi padi di Indramayu 1 ha menghasilkan 10 ton GKG, sebagai lumbung padi nasional, produksi padi terbesar nasional, tanpa membandingkan luas lahan sawah yang ada di daerah (kabupaten/kota) lainnya.
Bagaimana mungkin, dan teramat sungguh naif, bisa memproduksi 10 ton-20 ton/ha dengan bibit padi varietas apapun, jika infrastruktur pertaniannya seperti sekarang. Belum lagi kelangkaan pupuk dan kelangkaan ketersediaan air, dan bahkan kebanjiran lantaran hujan terus menerus. Serangan penyakit dan hama, seperti tikus, burung, sundep, pembengkakan akar dan werang dan lainnya.
Belum lagi persoalan sudah berpuluh-puluh tahun suplai nitrogen tanpa kendali, sehingga kondisi tanah atau lahan sudah abnormal, C-organik, mineral dan oksigen dan unsur hara sudah sangat abnormal, minus dari standar normal kesuburan tanah. Bupati hanya tong kosong nyaring bunyinya, asbun.
Bupati asbun, yang berarti asal bunyi, asal nyeplos, asal nyeplak yang kita berikan beberapa fakta konkret tersebut, ternyata tidak hanya itu maksudnya, sehingga kita perlu menyandingkan dan menganalisi ‘ASBUN’ dalam konteks baliho yeng bertuliskan Tolak 2 Periuode. #2024 Ganti Bupati Maning, dengan benang merahnya perbincangan di warung-warung kopi pinggiran.
Lantas, apa relasinya juga dengan baliho yang belum seumur jagun dpasang sudah dirobek atau dilenyapkan? Sekitar baru 2 harian dipasang di samping Asrma Polisi Cimanuk, jalan Petiken Kepandean, sudah dirobek, sudah dilenyapkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Perobekan-pelenyapan baliho tersebut juga terjadi ditempat-tempat lainnya.
Meski yang kita sebut dengan orang-orang yang tidak bertannggung jawab, menurut semiotika dan hermetika, sesungguhnya, ada yang bertanggung jawab, yakni, kakak pembina dan tim pengarah yang tsm (terstruktur, sistematik dan masif). Tindakan tak bertanggung jawab itu dilakukan dengan merayap dalam senyap, karena baliho tersebut sempat menjadi perhatian publik dan atau plototan mata publik.
Semiotika dan hermetika memberikan penjelasan kepada kita, ternyata benang merahnya adalah Tolak 2 Periode #2024 Ganti Bupati Maning, berelasi dengan kata ‘Asbun’, yaitu, Asal Bukan Nina atau Asal Bupatinya Bukan Nina. Cukup sekali saja.
Di sinilah letak, dirobek-dilenayapkannya baliho tersebut, karena mengancam elektabilitas elektoral Bupati Nina untuk bisa 2 periode dalam genggaman kekuasaannya. Tentu sangat menarik fenoema sosial politik sebagai studi sosiologi politik kekuasaan-kekuasaan politik. Persoalannya tidak berhenti di situ, karena masih ada lanjutan pertanyaan yang musti harus dijawab dengan logika dan akal waras dengan melakukan analisis psikologi massa, psiko analisis.
Kembali pada obrolan kongkow-kongkow warung kopi pinggiran dan gayung bersambut di dunia maya, minimal bisa kita tarik benang merahnya, meski bukan hal yang absolut sebagai representasi psikologi massa yang tingkat emosionalitasnya sangat amat dipengaruhi banyak variabel, sehingga bisa sekejap berubah-ubah.
Jika kita melakukan pembacaan pada Tolak 2 Periode #2024 Ganti Bupati Maning, ternyata mempunyai historis empiris, yaitu rezim sebelumnya telah melahirkan tirani kekuasaan sebagai monster yang menakutkan, premanisme membarikade kekuasaan dan korupsi jor-joran. Arogansi kekuasaan dipertontonkan, yang akhirnya melahirkan. kemuakkan publik. Melahirkan respon psikologi publik dengan #2020 Ganti Bupati atas rezim tiran sebelumnya, rezim sebelum Bupati Nina.
Jadi jika kita bongkar psikologi publik atas Tolak 2 Periode #2024 Ganti Bupati Maning. Kata ‘maning’ berarti lahir dari historis-sejarah yang berulang. Kata ‘maning’ sinonim dengan kata ‘lagi’. Jadi Tolak 2 Periode #2024 Ganti Bupati Lagi, supaya yang mengerti bukan hanya warga Indramayu ansich.
Tolak 2 Periode #2024 Ganti Bupati Maning, mencoba memelekan mata yang telah menjadi buta melihat fakta yang menjadi realitas konkret sosial politik. Tolak 2 Periode #2024 Ganti Bupati Maning merupakan historis empirik yang pahit, yaitu, upaya keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau. Lebih sakit dan lebih menyakitkan.
Kekecewaan itu pasti menjadi keniscayaan, karena itu fakta konkret sebagai realitas yang tak bisa terbantahkan, karena Bupati Nina tidak hadir sebagai pemimpin, melainkan hadir sebagai penguasa yang tiran, pemerintahan yang otoritarian, kekuasaan yang otoritarian. Fakta konkret tersebut tak terbantahkan dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya kekuasaannya.
Bupati Asbun; Bupati Asal Bukan Nina merupakan simbolik, representasi atas baliho Tolak 2 Periode #2024 Ganti Bupati Maning. Bupati Asbun; Bupati Asal Bukan Nina, merupakan bacaan dari munculnya kesadaran kolektif sosial dalam melakukan pembacaan atas kepemimpinan Bupati Nina yang “karwek” (sesuka hatinya, sesuka udelnya sendiri) yang nyaris semua kebijakannya melanggar kosntitusi, peraturan perundang-undangan dan atau regulasi lainnya, bahkan menjadi otoritarian.
Tidak hanya itu, kesadaran kolektof sosial yang meng-ada, Bupati Nina telah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya; Machiavellian Politics, disempurnakan dengan Orwellian Politic, Post-Truth Politics dan Pork Barrel Politics. Fakta konkret tersebut, tidak bisa terbantahkan lagi.
Yang sangat mencolok adalah kepalsuan empati, kepedulian, yang tahun-tahun sebelumnya cuek bebek (tidak mempedulikannya), mengunjungi sekolah-sekolah, membagikan sepatu seolah-olah atas empati dan kemurahan hatinya, padahal bebannya harus ditanggung ASN. Ke puskesmas puskesma-stunting dengan makanan tambahan, padahal ASN yang harus menanggungnya. Senam sehat bersama, blusukan ke desa-desa, dan seterusnya. Tiba-tiba dilakukan program peningkatan kapasitas, antara lain, para Kuwu, RT/RW, Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD) se-Kabupaten, dan seterusnya. Itu semua adalah Machiavellian Politics dan Pork Barrel Politics dalam konteks Orwellian Politics dan Post-Truth Politics yang benar-benar nyata sebagai fakta konkret. .
Bupati asbun; Bupati Asal Bukan Nina merepresentasikan bacaan dalam pembacaan Machiavellian, Orwellian, Post-Truth dan Pork Barrel menjadi keniscayaan diproduksinya hoax, untuk menyamarkan sesuatu dengan melakukan pembenaran-pembenaran, dan berulang-ulang dilakukan dalam pembiasan.
Kata Orwellian, hoax diproduksi karena penguasa harus menggonta-ganti catatan setiap waktu untuk menyamarkan fakta konkret kebijakannya yang bobrok. Kata Post-Truth, penguasa harus menyamarkan ketidak-benaran dengan melakukan pembenaran-pembenaran, sehingga menggonta-ganti catatan sebagai pembiasan, meski itu disadarinya bahwa itu hoax yang diproduksinya, agar legitimasi kekuasaan tidak jatuh. Maka perlu menggonta-ganti catatan dalam statemen rilisnya.
Tidak hanya itu, sekaligus juga menjadi penanda di balik teks yang bicara, yaitu, kemuakkan atas rezim tiran sekarang, yang makin mempertontonkan kearogansian kekuasaan, dan selalu memproduksi hoax untuk membalut kebobrokannya dengan memamerkan segudang (kepalsuan) piagam penghargaan sebagai pencitraan politik mersusuar atas pemerintahannya yang fatamorgana(is).
Di balik teks segudang penghargaan tersebut, antara teks piagam pengahargaan dengan realitas fakta konkretnya bagaikan lagit dengan bumi. Api jauh dari panggang. Tidak seperti apa yang kita bayangkan dalam imaji liar sebagai sebuah realitas fakta sosial yang konkret, seperti yang diterakan dalam teks piagam penghargaan itu sendiri.
Jika kita mencoba memetakan varibel lainnya, mengapa muncul baliho Tolak 2 Periode #2024 Ganti Bupati Maning, antara lain, adanya pembacaan fakta yang menjadi realitas konkret, sehingga melahirkan respon balik lahirnya Asbun (Asal Bukan Nina) atau Tolak 2 Pereiode #2024 Ganti Bupati Maning. Respon balik tersebut merupakan sikap kekecewaan terhadap Bupati Nina. Argumentasinya bisa rasional dan bisa juga irasional-problematika pragmatisme.
Yang rasional bersandar pada tingkat pengetahuan dan kekritisan logika dan akal waras melihat, membaca, memahami dan melakukan pembacaan terhadap kinerja dan kepemimpinan Bupati Nina yang otoritarian dan menghalalkan segala cara untuk tetap berkuasa, bahkan semua peraturan perundang-undangan dan kosntitusi pun ditabrak, dilanggar untuk ambisinya menjadi Bupati 2 periode. Secara hirarkis kelembagaan dan otoritas, semua diam, tidak berani memberikan sanki seperti yang dikatakan dalam undang-undang. Salah satu faktor ini yang membuat makin otoritarian bahkan harus dikatakan sebagai rezim tiran.
Yang irasional adalah sebagai persoalan pragmatism, ovonturirsm. Kue kekuasaan tidak merembes, dimonopoli dan terpusat di kekuasaan. Sehingga, memicu lahirnya kekecewaan dan melahirkan dendam, berulang sejarah seperti yang mereka alami di era rezim sebelumnya. Waktu itu melahirkan #2020 Ganti Bupati. Asal bukan rezim dinasti.
Kala itu, mereka yang dendam kekuasaan melahirkan slogan dan jargon Indramayu Butuh Pemimpin, Bukan Penguasa. Yang irasional tersebut, kemudian bisa dirasionalisasikan, sangat rasional dan realistik dalam bacaan politik kekecewaan dan politik kekuasaan. Meski akhirnya tetap menjadi kekecewaan dalam realitas politiknya. Itu namanya, keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau.
Kala itu, mereka meng-elu-elukannya, Nina Agustina Dai Bachtiar sebagai Santa Klara atau Dewi Penolong dari kayangan untuk perubahan dengan slogan dan jargon Indramayu Butuh Pemimpin Bukan Penguasa, dan Indramayu Bermartabat (Bersih-Religius-Maju-Adil-Makmur-Hebat). Pada akhirnya kecewa untuk kedua kalinya, bahkan tersingkir dari lingkaran sumbu kekuasaan rezim tiran sekarang. Begitulah fakta sosial politiknya yang konkret dan yang meng-ada.
Fakta sosial politiknya saat itu, Nina Agustina, sama sekali tidak dikenal publik luas apalagi di kalangan akar rumput dan kelas menengah. Meski ditempelkan nama bapaknya-Dai Bachtiar untuk menjadi Cabup; Hj. Nina Agustina Dai Bachtiar, SH, MH, C.R.A. Publik luas tetap tidak mengenalnya, kecuali segelintir elit politik dan birokrat yang mengenalnya.
Sekarang pun pergeserannya sedikit, tidak signifikan popularitas dan elektabilitasnya, meski sudah all out dan menghalalkan segala cara; Machiavellian Politics, Orwellian Politics, Post-Truth Politics dan Pork Barrel Politics (akan kita perbincangan pada episode berikutnya).
Publik kalangan menengah dan akar rumput lebih mengenal Cawabupnya; Lucky Hakim, karena melihat dan menonton sinetron yang dibintangi Lucky Hakim. Lucky Hakim berkat jadi bintang sintron, menjadi familiar di telinga kalangan menengah ke bawah sampai sekarang, terlebih setelah di tengah jalan mengundurkan diri dari Wakil Bupati, undur diri mendampingi Bupati Nina Agistina.
Di kalangan menengah ke atas, yang paham konflik keduanya, membuat Lucky Hakim makin familiar, menguatkan popularitas dan elektoralnya, andaikan menjadi Cabup di Pilbup 2024. Sebagian kecil lainnya, mengecam dan mencerca, dianggap sebagai sikap kepengecutan mundur di tengah jalan mendamnpingi Bupati Nina.
Meski begitu, kalangan sosial menengah ke atas, sekalipun tidak menggandrungi sinetron Lucky Hakim, namun namanya sudah tidak asing lagi di telinga mereka, di mana Lucky Hakim sebagai wong dermayu (Indramayu) yang menjadi artis-selebritis. Efek domina, bulan jatuhnya di pangkuan Nina Agustina yang asing di telinga wong cilik.
Meski, tidak seperti pungguk merindukan bulan, Nina Agustina, takdir sosialnya terpilih menjadi Bupati. Pameo lama mengatakan, ula marani gebug (ular mendek ke tongkat penggebug, pemukul). Nina Agustina diuntungkan, meski kemudian digebug, akhirnya mengundurkan diri dari Wakil Bupati di tengah jalan. .
Di tengah jalan, Bupati Nina, fakta konkretnya, adanya krisis legitimasi yang menguat dan meng-ada. Nina Agustina meski terpilih menjadi Bupati, krisis legitimasi tak terhindarkan lagi, menjadi keniscayaan, sehingga muncullah kesadaran kolektif sosial: Tolak 2 Periode #2024 Ganti Bupati Maning.
Jika kita kilas balik Pilbup 2020, Bupati Nina hanya meraih kepercayaan publik yang jauh dari kalangan ‘golput’ atau kalangan intelektual kritis yang tidak berpartisipasi dalam pencoblosan, karena khawatir keluar dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau, ketidakjelasan figur. Angka ‘golput’ atau yang tidak berpartisipasi memilih masih lebih besar dari angka perolehan suara Nina Agustina-Lucky Hakim, hanya 309.944 suara (37%). dan golput: 447.548 suara (52.2%).
Total hak pilih berdasarkan data KPU: 1.302.788 suara. Suara Masuk: 856.274. Suara tidak sah: 15.558 dan Golput: 431.990. Angka Golput seperti yang kita definisikan dan atau kita kategorikan Golput, berarti 431.990+15.558 = 447.548 (52,2%).
Angka perolehan suara dari 4 paslon saat itu: No. 1 (Sholihin-Ratna): 219.938 (26%). No. 2 (Toto-Deis): 72.663 (Independen: 9%). No. 3 (Daniel-Taufik/Dinasti-Petahana): 236.172 (28%) dan No. 4 (Nina-Lucky): 309.944 (37%).{(O’ushj.dialambaqa: Angka Golput dan Krisis Legitimasi (Studi Kasus: Nina-Lucky Hasil Pilkada Indramayu 2020, Demokratis.co.id)}
Mungkinkah akan bergeser angka golput? Kemungkinan selalu tetap memberi ruang dan peluang. Angka golput mungkin akan tetap bertahan, jika ada pergeseran, tidak akan signifikan, karena fakta konkretnya Bupati Nina hadir bukan sebagai pempimpin melainkan sebagai penguasa, dan belum terlihat kualitas intelektual-akademik para politisi yang berambisi mencalonkan diri sebagai Cabup/Cawabup, sekalipun ratusan baliho dan spandukl telah disebarnya. Semat-mata itu targetnya untuk kepentingan survey electoral parpol yang bersangkutan. .
Variable lainnya, disebabkan hingga saat ini belum ada sosok figure cabup/cawabup yang berani melakukan koreksi atas kebobrokan kebijakan Bupati Nina secara total dan komprehensif, kritis dan analisis akademik, sehingga jika Cabup/Cawabup terpilih, akan mengerti apa masalahnya, bagaimana mengatasi masalahnya dan bagaimana perubahannya.
Namun, jika yang meng-ada adalah para politisi busuk yang sangat ambisius menjadi Cabup/Cawabup, sungguh naif jika mau merubah keadaan dari yang boborok harus menjadi baik, absurd betul itu. Yang meng-ada adalah gede-gedean omong kosong politis; politisi busuk semata, sehingga sulit meyakinkan kalangan golput untuk mencoba hijrah dari sikapnya yang konservatif. Sehingga, tetap menjadi Waiting for Godot. Melihat lakon Hamlet dulu. Menonton siluet-siluet drama politik yang berhamburan dilansir media dan medsos.
Pergeseran angka golpust karena Tolak 2 Periode #2024 Ganti Bupati Maning. Cukup sudah, sekali saja. Kecil kemungkinannya golput bisa bergeser 50%nan dari angka golput Pilpub 2020. Meski begitu, bergantung, siapa saja yang menjadi Cawbup/Cawabupnya untuk kontestasi politik melawan Bupati Nina sebagai petahana.
Meski tetap menjadi golput, ruang yang menjadi pilihannya adalah memelekan mata yang buta dalam melihat dan membaca realitas sosial politik di bawah Bupati Nina, dengan mendorong masyarakat yang bobrok yang bersemboyan ‘wani piro’, untuk tidak menjadi ruang terbuka yang bisa dimanfaatkan politisi busuk. Hukum sejarahnya, masyarakat yang boborok hanya akan melahirkan pemimpin yang bgobro-korup.
Membaca dan melihat realitas sosial sebagai sebuah fakta, bahwa Nina Agustina yang diberi kepercayaan pemilih, ternyata fakta konkretnya bukan sebagai pemimpin melainkan sebagai penguasa, di mana slogan dan jargonnya Indramayu Butuh Pempimpin Bukan Penguasa. Indramayu Bermartabat. Ternyata omong kosong, akhirnya Indramayu “Bermartabak”.
Pembacaan lainnya, ternyata juga ada pembacaan sosial politik yang (mau) coba-coba, spekulatif. Artinya, dulu mereka “golput” karena kemuakkan kepada rezim tiran sebelumnya. Kini mau berspekulasi, coba-coba lagi, mencoba spekulatif membangun kepercayaan kembali pada Pilpub Nopember 2024 nanti, yang penting Tolak 2 Periode #2024 Ganti Bupati Maning. Artinya, Bupati Nina cukup sekali saja, harga mati.
Masa bodoh (tak peduli) siapapun Cabup/Cawabup yang melawan Bupati Nina, yang penting Bupati Asbun; Bupatinya Asal Bukan Nina. Alasan konkret yang sederhana. Untuk itu, akankah Tolak 2 Periode #Ganti Bupati Maning menjadi keniscayaan panggilan sejarah dan zaman. Kita tunggu, sejarah dan waktu yang akan bicara. ***
Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com