Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Bupati Nina dan Pembangkangan Konstitusi

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (kita sebut saja: Dewan) Indramayu, pada Jumat (11/2/2022) telah menggelar paripurna Hak Interpelasi Dewan terhadap Bupati Nina. Pengusul Hak Interpelasi Dewan yang berjumlah 41 anggota Dewan dari 5 Fraksi. Yaitu, F. Golkar, F. Gerindra, F. Merah Putih, F. PKB, dan F. Demokrat masih tetap utuh atau kompak hadir dalam paripurna.

Pada paripurna Hak Interpelasi Dewan, Bupati Nina ternyata tidak hadir. Ketidakhadirannya dengan alasan bahwa Bupati Nina tengah menunggui ibunya yang sedang sakit. Ketidakhadiran Bupati atas Hak Interpelasi Dewan didelegasikan (diwakilkan) ke Setda Rinto Waluyo untuk memberikan keterangan dan atau penjelasan atas pertanyaan Dewan yang jauh hari telah disampaikan secara tertulis kepada Bupati Nina.

 

Belenggu Dilematis

Dewan menafsirkan pasal Hak Interpelasi, bahwa Bupati Nina boleh mewakilkan (mendelegasikan) kepada yang terkait (mewakili Bupati), dalam hal ini, Setda, dan berarti pula boleh Kepala SKPD yang ditunjuk dan atau yang mendapatkan pendelegasian Bupati dalam memberikan keterangan dan atau penejelasan atau jawaban atas peretanyaaan yang diajukan para pengusul Hak Interpelasi Dewan dan atau anggota Dewan yang lainnya dalam paripurna Hak Interpelasi, yang pertanyaannya telah diberikan kepada Bupati jauh hari secara tertulis.

Pandangan Dewan itu tentu berdasarkan Tatib No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPRD Indramayu, pasal 73 ayat (2): Dalam hal Bupati berhalangan hadir untuk memberikan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Bupati menugaskan pejabat terkait untuk mewakili. Pasal 74 ayat (4): Pandangan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dijadikan bahan untuk DPRD dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dan untuk Bupati dijadikan bahan dalam penetepan pelaksanaan kebijakan.

Pada fakta dan realitasnya di paripurna yang digelar Jumat (11/2/2022), Bupati tidak hadir, dan Setda mewakilinya dengan membacakan jawaban dan atau penjelasan atas pertanyaan Dewan, lalu Dewan keberatan dan atau menolak penjelasan Setda dengan alasan, Setda tidak punya kewenangan untuk menjawab pertanyaan Dewan, tetapi hanya sebatas membacakan jawaban Bupati yang harus dibacakan Setda.

Dewan menjadi tidak konsisten, ketika menafsirkan pasal Hak Interpelasi, bahwa Bupati (boleh) mewakilkannya dan atau pendelegasikan ke pejabat terkait, dalam hal ini Setda sebagai juru bicara Bupati atau sebagai pejabat yang ditugaskan Bupati untuk menjawab pertanyaan Dewan, tetapi kemudian Setda dikatakan tidak mempunyai kewenangan untuk menjelaskan atau menjawab pertanyaan Dewan.

Jika tafsir para anggota Dewan membolehkan diwakilkan, bukan hanya dalam pengertian physically, tetapi juga mewakili Bupati dalam memberikan jawaban dan atau penjelasan atas pertanyaan Dewan, seharusnya Setda diperbolehkan. Tidak bisa ditolak, sekalipun itu yang menyangkut hal subyektivitas hak prerogatif Bupati.

Jika saja Dewan menafsirkan pasal Hak Interpelasi Dewan, bahwa hanya Bupatilah yang berhak memberikan keterangan, jawaban atau penjelasan atas pertanyaan Dewan, maka Setda sebagai bawahan Bupati tidak diperbolehkan atau tidak berhak menjawab atau memberikan penejalasan atas pertanyaan Dewan.

Apa argumentasinya atas hal tersebut? Hak Interpelasi Dewan diajukan kepada Bupati bukan kepada Pemerintah (Daerah) atas tata kelola pemerintahan dan tata kelola BUMD (PDAM atas pengangkatan Dirut baru), sehingga harus Bupati yang menjawab langsung. Jika ada hal-hal pertanyaan teknis, misalnya, mengapa jembatan baru dibangun beberapa bulan kemudian sudah miring kontruksinya? Hal teknis semacam ini, tentu bukan harus Bupati yang menjawab, tetapi bisa didelegasikan kepada bawahannya, PUPR.

Oleh karena itu, jika Dewan mengajukan pertanyaan yang bersifat teknis, itu artinya, Dewan sangat amat tidak berkualitas. Dalam Hak Interpelasi Dewan, itu ranahnya adalah kebijakan yang penting dan strategis serta berdampak luas, yang berarti itu soal apakah tata kelola pemerintahannya sudah menjalankan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan atau jika dalam tata kelola pemerintahannya telah nyata-nyata menabrak peraturan perundang-undangan dalam hal banyak kebijakan yang diambil, seperti soal Dirut PDAM, penempatan jabatan stretegis, dan kebijakan publik (ini kosa kata “publik”, lho) lainnya.

Jadi jika berangkat tafsirnya atas Tata Tertib Dewan sendiri, kemudian fakta dan realitasnya di paripurna Hak Interlepasi Dewan menjadi paradox, itu namanya Dewan membelenggu tafsirnya sendiri, tidak senafas atau satu ruh dalam memahami UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 {(UU No. 13 Tahun 2019 tentang MD3 (perubahan ketiga kalinya)}, pasal 365 Fungsi Dewan; a. legislasi, b, anggaran, dan c. pengawasan.

Pasal 371 Hak Dewan; a. interpelasi, b. angket, dan c. menyatakan pendapat. Pasal 379 mengenai Hak Interpelasi. Pasal 381 mengenai Hak Angket, dan pasal 386 mengenai Hak Menyatakan Pendapat. UU MD3 turunannya adalah PP No. 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Pasal 371 ayat (2): Hak Interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah Hak DPRD Kabupaten untuk meminta keterangan kepada bupati mengenai kebijakan pemerintah kabupaten yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat.

UU MD3, Pasal 371 ayat (2), sangat konkret, tidak multi tafsir, tidak debatable, yaitu, meminta keterangan kepada Bupati Nina mengenai kebijakan pemerintahannya, dalam hal ini, tata kelola pemerintahan dan tata kelola BUMD (PDAM) yang dianggap banyak menabrak peraturan perundang-undangan.

Dalam PP No. 12 Tahun 2018, pasal 72 ayat (2): Dalam hal Bupati berhalangan hadir untuk memberikan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Bupati menugaskan pejabat terkait untuk mewakili.

Dalam hal ini, Setda memang hanya berhak mewakli Bupati atas penugasannya, tetapi penjelasan yang disampaikan Setda itu harus merupakan penjelasan Bupati Nina, bukan penjelasan Setda atas pertanyaan Dewan.  Seharusnya, pimpinan sidang paripurna menjelaskan soal tersebut di awal pembukaan atau dalam pengantar sidang paripurna Hak Interpelasi Dewan, sehingga Setda tahu diri dan anggota Dewan juga tahu diri, karena paham dengan aturan, bukan Setda menjelaskannya lantas anggota Dewan pun malah pertanya pula. Belenggu tafsir itu akhirnya menjadi dilema bagi Dewan itu sendiri. Tafsirnya merupakan senjata makan tuan. Ternyata, ambiguitas Dewan tidak berhenti pada titik itu saja.

 

Ambigu Dewan

Dewan yang berada dalam gedung paripurna Hak Interpelasi maupun anggota Dewan yang memberikan pernyataan publik yang dilansir banyak media massa, mengatakan, bahwa Hak Interpelasi Dewan itu bermaksud atau bertujuan untuk perbaikan tata kelola pemerintahan atau untuk perbaikan kinerja Bupati, yang berpijak pada:

Tatib DPRD No. 1 Tahun 20220 tentang Tatib DPRD Indramayu), pasal 73 ayat (4): Pandangan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dijadikan bahan untuk DPRD dalam pelaksanaan fungsi pengawasandan untuk Bupati dikadikan bahan dalam penetepan pelaksaan kebijakan.

Pasal tersebut lantas dimaknai bahwa Hak Interpelasi adalah untuk menghasilkan rekomendasi Dewan kepada Bupati untuk melakukan perbaikan dalam tata kelola pemerintahan, sehingga tidak menjadi keharusan berlanjut ke Hak Angket, sekalipun telah nyata-nyata kebijakan Bupati yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat menabrak, melanggar dan atau melakukan pembangkangan (ketidakpatuhan) terhadap peraturan perundang-undangan.

Tatib Dewan pasal 73 ayat (4) tersebut telah memisahkan diri dari hirarki peraturan perndang-undangan yang ada, yaitu, UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3, PP No. PP No. 12 Tahun 2018, dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 159 mengenai Hak Interpelasi, dan pasal 167 mengenai pelaksanaan Hak Interpelasi.

Pandangan dan atau pendapat Dewan seperti itu, menunjukkan sikap dan tindakan ambiguitas atas pemaknaan pasal trilogy itu, yaitu, Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat, yang berakhir dengan “Pemakzulan”.

Hak Intrepelasi yang merupakan trilogi  dengan saudara kembarnya adalah Hak Angket dan Hak Menyatakan Pendapat adalah merupakan kekhususan, bukan untuk sekedar latah atau sekedar “tiktokkan” di panggung politik.

Trilogi pasal kausalitas tersebut, dipakai atau menjadi keharusan dan atau keniscayaan Dewan dalam mengemban amanat rakyat dan atau mengemban tanggungjawab negara, dimana kedaulatan berada di tangan rakyat.

Hal itu pula, dalam trilogi pasal itu, jika Bupati dalam kebijakan yang penting dan strategis serta berdampak luas, “telah nyata-nyata” dalam banyak hal kebijakannya, yang kadarnya sudah di atas ambang batas toleransi rasionalitas atas kepatuhannya terhadap peraturan perundang-undangan dalam tata kelola pemerintahan.

Telah nyata-nyata menabrak peraturan perundang-undangan tersebut itu kemudian harus diuji kebenaran atas yang diduga telah nyatanya tersebut dalam ruang saudara kembarnya, yaitu Hak Angket, karena Bupati telah merasa benar dan atau dalam kebijakannya tidak menabrak regulasi. Sedangkan Dewan berpendapat sebaliknya dari jawaban Bupati.

Oleh karena relasi sebab-akibat atau atas arena sebab yang menimbulkan akibat dan atau akibat yang dikarekan oleh sebab, Hak Interpelasi bukan untuk menghasilkan rekomendasi kepada Bupati untuk melakukan perbaikan atas tata kelola pemerintahannya, apalagi “telah nyata-nyata” keterangan dan atau jawaban Bupati yang dibacakan Setda atas pertanyaan Dewan yang diajukannya, telah dijawab secara tegas, jelas dan gamblang, bahwa apa yang dilakukannya telah sesuai dengan semua peraturan perundang-undangan, tidak ada yang dilanggar atau ditabrak.

Dewan lalu akan melanjutkan Hak Interpelasinya pada hari Kamis (17/2/2022) dengan alasan ada pendalaman materi atas jawaban Bupati dan atau ada ketidakpuasan atas jawaban Bupati, yang karena tidak hanya faktor Bupati tidak hadir, tetapi pertanyaan lanjutan atas pendalaman itu tidak bisa disampaikan langsung untuk dijawab oleh Bupati, karena Setda dikatakannya tidak berhak untuk menjawab pertanyaan Dewan.

Pernyataan tersebut telah menggugurkan atau membatalkan premis awal bahwa Bupati boleh mewakilkan dan atau diwakili dengan penugasan kepada pejabat yang terkait, dalam hal ini adalah Setda. Premis awalnya, Bupati boleh mewakilkan itu dipahami oleh Dewan dalam hal dibolehkan juga memberikan penjelasan atau jawaban atas pertanyaan yang diajukan Dewan. Lagi-lagi, ambiguitas itu menjadi “tuan dimakan senjatanya sendiri”.

Jika Dewan tidak bersikap ambigu, Hak Interpelasi tersebut tidak perlu dilanjutkan. Cukup pada Jumat (11/2/2022) dengan argumentasi apapaun seperti adanya pendalaman materi untuk ditanyakan kembali kepada Bupati, ada ketidakpuasaan atas jawaban Bupati dan seterusnya, bla bla bla, semua itu gugur, karena Bupati sudah jelas jawabannya.

Jika kita masih punya logika dan akal waras, dimana kewarasannya terjaga, tidak ada pembenaran yang bisa diargumentasikan bahwa Hak Interpelasi ada sesi lanjutan, karena telah nyata-nyata Bupati secara tegas, jelas dan gamblang memberikan jawabannya bahwa kebijakan dalam tata kelola pemerintahannya tidak ada yang menabrak peraturan perundang-undangan, itu titik. Tidak ada koma lagi.

Jika saja Bupati dalam memberikan jawaban atas materi pokok, materi substansial pertanyaan Dewan, mengakui adanya banyak hal kebijakan yang menabrak peraturan perundang-undangan, dan kemudian mau memperbaiki bersama-sama Dewan, karena Dewan merupakan unsur pemerintahan, dimana jika tidak ada DPRD, Bupati tidak bisa menjalankan pemerintahannya, Bupati dan Dewan merupakan penyelenggara negara, dalam hal sebagai penyelenggara pemerintahan. Tetapi, Bupati tidak mengatakan seperti itu.

Jika seperti itu, Hak Interpelasi boleh hanya menghasilkan sebuah rekomendasi untuk perbaikan tata kelola pemerintahan, yang di dalamnya juga menyangkut hal yang tak terpisahkan, yaitu tata kelola BUMD. Terhenti pada titik Hak Interpelasi, tidak perlu berlanjut atau naik ke Hak Angket.

Jika fakta dan realitasnya adalah kebalikannya, bahwa Bupati merasa telah benar atau tidak menabrak peraturan perundang-undangan dalam banyak hal kebijakannya dalam tata kelola pemerintahan, dimana Dewan telah nyata-nyata membaca, melihat fakta, data dan realitasnya yang meng-ada, tidak ada stok argumentasi pembenaran untuk tidak lanjut naik ke Hak Angket.

Oleh karenanya, Hak Interpelasi yang akan dilanjutkan pada hari Kamis (17/2/2022) merupakan sikap ambigu, sekaligus keambiguitasannya mencerminkan kebelengguannya dalam pemaknai pasal trilogi tersebut, yang jika pada akhirnya terhenti sampai di situ. Dewan menjadi sungguh-sungguh tengah tiktokkan dalam panggung politik, yang pada akhirnya kita harus bisa memahami apa yang dilakonkan dalam Pintu Tertutup dramanya Jean Paul Sartre.

 

Pembangkangan Konstitusi

Ketidakhadiran Bupati dalam paripurna Hak Interpelasi Dewan pada hari Jumat (11/2/2022) jika itu merupakan unsur kesengajaan untuk menghindari pertanyaan Dewan dan atau sengaja tidak lagi menghormati kedudukan institusional Dewan atau Dewan di mata Bupati hanya sebagai subordinat dalam kekuasaannya, itu merupakan suatu pembangkangan konsitusi (UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 67).

Jika ketidakhadirannya lantaran menunggui ibunya yang sedang sakit, apakah alasan tersebut bisa dirasionalisasikan sebagai bentuk fakta dan realitas dan atau sebagai bentuk pengabdian anak yang sholeha pada orang tuanya yang tengah sakit?

Rasionalitas yang harus dirasionalisasikan untuk menjadi keniscayaan itu adalah dengan menggunakan fakta, data dan realitas pembanding yang peristiwanya relatif bersamaan. Pada Hari Pers Nasional di Kendari-Sulawesi Tenggara, Bupati telah menyempatkan diri dan atau bahkan  menelan waktu 3 hari, hanya untuk mengejar pemberian penghargaan politis yang dianggap sebuah prestise atas esensial kebupatiannya.

Hal lainnya yang sulit dirasionalisasikan adalah Ibunda Bupati Nina, menurut banyak sumber memang telah relatif lama menderita sakit, harus menjalani cuci darah setiap minggunya, dan bahkan ada sumber yang mengatakan seminggu harus cuci darah tiga kali. Jadi bukan hal yang mendadak, jika itu yang ada, tidak membuat Bupati panik dengan kondisi sakitnya. Buktinya Bupati tega meninggalkan ibunya ke Kendari Sulawesi Tenggara selama 3 hari.

Eksistensinya sebagai Bupati telah mendahului esensialnya atas kebupatiannya. Membangun logika terbalik apa yang dikatakan Rene Descrates, bahwa aku ada karena aku berpikir, dan  karena berpikir maka aku ada. Wujudnya mendahului maujud, kata Abu Bakr Ar-Rozi.

 

Haruskah ke Hak Angket?

Membaca jawaban dan penjelasan Bupati yang dibacakan Setda, sudah sangatlah jelas, gamblang dan konkret. Bupati tidak merasa kebijakan publiknya melanggar regulasi apapun, kebijakannya telah sesuai dengan regulasi yang ada baik dalam tata kelola pemerintahan maupun dalam tata kelola BUMD.

Oleh karena itu, jika Dewan mengatakan sebaliknya, seharusnya Dewan tidak memerlukan lagi Hak Interpelasi lanjutan yang akan digelar pada hari Kamis (17/2/2022). Dewan tak perlu lagi melakukan pendalaman, karena secara substansial telah dijawab dan atau dijelaskan oleh Bupati.

Oleh sebab itu, untuk menguji semua kebenaran atas fakta, data dan realitas itu semua, Dewan tak ada pilihan lain, dan tak ada alasan lain yang bisa dikedepankan untuk tidak melakukan dan atau untuk tidak melanjutkannya ke Hak Angket. Hak Angket Dewan harus menjadi keniscayaan untuk pembuktian kebenaran atas jawaban Bupati.

Sejumlah catatan (dugaan) pelanggaran regulasi dalam kebijakan Bupati yang telah dipertanyakan kepada Bupati lantas dibantahnya, untuk pembuktian atas semua itu mekanismenya hanya ada pada ruang Hak Angket, bukan pada Hak Interpelasi lagi.

Hak Angket adalah Hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang /kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan masyaraka, berbangsa dan bernegarat yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam kontek ini adalah untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atas kebijakan Bupati Nina yang berkaitan dengan hal yang penting dan  strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam Hak Angket Dewan, telah diatur dengan jelas, konkret dan tidak multi tafsir baik pasal maupun ayatnya. UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3, pasal 79 ayat (3) huruf b, dengan turunannya, yakni, PP No. 12 Tahun 2018, Pasal 73 ayat (2) huruf a, materi kebijakan dan/atau pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang akan diselidiki, dan b, alasan penyelidikan.

Dalam pelaksanaan Hak Angket, dimana Dewan tidak mempunyai kapasitas dan atau tidak kompeten untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kebijakan Bupati Nina yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, Dewan bisa melibatkan pihak lain untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikannya, untuk menuji apakah benar telah melanggar peraturan perundang-undangan.

Hasil akhir dari Hak Angket, tentu tak terbantahkan lagi untuk berlanjut ke Hak Menyatakan Pendapat; Pemakzulan, jika fakta, data dan realitasnya menjadi benar adanya bahwa Kebijakan Bupati Nina dalam banyak hal yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat telah nyata-nyata menabrak, telah nyata-nyata melanggar dan atau telah nyata-nyata ketidakpatuhannya terhadap peraturan perundang-undangan seperti yang dijelaskan pada pasal 67 UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Jika ada yang berpandangan, bahwa Dewan tak perlu harus dari Hak Interpelasi naik ke Hak Angket, tetapi langsung saja dari Hak Interpelasi ke Hak Menyatakan Pendapat; Pemakzulan. Boleh saja, tapi apa argumentasi, logika dan akal warasnya bisa melompat pagar tersebut seperti itu?

“Berdasarkan regulasi yang mengatur hak pengawasan dewan, terdapat perbedaan definisi dan domain penggunaan antara hak interpelasi dengan hak angket. Hak Interpelasi merupakan aspek politis. Hak angket terkait pada aspek pelanggaran hukum yang membutuhkan penyelidikan dan penyidikan yang menjadi domain aparat penegak hukum.” (H. Mahpudin, S.H, M.H, M.Kn: Konsekuensi Interpelasi DPRD Kepada Bupati, ringsatu.id, Feb 12. 2022, Penulis adalah Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdhatul Ulama Jawa Barat).

Argumentasi bahwa Hak Angket adalah domainnya APH (Aparat Penegak Hukum) menjadi tidak runut dalam logika dan akal waras dalam pembacaan trilogi pasal kausulitas, karena terbelenggu dalam frasa “fungsi pengawasan Dewan.” Dalam Hak Angket aspek yang penyelidikan dan penyidikannya adalah untuk menguji kebenaran atas pelaksanaan terhadap peraturan perundang-undangan, dan apakah benar kebijakan Bupati itu (diduga) telah nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ataukah telah sejalan?

Untuk itu, substansi yang akan diselidiki adalah materi kebijakan dan atau pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Dalam PP No. 12 Tahun 2018, Pasal 73 ayat (2) huruf a). Pasal 73 ayat (2) huruf b mengatakan, alasan penyelidikannya apa? Tentu, argumentasi pokoknya adalah karena diduga ada banyak hal kebijakan Bupati yang berkaitan dengan hal penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal materi kebijakan dan atau pelaksanaan peraturan perundang-undangan, jelaslah bukan domain APH, tetapi domain Dewan. Tetapi, jika dalam hasil penyelidikan dan penyidikan atas kebijakan Bupati yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, ditemukan ada  indikasi kuat dan atau patut diduga kuat adanya unsur perbuatan (melawan) hukum, maka domain berikutnya adalah otoritas APH dan atau sudah menjadi domain APH, tentu,  jika Dewan merekomendasikannya, dan hal itu menjadi keharusan Dewan untuk merekomedasikannya ke APH. Misalnya, ada indikasi kuat permainan proyek (apalagi proyeknya mangkrak) yang dilakukan Bupati dan atau karena adanya kebijakan Bupati yang mengandung unsur tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam UU tentang Tipikor.

Pasal 76: Dalam hal hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 diterima oleh DPRD dan ada indikasi tindak pidana, DPRD menyerahkan penyelesaian proses tindak pidana kepada aparat penegak hukum sesuai dengan paraturan perundang-undangan. Jadi bukan lagi kewenangan atau domain Dewan.

Jika dari Hak Interpelasi, jawaban Bupati tidak bisa diterima Dewan, apakah bisa langsung ke saudara kembarnya, yaitu ke Hak Menyatakan Pendapat; Pemakzulan? Bagaimana mungkin itu bisa dilakukan loncat pagar.

Dalam Hak Menyatakan Pendapat, harus punya argumentasi yang cukup kuat. Lantas argumentasi tersebut dari mana dan atau pembuktiannya dari mana? Tentu, dari hasil akhir Hak Angket dalam hal melakukan penyelidikan dan penyidikan yang memberikan kesimpulan adanya dugaan, bahwa Bupati telah nyata-nyata dalam kebijakan yang penting dan strategis serta berdampak luas pada masyarakat diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Jadi jika dikatakan bisa langsung saja dari Hak Interpelasi ke Hak Menyatakan Pendapat adalah logika yang dibangun menjadi tumpang tindih. Logika dan akal warasnya menjadi naïf, karena dengan imaji liarpun tak bisa dirasionalisasikan adanya. Lantaran, tidak mempunyai argumentasi dalam hal untuk menyatakan pendapatnya. Dalam menyatakan pendapat dalam konteks Hak Menyatakan Pendapat Dewan bukanlah atas dasar berhandai-handai atau hanya menarasikan cerita tanpa dasar logika dan akal waras.

Jikapun dari Hak Angket berlanjut ke Hak Menyatakan Pendapat; Pemakzulan, belum tentu arumentasi pemakzulan atas pendapat dan pandangan Dewan yang menyimpulkan telah nyata-nyata bahwa kebijakan Bupati dalam hal yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat tersebut dalam banyak kebijakannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi kesimpulan Dewan, bisa dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA).

MA belum tentu sependapat dalam pandangan hukumnya seperti yang disampaikan Dewan dalam hal menyatakan pendapatnya. Oleh sebab, MA-lah yang punya kewenangan untuk hal tersebut. Jika Hak Menyatakan Pendapat itu ditempuh Dewan, tentu Dewan bersama kita berharap, bahwa MA sependapat pandangan dan pendapat hukumnya soal pemakzulan tersebut.

Sungguh-sungguhkah Dewan ataukah hanya sekedar tiktokan saja?

Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles